Meskipun akan menyebabkan pembusukan, setidaknya akan ada evolusi untuk menghasilkan "pembuahan" agar muncul "tunas-tunas koruptor yang lebih bertanggungjawab terhadap nasib bangsanya." Regenerasi koruptor dan mata rantai tiada putus praktik korupsi pun menjadi nilai ideal yang akan membahagiakan para koruptor.
EPILOG
Pertunjukan Koruptor Budiman ditutup dengan adegan reflektif si perempuan koruptor yang menyerahkan diri kepada aparat keamanan. Namun, dia masih merasa heran karena para aparat keamanan tidak berani menangkapnya. Dengan nada satir ia mengatakan:
"Barangkali para aparat hukum itu memang benar-benar percaya, bahwa koruptor seperti saya ini memang asset bangsa yang mesti dilindungi. Hingga, meskipun koruptor seperti saya sudah berada di dalam penjara, masih saja terus diberi keleluasaan untuk secara sistemik melakukan korupsi dengan baik dan benar, serta secara murni dan konsekuen..."
Sebagai sebuah penutup, tuturan si koruptor merupakan tamparan keras terhadap aparat keamanan dan penegak hukum lainnya yang masih belum berani 100% melakukan pembersihan terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Perlu dicatat, naskah ini ditulis pada tahun 2006 di mana pemberantasan korupsi memang masih terasa begitu berat. Untuk beberapa tahun terakhir, tentu, sudah banyak perubahan berarti.Â
Meskipun demikian, kita juga menyaksikan betapa KPK dan lembaga penegak hukum lainnya masih harus berjuang lebih serius lagi untuk memberantas dan mencegah tindak korupsi yang masih menjadi common enemy di Republik ini. Adanya kekhawatiran beberapa pihak terkait langkah politik dan hukum Presiden Joko Widodo terkait KPK juga perlu diperhatikan.
Setidaknya, pertunjukan Koruptor Budiman mengingatkan kita semua bahwa korupsi bisa bertransformasi menjadi banyak kebaikan yang seolah-olah berkontribusi kepada kehidupan masyarakat. Para koruptor juga bisa bertransformasi menjadi subjek yang seakan-akan peduli kepada permasalahan sosial, agama, bangsa, dan negara.Â
Satir yang disajikan melalui tokoh perempuan koruptor menjadi pengingat bagi kita semua bahwa korupsi bisa muncul dalam ragam wujud yang menyentuh sisi rasional dan batin publik, sehingga mereka bisa saja memaklumi dan menganggapnya wajar. Prinsip transformasi dan normalisasi itulah yang bisa memastikan "regenerasi korupsi" sejak dalam pikiran karena banyak orang menganggapnya wajar dan penting, sekaligus bermanfaat untuk kemaslahatan bersama.Â
Dalam kondisi demikian, semua lambang negara sepertihalnya replika Burung Garuda dalam pertunjukan dan konstitusi tidak akan berarti apa-apa karena korupsi sudah menjadi bagian dari struktur batin yang mewujud dalam tindakan sehari-hari.
RUJUKAN