Mohon tunggu...
Dede Kodrat Alwajir
Dede Kodrat Alwajir Mohon Tunggu... -

@kodratalwajir | Presenter Carlita TV | Personal Branding Planner | Peraih Penghargaan Presenter TV Terpavorit di Ajang KPID Banten Award\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jebakan Birokrasi

28 Agustus 2017   11:45 Diperbarui: 28 Agustus 2017   12:06 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Dede Qodrat Alwajir 

Siapapun yang berhasil melewati proses politik dalam pemilu, kemudian keluar sebagai pemenang. Akan selalu menghadapi persoalan yang sama. Setelah mengalahkan lawan politik dalam kontestasi demokrasi, lawan kedua setelahnya adalah birokrasi. Kenapa saya sebut birokrasi adalah lawan, sebab birokrasi merupakan alat Negara yang dilembagakan untuk menjalankan kebijakan publik. Alat Negara ini diisi oleh manusia-manusia yang tidak semuanya netral. Karena alat Negara dan dilembagakan untuk menjalankan kebijakan publik, birokrasi mau tidak mau terlibat dalam proses politik yang lebih rumit.

Kita sepertinya akrab dengan pernyatan para ilmuan sosial yang menyebutkan, "saat proses politik berakhir disitulah proses birokrasi berjalan." Sesungguhnya dalam proses birokrasi yang berjalan tidak sepenuhnya hanya birokrasi yang memiliki peran. Namun dalam proses itu peran politik pun masih dominan. Saling menekan dan mempengaruhi untuk mendapatkan kue pembangunan atau sekedar mendapatkan jabatan bergengsi.

Absolutnya informasi, banyaknya sumber daya yang dikuasai membuat birokrasi seperti mempunyai hak privilege. Mereka biasanya bertindak sebagai shadow power disamping kekuasaan formal yang dilembagakan kepada politisi terpilih. Kekuasaan formal boleh saja dimiliki oleh politisi tapi apakah kekuasaan itu menjadi bermakna tatkala informasi dan sumber daya tidak sepenuhnya bisa di akses oleh yang bersangkutan. Disinilah relevansi kenapa saya menyebut birokrasi adalah lawan selanjutnya bagi penguasa formal yang diberikan kekuatan oleh undang-undang.

Kondisi ini harus dijadikan 'warning' bagi politisi agar tidak terlalu terlena dengan jebakan-jebakan yang dibuat oleh birokrasi ketika mememulai menjalankan pemerintahan. Sekali salah langkah, maka bukan penguasa formal yang memimpin, namun birokrasi sebagai shadow power mengambil alih kekuasaan yang dimiliki politisi terpilih. Parahnya, jika ini terjadi Negara akan seperti Negara otomatis yang berjalan tanpa arah dan tanpa visi mendalam.

Lalu seperti apakah jebakan birokrasi yang saya sebut di atas melembaga. Pertama, birokrasi selalu menjebak dengan realitas palsu bernama loyalitas. Loyalitas semu yang sering kita temui dibirokrasi adalah kepatuhan yang diwarnai kepura-puraan. Birokrasi akan selalu berusaha menunjukan bahwa dirinyalah yang mampu dan paling bisa dipercaya. Padahal dalam loyalitas itu selalu diiringi motif menyusupnya berbagai kepentingan individu dan sekelompok orang.

Selain itu, birokrasi akan berusaha sekuat mungkin menciptakan kondisi agar politisi yang baru memimpin mengalami delusi realitas. Yang dimaksud dengan delusi realitas adalah tidak sesuainya keyakinan yang dimiliki seseorang dengan kenyataan yang dialami. Dalam hal ini delusi realitas menghasilkan artikulasi bahwa seakan-akan yang paling benar adalah birokrasi. Peran perwakilan rakyat melalui lembaga legislatif, kelompok penekan seperti lembaga swadaya masyarakat, bahkan masyarakat sendiri akan sering dinegasikan.

Selain oleh politisi, delusi realitas juga banyak dialami oleh kita sendiri. Diantaranya kita  yang sedang memiliki jabatan, lalu anak buah akan sering menyanjung dengan motif yang tidak selamanya tulus. Sedikit dipuji lalu berbangga diri akan mengaburkan kejernihan pikir sehingga saat mengambil keputusan akan mudah terpengaruhi, tidak independen bahkan sulit mandiri. Delusi realitas seperti labirin yang tidak pernah ada ujung. Semakin lama semakin tersanjung maka makin lupa diri. Bila tak dihentikan, kita seperti mempunyai dunia sendiri yang berbeda dengan dunia kenyataan. Keberadaannya yang susah terdeteksi akan sulit untuk diobati.

Lalu apa yang akan menyelamatkan pemimpin formal dalam menjalankan tugasnya. Ada dua hal penting yang membuat pemimpin mampu keluar dalam situasi menyeramkan. Pertama adalah moral konstituen. Moral konstituen merupakan semangat yang mendorong pemimpin formal untuk tetap berada dalam jalur kepemimpinannya.

Moral konstituen menyadarkan para pemimpin bahwa kekuasaan ditangannya bukan hanya atas dasar usahanya sendiri. Kekuasaan besar yang dimilikinya disebabkan oleh satu per satu suara yang disalurkan melalui tempat pemungutan suara kemudian melembaga menjadi kekuasaan yang resmi. Ketika pemimpin sadar bahwa keberadaannya merupakan perwakilan dari berbagai harapan konstituen. Kita yakin yang bersangkutan akan memberikan yang terbaik bagi pelayanan warga Negara. Tidak terkecuali.

Cara kedua untuk mengalahkan jebakan birokrasi adalah kemampuan yang muncul dalam diri seorang pemimpin. Kemampuan yang tidak serta merta hadir. Tapi kemampuan yang melalui proses panjang pengalaman. Dalam istilah saya adalah expert power. Kekuasaan yang professional, mampu dalam menjalankan pemerintahan, tahu detil juga mampu berpikir besar. Tak peduli seberapa pintar ketika memulai menjalankan pemerintahan, expert power mensyaratkan pemimpin selalu belajar dalam berbagai hal. Dengan begitu politisi akan mampu meng 'guide' birokrasi sesuai dengan arah pembangunan yang benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun