Mohon tunggu...
Deni Arisandy
Deni Arisandy Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

Penulis lepas, penyuka kopi hitam asli Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Belajar dari Kebangkrutan Sri Lanka

15 Juli 2022   11:01 Diperbarui: 19 Juli 2022   08:45 1102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga Sri Lanka berdemo didepan kantor presiden di Colombo| AP PHOTO/ERANGA JAYAWARDENA via Kompas.com

Tak terbayangkan sebuah negara bisa bangkrut. Tetapi faktanya, baru-baru ini Sri Lanka mengalaminya. Malah, Presidennya disebut-sebut kabur karena menghindari chaos akibat kondisi negara tersebut.

Sebagai orang awam, sempat ada pemikiran liar di kepala saya. Apakah jika sebuah negara dinyatakan bangkut, lalu negara itu bisa dibeli oleh negara atau pihak lain, atau oleh seseorang yang memiliki kekayaan luar biasa besar? Sebab dalam praktik korporasi, sangat dimungkinkan proses akuisisi atau take over kepemilikan perusahaan oleh pihak lain. Atau juga dimerger atau digabung dengan perusahaan lain.

Sebenarnya bisa saja, tetapi penyelesaiannya tidak sesederhana ini. Mungkin jika diibaratkan sebuah perusahaan yang memiliki pemegang saham, pemilik negara tersebut adalah seluruh masyarakatnya. 

Jadi, keputusan seperti apa solusi keluar dari kebangkrutan gagal bayar utang, dilakukan melalui persetujuan seluruh masyarakat. Ini mungkin ibarat rapat umum pemegang saham dalam skala yang lebih besar. 

Mekanisme ini misalnya pernah dilakukan masyarakat Yunani ketika memutuskan solusi penyelamatan negara tersebut melalui sebuah referendum.

Dalam kasus Sri Lanka, seperti juga dalam praktik korporasi, kondisi Sri Lanka yang bangkrut atau dinyatakan bangkrut, atau menyatakan diri bangkrut, penyebabnya karena gagal bayar utang mereka.

Sri Lanka berdasarkan keterangan dari sejumlah media baik asing maupun nasional, memiliki utang jangka pendek maupun jangka panjang yang harus dibayar sekitar 50 miliar dolar AS. 

Jika dikonversi ke dalam mata uang rupiah, angka tersebut setara dengan Rp750 triliun dengan kurs Rp15 ribu/dolar AS. Dan Sri Lanka menyatakan sudah tidak memiliki dana cukup, khususnya cadangan devisa untuk membayar utang mereka.

Ada sejumlah negara yang menjadi kreditur Sri Lanka. China, Jepang dan juga India merupakan bagian dari kreditur bilateral besar dari Sri Lanka. Itu belum termasuk obligasi luar negerinya dan utang ke lembaga keuangan internasional lain. Saat ini, di tengah situasi kebangkrutan negara tersebut, utang-utang tersebut jelas harus tetap dibayar.

Sejumlah skenario yang kini tengah dijalankan oleh negara tersebut. Diantaranya permintaan bantuan secara bilateral baik ke India, China, Jepang dan beberapa negara lain. Juga kemungkinan penyelesaian bantuan dari Dana Moneter Internasional (IMF).

Tetapi tentu aja, ada sejumlah syarat yang biasanya akan cukup berat bagi sebuah negara yang akan melakukan restrukturisasi utangnya dengan bantuan IMF. 

Peningkatan pajak, penghematan atau efisiensi pengeluaran negara adalah beberapa syarat yang biasanya diajukan IMF untuk membantu negara yang terlilit utang luar negeri besar. Lainnya, biasanya restrukturisasi utang tersebut akan diikuti oleh pergantian rezim berkuasa. Hal ini karena rezim yang lama dianggap sudah sulit dipercaya negara-negara kreditur dan kreditur keuangan internasional lain.

Sri Lanka memang memiliki sejumlah pilihan untuk menyelesaikan utang luar negerinya dan bangkit dari apa yang disebut kebangkrutan negara itu. Tetapi untuk melakukan penyelesaian, tentu dibutuhkan orang-orang yang berkompeten.

Hanya masalahnya, Kabinet Sri Lanka sejak April 2022 lalu terus berganti-ganti. Malah pada awal April 2022 lalu, hampir semua menteri di pemerintahan Sri Lanka mengundurkan diri. Terakhir, Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa, menghindar ke luar negeri dan disebut akan mundur sebagai presiden.

Sri Lanka bukan yang pertama kali menjadi negara yang bangkrut karena tidak mampu membayar utangnya. Mungkin juga bukan menjadi yang terakhir. Yunani, dan juga Argentina merupakan beberapa negara lain yang pernah mengalaminya. Persoalannya serupa, soal utang luar negeri.

Tampaknya, soal pengelolaan utang luar negeri ini memang patut disikapi dengan bijak. Jangan main-main dengan utang luar negeri. Pengelolaan utang luar negeri, selain mempertimbangkan kebutuhan pengeluaran negara dan gelontorannya dalam struktur kebutuhan anggaran belanja negara, juga patut diimbangi dengan potensi kemampuan membayar cicilannya. 

Berdisiplin ketat mematuhi batasan-batasan defisit utang luar negeri dalam ambang batas aman, dan disiplin membayar bagaimanapun caranya, harus dilakukan berkelanjutan.

Barangkali, tak masalah kalau sebuah negara harus dihidupi dengan utang luar negeri asal tetap memiliki kemampuan bayar. Jangan sampai gagal bayar, tak dipercaya lagi oleh kreditur internasional, dan ujungnya menyusahkan warga negaranya. 

Hiperinflasi dan Krisis Keuangan

Salah satu dampak jeratan utang luar negeri yang tak terbayar oleh suatu negara adalah terciptanya kondisi krisis ekonomi. Negara sudah tidak memiliki kemampuan untuk menopang pembangunan di dalam negerinya. 

Terutama kebutuhan bagi masyarakatnya, seperti bahan bakar untuk sumber energi listrik yang merupakan infrastruktur dasar masyarakat. Juga termasuk kebutuhan dasar lain yang harus diimpor yang tentunya membutuhkan devisa negara atau melalui utang.

Muncul kemudian efek berantai, kelangkaan barang memicu kenaikan harga secara agregat atau yang disebut inflasi. Ketika laju inflasi tersebut naik tidak biasa secara berkali-kali lipat, muncul situasi yang disebut hiperinflasi yang laju inflasinya kalau disebut beberapa literatur bisa diatas 50%.

Situasi inilah yang kerap dialami negara debitur yang gagal bayar. Negara yang tidak mampu membayar utang luar negerinya, bisa dipastikan memiliki cadangan devisa yang kosong. Kas negara dalam keadaan kosong. Negara tidak memiliki cadangan mata uang asing yang likuid seperti dolar AS.

Bisa saja kemudian negara tersebut mencetak uang baru, tetapi nilai mata uangnya akan sangat-sangat rendah dibandingkan mata uang acuan internasional lain. Seperti situasi yang pernah dialami di Zimbabwe yang masyarakatnya harus membeli beberapa butir telur seharga 100 miliar.

Dengan tidak ada atau minimnya kemampuan negara untuk mengimpor barang/jasa yang dibutuhkan., terjadi kondisi kelangkaan barang.  Pada akhirnya hal itu menyebabkan harganya melonjak luar biasa tinggi. Apalagi jika barang tersebut sangat vital, seperti barang impor migas untuk memenuhi kebutuhan industri yang efeknya akan menjalar kemana-mana.

Dampak lainnya, investor akan enggan berinvestasi atau kabur ke negara lain. Pemasukan negara semakin terbatas, untuk berutang juga tak bisa. Lalu, barang yang dibutuhkan mengalami kelangkaa, kalaupun ada harganya tinggi sekali, dan masyarakatnya tidak pula memiliki kemampuan membeli.

Krisis keuangan pun akan melanda karena dampaknya pasti akan sangat terasa pada sektor keuangan. Suku bunga kredit bank sangat tinggi dan bank tak berani menggelontorkan kredit. 

Kemudian, muncul kredit macet yang sangat besar, ditambah dengan biaya pengelolaan dana masyarakat di bank dalam bentuk bunga simpanan termasuk deposito akan semakin tinggi, sehingga biaya operasional bank terus menerus membengkak.

Itu belum ditambah kredit macet dari lembaga keuangan yang terkait dengan bank dan debiturnya banyak macet. Dengan demikian, semakin menambah besar kredit macet di bank. Belum lagi kalau masyarakat kemudian berpandangan "cash is the king". Terjadi penarikan dana besar-besaran oleh masyarakat di bank (rush), maka akan semakin "chaos" lah sistem keuangan.

Kita pernah mengalami ini di sekitar tahun 1998 saat krisis moneter melanda, meskipun situasinya mungkin sedikit berbeda dengan kondisi Sri Lanka. Rush atau penarikan dana masyarakat karena masyarakat menganggap bank tak lagi merupakan tempat aman menyimpan dana, membuat kekacauan luar biasa pada stabilitas sistem keuangan kita waktu itu. Banyak bank collapse, masuk rumah sakit yang disebut Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan beberapa diantaranya ditutup.

Kembali ke situasi negara bangkrut seperti Sri Lanka, dengan industri yang tak tumbuh karena bank enggan menggelontorkan dana, bank-bank terancam bangkrut, dan harga barang melambung tinggi. 

Inilah yang kemudian memunculkan situasi yang disebut stagflasi. Sebuah kondisi yang menggambarkan tidak terjadinya pertumbuhan ekonomi, yang diiringi kondisi inflasi tinggi.

Ancaman hiperinflasi, krisis keuangan, dan stagflasi akan sulit dihindari oleh negara yang terjerat utang luar negeri serta gagal bayar.

Dunia Terancam Krisis

Sejumlah pengamat ekonomi dan lembaga keuangan global, memberikan peringatan untuk waspada menghadapi krisis. Kasus kebangkrutan Sri Lanka sudah terjadi, dan peringatan resesi ekonomi global sudah muncul.

Presiden Bank Dunia, David Malpass awal Juni 2022 di website Bank Dunia mengatakan, perang di Ukraina, lockdown di China, serta gangguan rantai pasokan, dan risiko stagflasi akan memukul pertumbuhan ekonomi. Banyak negara yang menurutnya akan sulit menghidar dari kondisi resesi.

Situasi yang tentunya akan sangat menyulitkan dan semoga para pengambil kebijakan di negeri ini mampu menjaga kondisi ekonomi kita tetap kuat dan aman.

Tetapi, kalau merujuk tulisan di money.kompas.com (13/7/2022), Indonesia berdasarkan survei Bloomberg, justru tercatat sebagai negara di urutan 14 yang potensial akan terkena resesi. Memang indikator kita lebih baik dari negara yang peringkatnya di atas kita.

Tetapi menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani seperti yang disebutkan di kompas.com tersebut, Indonesia tetap harus waspada. Hal ini karena ancaman keuangan global ini masih akan berlangsung sampai tahun depan. Pemerintah menurut Bu Menteri akan terus berupaya semaksimal mungkin menangkal ancaman tersebut dengan memanfaatkan seluruh instrumen kebijakan yang ada.

Tentunya kita semua berharap, ancaman tersebut tidak sampai berdampak besar bagi ekonomi Indonesia yang pada akhirnya bisa merugikan kita sebagai masyarakat. 

Melalui rangkaian kegiatan KTT G20 yang berlangsung di Indonesia, kita pun berharap agenda global untuk melepaskan diri dari ancaman resesi dan krisis, serta pemulihan pasca Pandemi Covid-19 akan membuat dunia internasional lepas dari ancaman tersebut.

Pertemuan pemimpin-pemimpin negara, termasuk pada level menteri dan gubernur bank sentral pada G20 yang di dalamnya ikut dihadiri Rusia, diharapkan bisa menjadi solusi. Semua tentu sadar, salah satu ancaman krisis energi salah satunya dipicu dari perang Rusia-Ukraina.

Jika Indonesia mampu menjembatani persoalan ini untuk mencari solusi penyelesaian, tentu akan sangat membanggakan kita semua. Semoga bermanfaat.****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun