Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Satir Normalisasi Korupsi dalam Monolog "Koruptor Budiman"

16 Juli 2022   00:59 Diperbarui: 18 Juli 2022   17:45 6170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Kompas/Didie SW) 
Ilustrasi (Kompas/Didie SW) 

Ini semua terjadi karena para koruptor sebagai orang kaya memang ditempatkan dalam struktur sosial elit di tengah-tengah masyarakat. Investasi sosial dan kegamaan berupa bermacam sumbangan secara kultural mampu mengeliminasi citra buruk mereka di mata masyarakat. Apalagi, mereka aktif dalam bermacam kegiatan tersebut. 

Maka, tidak mengherankan kalau banyak koruptor juga pandai dalam hal melafalkan perintah agama, meskipun secara substansial tidak bisa menerapkan. Tidak mengherankan kalau para koruptor masih bisa tersenyum ketika berada di depan kamera jurnalis. Pantas kiranya dikatakan bahwa para koruptor itu "sudah putus urat malunya", apalagi di dalam penjara mereka masih bisa hidup dalam kemewahan dengan nyogok ke petugas lembaga permasyarakatan (Dw.com, 2019). 

Selain itu, hukuman yang tidak terlalu memberatkan kepada para koruptor menjadi pemicu hilangnya rasa malu tersebut. Penerimaan kembali oleh lembaga negara untuk mereka yang menjadi aparatur sipil negara serta oleh masyarakat, tentu menjadikan para koruptor tidak pernah menampakkan rasa malu, seperti yang dihadirkan oleh si perempuan koruptor dalam monolog ini. 

Bermacam bentuk investasi sosial dan kultural dengan moda Robin Hood-isme yang menjadikan koruptor diterima dan dihormati dalam masyarakat tentu patut menjadi perhatian KPK dan lembaga penegak hukum karena pengabaiannya tidak menjadikan para koruptor merasa jera dan malu.  

MENJADI KORUPTOR 'PANCASILAIS', 'DEMOKRATIS' & 'AGAMIS' 


Salah satu kelemahan mendasar dari monolog ini adalah kurang tergarapnya efek di luar permainan pelaku, khususnya ketika harus menggambarkan suasana kerumunan, demonstrasi, dan tuntutan kepada si perempuan. Misalnya, ada sebuah adegan di mana si perempuan harus melayani pertanyaan banyak wartawan tentang demonstrasi mahasiwa. 

Semestinya, harus ada suara pertanyaan wartawan yang bisa berada di luar arena permainan, dari para ilustrator musik, misalnya. Jadi, antara satu ungkapan dengan ungkapan lain tidak terkesan terputus dan tidak nyambung. Menurut saya, penyiasatan teknis hanya dengan merancakkan ilustrasi musik tidak cukup. Penghadiran audio pertanyaan wartawan tentu akan cukup membantu para penikmat untuk mengikuti alur cerita.

Dalam menanggapi pertanyaan wartawan, si perempuan dengan tenang dan tetap tersenyum, tanpa dosa, menjawab sebagai berikut.

''Naif, bila para mahasiswa terus menuntut koruptor di penjara. Nanti malah repot mesti bikin buuanyak penjara. Karena 70% warga republik ini pasti akan masuk penjara. Tidaklah itu hanya akan menghabiskan Anggaran Belanja Negara? Percayalah, biaya memenjarakan koruptor jauh lebih tinggi ketimbang dana subsidi BBM yang dialokasikan buat mengatasi kemiskinan. Jadi, memenjarakan koruptor itu justru kontraproduktif bagi keuangan negara. Daripada uang dihambur-hamburkan membangun penjara, lebih baik uang itu kami korupsi lalu kami bagi-bagikan secara adil dan merata."

Penggunaan istilah "naif" yang ditujukan kepada para mahasiswa pendemo menegaskan bahwa koruptor memiliki posisi moral dan intelektual yang jelas. Seperti si perempuan yang memiliki kalkulasi logis betapa ide untuk memenjarakan semua koruptor adalah tidak benar. Mengapa demikian? "Karena 70% warga Republik ini pasti akan masuk penjara". 

Bagaimana bisa? Banyak pelaku korupsi yang membagi hasil korupsinya untuk keluarga, masyarakat, komunitas agama, para penegak hukum, dan yang lain. Biaya untuk memenjarakan koruptor dengan demikian lebih mahal karena pemerintah harus membuat begitu banyak penjara dan menyediakan anggarannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun