Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Identitas Using Banyuwangi dalam Kendali Rezim Orde Baru

29 November 2021   05:47 Diperbarui: 29 November 2021   06:51 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gandrung di era kolonial. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda

Bahkan, penetapan hari jadi pada tanggal 18 Desember 1771, setelah melalui perdebatan dalam banyak seminar yang juga melibatkan akademisi dari Bali, Jember, dan Yogyakarta, juga merujuk pada perlawanan Wong Agung Wilis terhadap penjajah Belanda, di mana pasukan pimpinannya berhasil untuk sementara waktu mengalahkan penguasa asing tersebut. 

Meskipun pada masa itu kabupaten ini masih bernama Kerajaan Blambangan, rujukan pada tanggal, bulan, dan tahun tersebut jelas ditujukan untuk memunculkan kebanggaan regional berbasis kisah kepahlawanan. Identifikasi heroisme sebagai basis untuk menentukan hari lahir selain berkaitan dengan kebanggaan juga berkaitan dengan mendapatkan legitimasi politiko-historis yang bisa memperkuat solidaritas sebagai sama-sama warga pewaris kejayaan Blambangan. 

Apa yang berlangsung di Banyuwangi pada era Orde Baru menunjukkan bahwa identitas Using bukanlah sesuatu yang tiba-tiba lahir. Alih-alih, proses identifikasi Using merupakan transformasi dari apa-apa yang diwariskan oleh pengetahuan dan praktik kultural era kolonial. 

Sejak era kolonial, labelisasi yang bernuansa stereotip berlangsung dalam kehidupan warga keturunan Blambangan. Meskipun demikian, mereka bisa melakukan proses kebudayaan yang dinamis dan lentur dengan memformulasi beragam ritual dan kesenian. Kesemarakan tersebut menjadikan masyarakat Using memiliki karakteristik dan menjadi penanda penting budaya Banyuwangi. 

Bagi rezim Orde Baru, kesemarakan yang menyisahkan bermacam peristiwa tragis pasca 1965 memang harus dibina dan dikendalikan secara benar. Tujuannya, menetralisir sisa-sisa komunisme yang pada masa sebelumnya begitu kental di kalangan seniman, terutama mereka yang berafiliasi ke Lekra, serta mendukung proyek budaya nasional.

Akibatnya, kesenian lebih semarak dan berhasil menyebarkan konsep identitas Using secara massif ke tengah-tengah masyarakat, sehingga warga keturunan Blambangan mulai familiar dan menerima identifikasi yang sejatinya pada masa kolonial tidak disukai tersebut. Tentu saja, prinsip-prinsip selebrasi menjadi lebih utama, alih-alih semangat resisten terhadap kekuasaan yang dulu pernah diperjuangkan para leluhur Blambangan terhadap penjajah.

Dengan kata lain, diakui atau tidak, rezim Orde Baru secara diskursif dan praksis berhasil menanamkan fondasi identitas Using dalam aspek kebahasaan, kebudayaan, dan etnisitas yang sampai saat ini berkembang di masyarakat. Penekanan pada identitas dalam makna solidaritas dan kebanggaan dalam prinsip selebrasi, ikut berkontribusi membentuk kerangka berpikir dan praksis yang berkembang dalam masyarakat. 

Perayaan ekspresi kultural yang dirintis sejak Orde Baru, pada akhirnya, ikut memperkuat identitas Using yang begitu meriah di tengah-tengah masyarakat. Meskipun demikian, kita juga menyaksikan, betapa sejak Orde Baru, kekuatan identitas tersebut secara pasti diarahkan untuk perayaan dengan meminimalisir potensi-potensi resistensi terhadap kekuasaan sehingga aspek ketertiban bisa diciptakan guna mendukung nasionalisme dan pembangunan.

* Tulisan ini merupakan bagian dari "Bab Using dalam konstruksi dan tegangan dari masa kolonial hingga masa pascakolonial" dalam buku Merawat Budaya/Merajut Kuasa: Identitas Using dalam Kontestasi Kepentingan (2017), diterbitkan Diandra Kreatif Yogyakarta, yang saya tulis bersama Albert Tallapessy dan Andang Subaharianto. Ditulis kembali khusus untuk Kompasiana.

DAFTAR RUJUKAN

Arps, Ben. 2009. “Using kids and the banners of Blambangan: Ethnolinguistic identity and the regional past as an ambient theme in East Javanese town”. Dalam Wacana, Vol.11, No.1: 1-38.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun