Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Identitas Using Banyuwangi dalam Kendali Rezim Orde Baru

29 November 2021   05:47 Diperbarui: 29 November 2021   06:51 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gandrung di era kolonial. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda

Hasan Ali dan Hasnan Singodimayan, dua seniman yang juga berstatus sebagai PNS, juga melakukan lobi terhadap bupati agar para seniman seperti Andang CY, Mahfud, dan Basir Noerdian yang dikenal publik sebagai anggota Lekra, diperbolehkan untuk berkarya-kembali karena dua orang itu merupakan figur-figur sentral dalam kesenian musik Banyuwangian. Bupati mengizinkan dengan syarat agar mereka tidak diberi peran terlalu banyak.  

Sementara, Mas Soepranoto, yang juga PNS, meminta izin bupati untuk menghidupkan kembali angklung yang identik dengan Lekra dan Genjer-genjer. Izin diberikan dengan catatan lagu-lagunya harus mendukung pembangunan kebudayaan nasional dan pembangunan nasional (Sariono, Subaharianto, Saputra & Setiawan, 2010).

Mulai berseminya identitas Using tidak bisa dilepaskan dari kontribusi para seniman yang disponsori negara untuk memulai proyek kebudayaan khas Banyuwangi. Dipilihnya kesenian-kesenian yang menggunakan bahasa Using menjadi strategi populis karena, baik kesenian lagu maupun tembang dan tari, merupakan ekspresi kultural khas dan unik yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain di Jawa dan Indonesia. 

Maka, Hasan Ali kemudian berupaya melakukan rekaman terhadap lagu-lagu para seniman musik tersebut dengan menggunakan angklung yang sudah ditambahi alat musik gandrung, sehingga disebut "angklung daerah". Lagu-lagu seperti Kembang Galengan, Kembang Peciring, Amit-amit, Kembang Pethetan, Ulang Andung-andung, Prawan Sunti, Kali Elo, Tanah Kelahiran, Ugo-ugo, Umbul-umbul Blambangan dan yang lain, direkam dan disebarluaskan melalui radio khusus pemerintah daerah (RKPD, Suara Blambangan). 

Penyebarluasan lagu-lagu berlirik bahasa Using inilah yang menjadi tonggak-baru kebangkitan identitas Using di wilayah Banyuwangi secara massif karena banyak warga yang menggunakan bahasa berciri khas "sing" atau "Using" ini yang menggemari. Perlahan-lahan mereka mulai lepas dari trauma Genjer-genjer yang diklaim sebagai lagu komunis. 

Lebih jauh lagi, warga yang berbahasa Using mulai menemukan kebanggaan karena bahasa mereka digunakan sebagai bahasa lagu yang direkam dan disebarluaskan oleh rezim negara. Apalagi dalam sosialisasinya, musik garapan tersebut selalu diwacanakan sebagai Musik Lare Using atau Gaya Musik Lare Using (Arps, 2009: 16).

Untuk semakin menggairahkan dan menyebarluaskan ke-Using-an di tengah-tengah masyarakat Banyuwangi, RKPD Suara Blambangan juga diminta membuat program-program khusus, seperti Gaya Lare Using, Siaran Bahasa Using, Sastra Using, dan Drama Using. 

Selain itu, pada 1970-an sampai dengan 1980-an diselenggarakan acara tahunan Lomba Tembang Using yang menyanyikan lagu-lagu gandrung. Efek diskursif dari mulai berkembangnya kebanggaan akan Using adalah mulai meluasnya usaha-usaha diskursif turunan yang dilakukan oleh individu seniman ataupun pengusaha swasta yang ikut memopulerkan lagu-lagu berbahasa Using dalam bentuk rekaman pita/kaset. 

Beberapa individu, seperti Fatrah Abal, seorang seniman dan kontraktor listrik, menciptakan lagu-lagu berbahasa Using bertema cinta seperti Gelang Alit dan pentingnya pendidikan serta kepahlawanan Menak Jinggo diiringi musik Melayu yang pada awal 1970-an mulai populer di Banyuwangi. Perusahaan rekaman swasta, seperti Sarianda Record dan Ria Record di Banyuwangi, Moro Seneng di Kalibaru, dan Kencono Record Rogojampi, mulai merekam dan mengedarkan lagu-lagu berlirik Using (Waluyo & Basri, 2007). 

Namun dikarenakan rezim tidak ingin kehilangan kendali atas proyek kultural yang mereka usung, usaha-usaha individual maupun swasta tersebut mulai dibatasi. Artinya, tafsir pengembangan identitas kedaerahaan di Banyuwangi tidak boleh melanggar pakem dan kebijakan yang sudah diputuskan oleh negara dan diamini oleh sebagian para aktor yang terlibat di dalam penentuan kebijakan tersebut. 

Fatrah Abal, misalnya, dianggap melanggar pakem musikal angklung daerah dan gandrung karena menggunakan musik Melayu. Sebagai pelaku seni yang punya tujuan untuk menyabarluaskan budaya Banyuwangi, khususnya yang berwarna Using, ke khalayak yang lebih luas, tentu saja, ia berhak untuk meniru dan menyerap aspek musikalitas yang berasal dari luar. Apalagi motivasi ekonomi untuk mendapatkan populeritas juga menyertai usaha kultural tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun