Mohon tunggu...
Hendra Mahyudhy
Hendra Mahyudhy Mohon Tunggu... Penulis - Deliriumsunyi

"Hilangnya ilmu pengetahuan adalah tanda-tanda kehancuran". Pekerja Text Komersil

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Nyanyian Gedoy dan Sesaknya Ruang Bernafas di Tengah Kepulan Negeri Asap

21 September 2019   19:10 Diperbarui: 25 September 2019   06:54 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara-suara di televisi bergema: 

"Empat kabupaten dilanda kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau." 

"Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan itu pun mulai menyelimuti Kota Pekanbaru." 

"Sejak awal pekan ini kabut asap makin pekat berkabut." 

"Beberapa warga pun dilaporkan terdampak ISPA."

Nukilan kalimat di atas merupakan rangkaian beragam narasi dari video pemberitaan nasional tentang dampak kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Provinsi Riau yang berhasil ditangkap seorang musisi bernama Gedoy.

Tak luput dari kreasi si pembuat video, simbolisasi penempatan gambar anak sekolah bersepeda menggunakan masker di tengah serbuan asap tak sehat, lalu seorang anak kecil lain memakai masker memagang kertas bertuliskan #SayaTerpaparAsapdiManaTanggungJawabNegara?

Melalui video dan lagunya, Gedoy mencoba menempatkan kembali seni sebagai kritik sosial terhadap kecenderungan yang tak terjamah oleh kita semua. Lelaku hidup negara yang selama ini mulai bisa diterka arahnya, hingga korporasi-korporasi besar yang memicu terjadinya pembakaran hutan dan lahan.

Apa ini demi semboyan #SawitBaik?

Gedoy - Sesak
Gedoy - Sesak

Langkah kaki Gedoy pun berjalan di tengah situasi gersang akibat kebakaran. Menuju lahan sawit yang hening dan tampak gersang itu, tubuh kurusnya ia dudukan pada akar-akar pohon tua yang mederita karena ulah makluk economicus yang menamakan diri mereka manusia.

Pelan petikan nada-nada sejenis blues itu mulai bermain. Sementara aku menunggu lolongan vokal sang vokalisnya, kegelisahan tampak menyeruak dan pekat. 

Aku pribadi pun, adik kandung dan keponakanku sedang menghirup kabut udara yang tak sehat ulah korporat ini. Kata-kata kasar seharusnya dilayangkan, tapi tunggu, kita harus sabar, katanya dari gedung istana megah warisan kaum penjajah di Pulau Jawa sana.

"Segala musibah datangnya dari Allah SWT... Musibah bisa datang kapan saja, kepada siapa saja, dan di mana saja... termasuk musibah yang menimpa Pekanbaru, Riau, yang sedang terjadi juga datangnya pun dari Allah SWT," kata Kepala Staf Kepresidenan (KPS), Moeldoko di seberang sana.

Lagi-lagi Tuhan, lagi-lagi Tuhan yang secara tidak langsung seperti ingin disalahkan oleh hal yang notabenenya kita sebagai manusia sendiri yang melakukan. Ahh... Aku pada dasarnya semakin muak.

"Ini asap bukan azab," gumamku, mengutip judul berita yang ditulis salah seorang teman sesama wartawan.

Gedoy pun kini bernyanyi, lamunanku tersadar mulai mengikuti. Subjektivitasku tak mengharapkan Gedoy harus bernyanyi layaknya Jason Ranti yang liar, vulgar, dan brutal, berdakwah tentang kehidupan pelik lewat lagu-lagunya.

Gedoy adalah musisi biasa, yang aku kenal dari pekatnya jerebu Karhutla Riau yang tak sopan berkunjung ke rumah saudara mudanya bernama Kepri. Pun juga Batam beberapa hari ini ikut terimbas korporasi asap "milik Tuhan" seperti yang disampaikan KPS di kursi empuknya.

"Kami terkepung di dalam bencana. Derita.. Binasa.. Menyerah. Kabut menjelma menjadi maut... Memburu, menghujam di udara"

Gedoy mulai bersuara lagi. Tak perlu lantang ia ucapkan, meski kabut telah banyak membawa dampak buruk terhadap warga sekitar. 

Miris sebenarnya, saat kabut jerebu semakin tak sopan bermain hingga gang-gang kecil kehidupan masyarakat, sementara pemerintah melakukan kampanye #SawitBaik di media sosial untuk menjawab isu negatif dari sawit.

Atau Wiranto yang berkata "Kemarin waktu kita di Riau, tidak separah yang diberitakan. Jarak pandang masih bisa, pesawat masih mendarat, masyarakat banyak yang belum pakai masker. Kita pun tidak pakai masker," Rabu (18/9/2019) kemarin.

Whattt?! Tidak parah, Pak?

Hmm... Seketika aku coba berkirim pesan pada adik perempuanku semata wayang. Ia membalasnya. Meski tak tinggal di lingkup Kota Pekanbaru, asap pekat Karhutla cukup signifikan dampaknya hingga ke tempat ia tinggal. 

Kecemasanku hanya satu hal. Ia memiliki riwayat asma, asap akan dengan senang membuat dia kembali sakit. Dan ia benarkan, sesak nafasnya kembali kambuh terasa.

"Tapi tenang, tenang, asap ini, segala musibah ini datangnya dari Allah SWT" seolah-olah suara dari istana kepresidenan berbisik lembut di telingaku, agar aku tetap tenang atau stay cool.

Aku hanya tersenyum pelan. Belakangan rakyat di negara dunia ketiga ini sedang dalam kondisi yang dilema. Mereka terpecah belah, akan status quo pro dan kontra.

Apalagi urusan fanatisme buta dua kubu yang terus dibudayakan layaknya kearifan lokal yang harus dilestarikan. Tempo kena imbasnya, Bukalapak juga, bahkan kini hingga KPK.

"Sesak menyiksa, di rongga dada... Menjerat, menyekat nafas ini... Api yang kau ciptakan itu, Perlahan-Lahan MEMBUNUH!"

Gedoy kembali bernyanyi, di penghujung tulisan ini. Aku pun sadar, kotornya sepatu Jokowi selepas blusukan ke dalam hutan yang terbakar tak sebanding dengan ratusan orang yang terkena dampak ISPA karena jerebu hutan dan lahan yang konon katanya datang dari Tuhan.

Oh, Tuhan...
Maaf kami sibuk berkata, kala ada bencana ulah tangan manusia, kami katakan itu karena kemauanmu.

Kebakaran yang juga terjadi di Batam (dokpri)
Kebakaran yang juga terjadi di Batam (dokpri)


Tulisan ini juga dipublish di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun