Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hibriditas Budaya: Konsep, Strategi, dan Implikasi

24 Maret 2023   00:12 Diperbarui: 24 Maret 2023   11:47 3966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seni instalasi “Fish Net Stockings” karya Joellyn Rock & Alison Aune menggunakan media hibrid. Foto: Joellyn Rock. Sumber: https://www.uib.no

Sang Hibrid vs Esensialisme (Identitas) Budaya

Pemahaman terhadap hibriditas budaya yang menghasilkan campuraduk kultural dengan kepentingan dan potensi strategis yang menyertainya, menghadirkan kritik tajam terhadap pemikiran esensialisme kultural. 

Secara sederhana, esensialisme kultural merupakan pandangan yang memposisikan teks, praktik, dan identitas kultural sebuah komunitas atau masyarakat selalu bersifat stabil, inherent, dan tidak akan banyak berubah. 

Sumber: https://blogs.commons.georgetown.edu
Sumber: https://blogs.commons.georgetown.edu

Dougan (2003: 33) mengungkapkan beberapa karakteristik dari esensialisme kultural. Pertama, menganggap adanya sebuah inti dari unsur-unsur sebuah budaya yang penting bagi eksistensi bdaya tersebut. Kedua, bersifat ahistoris dan tak berkesudahan. 

Ketiga, berusaha menstabilkan identitas kultural yang sebenarnya tidak stabil dan menyederhanakan asal-usul yang menyatu dari pengalaman hidup. 

Keempat, menyediakan batasan-batasan yang permanen, jelas, dan mendalam bagi pembedaan sosial, di mana batasan-batasan itu akan menjadi alat untuk menghormati dan menyalahkan, distribusi nilai harga dan keuntungan, regulasi masyarakat, dan mobilisasi pelaku bagi aksi kolektif.

 Akibatnya, esensialisme dan batasan mendalam mampu menjadi instrumen bagi dua gerakan besar dalam kolonialisme, yakni penaklukan dan perjuangan melawan penaklukan. 

Artinya, penjajah menggunakan esensialisme kultural dari calon terjajah, seperti bodoh, tidak beradab, tidak berpendidikan, mitis, takhayul, dan lain-lain untuk melegalisasi praktik kolonialime atas nama pencerahan. Sementara kaum terjajah menggunakan esensialisme kultural yang melekat pada masyarakatnya untuk bisa membangkitkan semangat perjuangan melawan penjajah.

Esensialisme kultural juga seringkali digunakan kelompok etnis, agama, ataupun ras tertentu untuk melakukan politik identitas (identity politics) yang terkadang tidak digunakan untuk melakukan pembelaan terhadap budaya yang ada, tetapi lebih sering digunakan untuk kepentingan-kepentingan ekonomi maupun politik tertentu. 

Gimenez (2006: 431-432) menegaskan bahwa politik identitas, sebagai ideologi dan praktik, kalau tidak hati-hati mengaburkan persoalan kelas sosial sebagai sumber pengalaman dan permasahan bersama, membuka dan menutup kesempatan-kesempatan edukasional, sosial, dan ekonomi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun