Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Satir Normalisasi Korupsi dalam Monolog "Koruptor Budiman"

16 Juli 2022   00:59 Diperbarui: 18 Juli 2022   17:45 6170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi wajar kalau dikatakan bahwa berada di institusi penegak hukum merupakan jaminan keamanan. Dalam konteks tersebut kata 'zakat' benar-benar menjadi ejekan yang sangat memalukan. Karena seringkali perilaku korup dianggap wajar dan ada anggapan bahwa selagi digunakan untuk kepentingan agama semua diperkenankan. 

Bagi saya, penggunaan ungkapan "zakat" etika, merupakan kritik tajam atas kebobrokan penegak hukum yang benar-benar mengalami kemiskinan moral, dan sifat terpuji. Apalagi dalam ajaran agama, hasil dari penarikan zakat memang diberikan kepada orang miskin. 

Ilustrasi Koruptor(Kompas) 
Ilustrasi Koruptor(Kompas) 

Secara material, para penegak hukum tersebut adalah orang-orang yang sudah mendapatkan gaji dari Negara. Ketika mereka mau menerima pembeian koruptor atau orang lain yang bermasalah dengan kasus hukum, berarti mereka memosisikan diri sebagai orang miskin yang wajib di bantuk. Ini bisa dibaca sebagai penghinaan atas eksistensi diri mereka sendiri yang sebenarnya sudah mendapatkan gaji dan fasilitas dari Negara.

Wacana "bagi-bagi rezeki" dan "zakat" merupakan konstruksi yang bisa dikatakan berani karena menggunakan dua formasi yang sudah umum dalam masyarakat. Bagi-bagi rezeki biasa diarahkan kepada praktik yang dilakukan orang-orang dengan harta melimpah atau baru saja dapat rezeki yang cukup banyak. 

Praktik ini juga berkaitan dengan zakat yang dibebankan kepada orang-orang yang sudah mampu. Untuk mereka yang kaya tentu ada mekanisme tersendiri terkait zakat yang harus mereka bayarkan. Keberanian penulis teks menginkorporasi dan mengartikulasikan dua praktik populer yang berkaitan dengan kedermawanan dan religiusitas orang-orang mampu diperkuat oleh ekspresi perempuan koruptor yang tidak merasa bersalah dan berdosa sama sekali. Seperti para koruptor beneran yang cengengesan ketika mengenakan rompi oranye di Gedung KPK.


Tidak hanya berhenti pada reasoning "bagi-bagi rezeki" dan "zakat", si perempuan koruptor juga menghadirkan pembenaran-pembenaran lain yang melegitimasi praktik korupsi yang ia lakukan.

"Saya hanya ingin meluruskan anggapan keliru, yang menyatakan koruptor macam saya tak lebih benalu bangsa tak berguna. Koruptor macam saya jelas aset bangsa. Kamilah yang menggerakkan roda perekonomian. Dengan korupsi uang jadi terdistribusi. Terjadi pemerataan. 

Seperti pembangunan, korupsi juga terjadi di segala bidang. Kami tak pernah menikmati buat sendiri. Kami ikut nyumbang pembangunan rumah ibadah, menyantuni anak yatim, membantu korban bencana, menyokong olahraga, iuran tujuhbelasan. Banyak. Karena sebagai koruptor yang baik, kami tahu cara mengelabui. Dengan berbuat baik, kami menjadi dihormati. Duduk di depan bila ada hajatan, dan diminta bicara di pengajian.''

Dengan mimik muka penuh percaya diri komposisi tubuh berdiri laksana orang bijak, si koruptor perempuan melakukan proses contrasting yang menghadirkan banyak legitimasi. Tanpa rasa malu, ia mengatakan koruptor seperti dirinya sebagai "aset bangsa", bukan "benalu bangsa". 

Istilah "benalu" secara sosial dilekatkan kepada individu-individu yang kehadirannya di dalam sebuah kelompok atau komunitas merugikan pihak lain karena hanya bisa mengeruk keuntungan tanpa bekerja keras. Dalam pemahaman tersebut koruptor secara sah merupakan "benalu bangsa" karena jelas-jelas merugikan kepentingan negara dan bangsa serta menjadikan program-program nasional dan regional. 

Ilustrasi(DOK KOMPAS) 
Ilustrasi(DOK KOMPAS) 

Yang lebih parah adalah mereka melakukan pengerukan kekayaan negara yang semestinya bisa digunakan untuk banyak aktivitas pembangunan. Akibatya, banyak proyek pembangunan atau program-program sosial negara dikerjakan tidak sesuai dengan standar kelayakan. Kenyataan ini tentu menjadikan kualitas proyek pembangunan bermutu rendah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun