Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Satir Normalisasi Korupsi dalam Monolog "Koruptor Budiman"

16 Juli 2022   00:59 Diperbarui: 18 Juli 2022   17:45 6170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan berseloroh, si koruptor mengatakan bahwa pemberantasan korupsi bisa "menggulingkan gerbong-gerbong demokrasi." Sekali lagi, kita bisa temukan kualitas satir yang menohok dan menghantam kebobrokan praktik bernegara oleh para penegak hukum, pemerintah, dan legislatif.

Argumen si koruptor yang membawa-bawa narasi Pancasila dan demokrasi inilah  yang membuat suasana semakin kacau. Para wartawan mendesak maju untuk mengajukan pertanyaan. Dan, di kesempatan yang sama, para demonstran mulai merangsek masuk, membuat suasana semakin panas. Sayangnya, adegan ini tidak cukup tergambarkan dalam pertunjukan monolog. 

Semestinya, suara gaduh tersebut cukup dihadirkan dari balik layar, tetapi si perempuan bisa memberikan respons atas kegaduhan tersebut. Meskipun demikian, menarik untuk menyimak pernyataan lanjut si perempuan menghadapi desakan wartawan dan mahasiswa. 

Ia dengan lantang mengatakan bahwa para koruptor juga bisa melakukan penggalangan massa untuk aksi besar-besaran. Kalau para koruptor sehari saja melakukan aksi mogok, maka semua kantor, dari kantor kelurahan hingga Istana Negara menjadi sepi. Selain itu, pelayanan publik dan birokrasi terhenti, pabrik-pabrik tidak beroperasi, dan, bahkan, WC umum pun tidak akan ada yang ngurusi. Ancaman si koruptor menunjukkan bahwa korupsi sudah menguasai sendi-sendi negeri. 

"Bagaimana cara kalian membasmi? Kalian seperti mengamputasi tubuh sendiri,'' ujar si perempuan koruptor. Artinya, ketika ada gerakan untuk membasmi praktik korupsi di Indonesian, dampak negatifnya begitu besar karena negeri ini seperti berhenti bergerak karena tubuh yang penuh korupsi akan diamputasi. Sebagai solusi, si koruptor pun mengajak kepada seluruh warga untuk mulai menerima korupsi sebagai tradisi yang menggerakkan perekonomian dan pembangunan.

Meskipun seluruh negeri geger dengan pengakuan dan populeritas si perempuan koruptor, ia tetap merasa bangga karena sudah mengaku dan menyerahkan diri. Dengan cara demikian, ia bisa merasa lebih santai menghadapi hukuman. Meskipun dihujat banyak pengamat dan di-demo banyak mahasiswa (lagi-lagi adegan ini tidak muncul dalam bentuk suara), si koruptor tetap merasa benar dengan semua keputusan dan omongannya. Baginya, negeri ini sudah bobrok dan sulit untuk disembuhkan.

''Saya tak cari sensasi dengan semua ini ... Saya justru ingin memberikan tauladan, bahwa koruptor pun bisa menjadi seorang yang budiman. Kalau pun maling, dia maling yang budiman. Seperti Robin Hood. Atau jadi Zoro, kalau sebagai koruptor kita kian peduli pada wong cilik. Karena siapa lagi yang akan memperhatikan wong cilik? Sebab partai-partai politik tak pernah mikirin nasib wong cilik yang terus-menerus terpuruk dalam kemiskinan. 

Karena itulah, wahai para koruptor yang beriman, marilah kita tingkatkan amal dan taqwa kita dengan membantu negeri ini, supaya makin terbenam dalam keterpurukan dan kemiskinan lahir batin. Negeri ini tak bisa diselamatkan, kecuali dengan mempercepat proses pembusukan. Koruptor macam kita mesti mendukung proses itu. Bila tidak, negeri ini akan terus nggak jelas seperti ini. Ini negeri seolah-olah, seperti dikatakan Parakitri T Simbolon. 

Semuanya jadi serba seolah-olah dan seakan-akan. Seolah-olah demokratis. Seolah-olah negeri hukum. Seolah-olah agamawan. Seolah-olah intelektual. Seakan-akan menteri, padahal pengusaha. Seakan-akan penyair, padahal setengah pengangguran. Tak heran, seorang yang sudah resmi menyandang predikat koruptor pun, masih bisa berpenampilan tenang penuh senyum mirip rohaniawan seperti saya.''


Ia mengungkap kembali wacana Robin Hood-isme karena baginya sudah tidak ada lagi pihak yang mau memperhatikan wong cilik. Partai politik yang menghabiskan dana besar dari anggaran Negara tidak pernah memikirkan mereka. Hanya sibuk untuk memperbesar suara dan memperkaya partai serta para wakil rakyatnya. Mereka bersepakat untuk memikirkan diri sendiri dari uang Negara. 

Kengerian-kengerian itulah yang menurut si koruptor harus diatasi secara benar dan bijak. Maka, seruan kepada para koruptor yang "beriman" agar mereka giat beriman dan beramal dengan tujuan agar Republik ini semakin tenggelam. Sebuah seruan moral beraroma kebrengsekan karena ia melihat bahwa Negara ini sudah tidak bisa tertolong lagi, selain meneggelamkan dan mempercepat proses pembusukannya. 

Dok. antikorupsi.org
Dok. antikorupsi.org

Ungkapan tersebut merupakan "apatisme akut" yang juga dirasakan banyak warga negara Indonesia menyadari betapa akutnya praktik korupsi di dalamya. Hanya dengan cara demikianlah, bangsa dan negeri ini bisa melakukan perubahan dalam kehidpan bernegara dengan aturan-aturan yang lebih jelas.

Tanpa perubahan berarti, meskipun menyakitkan, negeri ini selamanya akan menjadi negeri seolah-olah. Pada tahapan ini, kita bisa menemukan kecanggihan retorik si koruptor dengan menyitir pendapat pakar. Fungsi wacana pakar ini melegitimasi semua formasi wacana terkait koruptor budiman yang sejak awal ia tebarkan ke penonton. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun