Mohon tunggu...
Deni Arisandy
Deni Arisandy Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

Penulis lepas, penyuka kopi hitam asli Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Belajar dari Kebangkrutan Sri Lanka

15 Juli 2022   11:01 Diperbarui: 19 Juli 2022   08:45 1102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga Sri Lanka berdemo didepan kantor presiden di Colombo| AP PHOTO/ERANGA JAYAWARDENA via Kompas.com

Situasi inilah yang kerap dialami negara debitur yang gagal bayar. Negara yang tidak mampu membayar utang luar negerinya, bisa dipastikan memiliki cadangan devisa yang kosong. Kas negara dalam keadaan kosong. Negara tidak memiliki cadangan mata uang asing yang likuid seperti dolar AS.

Bisa saja kemudian negara tersebut mencetak uang baru, tetapi nilai mata uangnya akan sangat-sangat rendah dibandingkan mata uang acuan internasional lain. Seperti situasi yang pernah dialami di Zimbabwe yang masyarakatnya harus membeli beberapa butir telur seharga 100 miliar.

Dengan tidak ada atau minimnya kemampuan negara untuk mengimpor barang/jasa yang dibutuhkan., terjadi kondisi kelangkaan barang.  Pada akhirnya hal itu menyebabkan harganya melonjak luar biasa tinggi. Apalagi jika barang tersebut sangat vital, seperti barang impor migas untuk memenuhi kebutuhan industri yang efeknya akan menjalar kemana-mana.

Dampak lainnya, investor akan enggan berinvestasi atau kabur ke negara lain. Pemasukan negara semakin terbatas, untuk berutang juga tak bisa. Lalu, barang yang dibutuhkan mengalami kelangkaa, kalaupun ada harganya tinggi sekali, dan masyarakatnya tidak pula memiliki kemampuan membeli.

Krisis keuangan pun akan melanda karena dampaknya pasti akan sangat terasa pada sektor keuangan. Suku bunga kredit bank sangat tinggi dan bank tak berani menggelontorkan kredit. 

Kemudian, muncul kredit macet yang sangat besar, ditambah dengan biaya pengelolaan dana masyarakat di bank dalam bentuk bunga simpanan termasuk deposito akan semakin tinggi, sehingga biaya operasional bank terus menerus membengkak.

Itu belum ditambah kredit macet dari lembaga keuangan yang terkait dengan bank dan debiturnya banyak macet. Dengan demikian, semakin menambah besar kredit macet di bank. Belum lagi kalau masyarakat kemudian berpandangan "cash is the king". Terjadi penarikan dana besar-besaran oleh masyarakat di bank (rush), maka akan semakin "chaos" lah sistem keuangan.

Kita pernah mengalami ini di sekitar tahun 1998 saat krisis moneter melanda, meskipun situasinya mungkin sedikit berbeda dengan kondisi Sri Lanka. Rush atau penarikan dana masyarakat karena masyarakat menganggap bank tak lagi merupakan tempat aman menyimpan dana, membuat kekacauan luar biasa pada stabilitas sistem keuangan kita waktu itu. Banyak bank collapse, masuk rumah sakit yang disebut Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan beberapa diantaranya ditutup.

Kembali ke situasi negara bangkrut seperti Sri Lanka, dengan industri yang tak tumbuh karena bank enggan menggelontorkan dana, bank-bank terancam bangkrut, dan harga barang melambung tinggi. 

Inilah yang kemudian memunculkan situasi yang disebut stagflasi. Sebuah kondisi yang menggambarkan tidak terjadinya pertumbuhan ekonomi, yang diiringi kondisi inflasi tinggi.

Ancaman hiperinflasi, krisis keuangan, dan stagflasi akan sulit dihindari oleh negara yang terjerat utang luar negeri serta gagal bayar.

Dunia Terancam Krisis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun