Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gandrung Banyuwangi Pascareformasi: Antara Pelestarian dan Dekapan Politik

6 Desember 2021   06:28 Diperbarui: 6 Desember 2021   06:36 1292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gandrung. Foto: Dok. Pribadi

DALAM DEKAPAN POLITIK

Gandrung tetaplah menjadi pesona Banyuwangi meskipun rezim telah berganti. Ungkapan tersebut kiranya tidak berlebihan untuk menggambarkan betapa tarian pergaulan yang mulai di-invensi dan di-investasi sejak Orde Baru tetap menjadi kebanggaan dan kekuatan kultural masyarakat Banyuwangi, khususnya Using di tengah-tengah hingar-bingar perubahan politik, ekonomi, dan kultural di zaman pascareformasi. 

Meskipun jumlahnya semakin berkurang dari tahun ke tahun, gandrung terob masih eksis. Sanggar tari tumbuh semakin banyak dan menjadikan gandrung sebagai basis garapan kreatif para seniman. Demikian pula rezim negara yang tetap memosisikan, atau, lebih tepatnya memperkuat posisi, gandrung sebagai ikon budaya bumi Banyuwangi yang bisa 'dimanfaatkan' untuk beragam kepentingan; dari pariwisata hingga politik.

Terpilihnya Samsul Hadi sebagai Bupati Banyuwangi periode 2000-2005 memperkuat posisi dan makna gandrung. Dengan sokongan para budayawan yang dulu digunakan oleh rezim Orde Baru untuk mengkonstruksi identitas Using, Samsul Hadi meneruskan kebijakan yang menempatkan gandrung sebagai kekuatan diskursif yang memiliki nilai perjuangan bagi masyarakat Banyuwangi. 

Hal itu juga tidak bisa dilepaskan dari kebijakan otonomi daerah, di mana pemerintah daerah diberikan keleluasaan dan kewajiban untuk melestarikan dan mengembangkan budaya lokal. Menariknya, keyakinan dan usaha para budayawan yang disokong rezim pemerintah pada masa Orde Baru dan masa Reformasi di bawah kepemimpinan Bupati Samsul Hadi untuk mengkampanyekan nilai perjuangan kesenian gandrung tidak sepenuhnya diamini oleh para maestro ataupun penikmat gandrung itu sendiri karena perbedaan konteks posisi sosial dan pemahaman historis.

Anoegrajekti (2010: 180) menjelaskan bahwa sebagian besar seniman gandrung kurang familiar dengan pendapat bahwa lirik lagu gandrung mengandung nilai-nilai historis perjuangan dan merepresentasikan identitas. Temu, penari senior dari Kemiren, misalnya, mengatakan bahwa babak Jejer dan Seblang-seblang merupakan warisan dari pendahulunya. 

Ia mengaku selalu membuka pertunjukan dengan adegan Jejer dan mengakhirinya dengan Seblang-seblang dengan melagukan Padha Nonton dan Seblang Lokenta, meskipun ia sendiri tidak tahu apakah kedua lagu itu mengandung nilai-nilai historis dan herois seperti yang dipahami oleh seniman budayawan Dewan Kesenian Blambangan. Temu mengaku hanya melaksanakan apa diperoleh dari gurunya, Poniti dan apa yang selama ini ditekankan oleh beberapa pejabat Disbudpar Banyuwangi.

Kenyataan di atas menegaskan bahwa pemahaman ideal terkait identitas Using yang dilekatkan melalui syair lagu gandrung bukan merupakan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Pemahaman tersebut tidak lebih sebuah invensi yang dilakukan oleh budayawan dengan sokongan birokrat guna melakukan investasi makna yang bisa meninggikan nilai dari kesenian ini sebagai sebuah identitas yang dikonstruksi bagi komunitas Using, pada khususnya, dan masyarakat Banyuwangi pada umumnya. 

Sebuah investasi makna memang tidak selamanya bisa diterima dan dipahami bahkan oleh mereka yang bergelut dalam kesenian tersebut karena tidak memiliki pijakan historis dalam proses kreatif para seniman. Pada akhirnya, konstruksi identitas ke-Using-an yang dilekatkan melalui kesenian gandrung juga tidak diterima sepenuhnya oleh para penikmati gandrung yang cenderung memosisikan kesenian ini semata-mata sebagai hiburan. Meskipun demikian, sebagian sanggar seni tari yang tumbuh bak jamur di musim hujan sejak Orde Baru bisa menerima pemaknaan tersebut karena mereka menjadi subjek dari kampanye diskursif tersebut.

Sokongan birokrasi sejak Orde Baru dan berlanjut di masa pascareformasi, khususnya di bawah kepemimpinan Bupati Samsul Hadi, menjadikan gandrungisasi sebagai proyek budayawan pro-pendopo dan rezim negara yang berlangsung secara massif di Banyuwangi. Dengan sokongan rezim negara, investasi makna heroik gandrung dilegitimasi melalui penciptaan koreografi baru yang secara estetik lebih menarik karena berbeda dengan gandrung terob. 

Pada tahun 1975 diciptakan Tari Jejer Gandrung yang merupakan rangkuman gerakan tari dari pertunjukan gandrung terob, jejer, paju, dan seblang subuh selama 15 menit. Tentu saja, tari baru berbasis pertunjukan gandrung ini merupakan karya yang luar biasa, dalam artian bisa meringkas pertunjukan semalam suntuk hanya dalam waktu 15 menit. 

Kepentingan untuk menjamu tamu-tamu daerah, mengirim rombongan muhibah ke tingkat nasional maupun internasional, serta festival menjadi alasan untuk menciptakan Jejer. Penciptaan ini sekaligus untuk mempermudah penyebaran gandrung sebagai identitas daerah yang bisa diperkenalkan untuk skala nasional maupun internasional.

Apa yang tidak dipikirkan secara matang oleh para budayawan pendukung kampanye gandrung perjuangan dan tari Jejer adalah efek diskursif dan praktis dari legitimasi kebijakan negara terhadap para pelaku gandrung itu sendiri. Dalam tataran ideal, sebagaimana seringkali disampaikan para budayawan pro-negara dan aparatus birokrasi kebudayaan, standardisasi dan investasi makna diharapkan mampu mengangkat derajat hidup para seniman serta memperkuat identitas. 

Kenyataannya, menurut Hasan Basri (2009: 17), sejak Orde Baru mulai muncul polarisasi komunitas gandrung, yakni: (1) gandrung teroban yang masih menggelar pertunjukan melayani hajatan warga semalam suntuk dan (2) gandrung sanggar yang melayani permintaan rezim negara dalam hajatan festival, menghibur tamu daerah, maupun muhibah nasional dan internasional. 

Pelaku kultural sebenarnya, baik yang berasal dari sanggar maupun teroban, mengalami kompetisi diam-diam dalam hal pertunjukan pesanan yang diminta oleh negara. Tentu saja, para seniman sanggar-lah yang bisa melayani permintaan negara karena mereka bisa memenuhi standar estetik sebagaimana yang diminta. 

Selain itu, dalam hal subsidi dana yang digelontorkan oleh rezim negara, para pengelola sanggar tari lah yang lebih banyak mendapatkannya karena mereka memiliki kemampuan lobi dan akses kepada dinas terkait. Sementara, para pelaku gandrung terob yang sebagian besar tidak berpendidikan formal, hanya bisa mendengar dan ngelus dada akibat ketidakadilan perlakuan tersebut.

Fakta-fakta tidak terakomodasinya kepentingan gandrung teroban dalam kebijakan negara tidak menyurutkan langkah aparatus negara di Banyuwangi untuk memperkuat legitimasi gandrung sebagai identitas daerah. Bupati Samsul Hadi yang mengidentifikasi diri sebagai keturunan asli Using, pada tahun 2003 mengeluarkan SK Nomor 147 yang menjadikan gandrung sebagai "Tari Selamat Datang". 

Meskipun tidak secara eksplisit menegaskan gandrung sebagai identitas daerah, kehadiran SK ini cukup untuk melegitimasi tari dari komunitas Using ini sebagai kebanggaan kultural masyarakat Banyuwangi. Tentangan dari sebagian kaum agamawan yang memandang kesenian ini sebagai karya profan penuh maksiat karena identik dengan alkohol dan erotis tidak menyurutkan implementasi SK ini dalam ruang dan praktik sosio-kultural masyarakat Banyuwangi, seperti pembuatan patung gandrung di Watudodol yang cukup besar. 

Patung gandrung di kawasan pantai Watu Dodol. Foto: Dok. Banyuwangibagus.com
Patung gandrung di kawasan pantai Watu Dodol. Foto: Dok. Banyuwangibagus.com
Menempatkan gandrung sebagai representasi identitas Using dan Banyuwangi memang bukan persoalan sederhana. Hal itu tidak hanya berkaitan dengan semangat besar beberapa budayawan kritis yang menafsir kesenian ini sebagai alat perjuangan, tetapi juga dengan kepentingan rezim negara untuk 'menertibkan' dan menginvestasi makna baru, pandangan stigmatik sebagian besar kaum agamawan, serta kehidupan banyak seniman gandrung terob. 

Bermacam kepentingan dan posisi tersebut saling berkontestasi untuk memperebutkan pemaknaan terhadap eksistensi gandrung itu sendiri. Dalam kondisi demikian, proyek politik identitas, nyatanya, tidak bisa semata-mata dipandang sebagai kepentingan kelompok marjinal dan tertindas untuk melawan kekuatan dominan. 

Dalam banyak komunitas Using, kelompok marjinal adalah para pelaku sejati dari kesenian gandrung, yakni seniman/wati teroban, yang harus berjuang untuk mempertahankan hidup dan kesenian warisan leluhur ini di tengah-tengah stigmatisasi kaum agamawan dan ketidakberpihakan rezim negara. 

Semestinya, merekalah yang menjadi subjek yang 'bersuara', tetapi 'suara' mereka seolah telah diwakili oleh para aktor kultural yang bercumbu dengan rezim negara untuk menegakkan pemaknaan positif dari kesenian yang dijadikan identitas Banyuwangi ini. 

Mobilisasi identitas berbasis karakteristik komunitas Using, nyatanya, sejak Orde Baru hingga masa kepemimpinan Samsul Hadi, menjadi komoditas yang dimainkan secara massif oleh rezim negara berbasis kepentingan ekonomi-politik mereka. Pihak yang diuntungkan adalah para seniman dari kelas menengah yang menghimpun diri melalui sanggar-sanggar yang berada dalam binaan negara. 

Merekalah yang mendapatkan keuntungan dari keputusan rezim negara untuk menjadikan gandrung sebagai identitas. Adapun para penari dan panjak teroban masih harus berjuang mencari celah untuk hidup dari tanggapan warga yang memiliki hajatan ataupun para penggemar yang menggelar arisan gandrung. 

Sementara, aparat negara, dalam hal ini pimpinan daerah dan jajarannya, mendapatkan 'berkah politik' dengan menguatnya dukungan publik (khususnya para pelaku kultural yang pro ke rezim Pendopo) terhadap kepemimpinan mereka. Artinya, melalui gandrungisasi pada masa Orde Baru dan masa pascareformasi, politisasi identitas yang disemaikan dan diidealisasi sebagai usaha untuk membanggakan komunitas Using dan memberdayakan para aktor kultural di tingkatan bawah, telah ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi politik mereka yang bisa memanfaatkannya.

Sebagai catatan tambahan, di masa kepemimpinannya, Samsul Hadi juga membuat branding yang sangat Using, "Banyuwangi Jenggirat Tangi" dan "proyek Umbul-umbul Blambangan". "Jenggirat Tangi", bangun secara bergegas, merupakan representasi semangat rakyat Banyuwangi dalam idealisasi rezim Samsul Hadi untuk bersiap melakukan perubahan menuju kehidupan yang lebih baik, dalam semua aspek: ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan. 

Di tempat-tempat penting di wilayah kota maupun kecamatan, tanpa memandang basis etnisnya, branding dipajang sebagai pengingat diskursif. Pilihan untuk menggunakan diksi Using dalam branding tersebut menegaskan bahwa identitas etnis ini masih di-nomor-satukan dalam politik kebudayaan karena memiliki kekuatan dan keunikan tersendiri. Tampak jelas bahwa Samsul masih mewarisi semangat Orde Baru dalam menjalankan proyek kebudayaanya.

Ia juga memopulerkan-kembali lagu Umbul-umbul Blambangan, sebuah lagu ciptaan Andang CY (1974) yang berisi kebanggaan terhadap Banyuwangi berdasarkan keunggulan historis, karakteristik masyarakat, dan keindahan alamnya. Sampai-sampai, Samsul ikut menyanyi dalam lagu berirama mars yang penggarapannya banyak melibatkan seniman musik Banyuwangi ini. 

Sekali lagi, langkah ini menyerupai rezim Orde Baru yang mengumpulkan para seniman musik untuk membuat proyek lagu angklung daerah. Selain itu, rezim Samsul juga membuat proyek monumental yang belum pernah dilakukan para bupati sebelumnya, yakni pembuatan kapal kayu Umbul-umbul Blambangan dengan meniru replika kapal Majapahit. 

Kapal berbahan kayu ulin yang dibuat hampir setahun dan melibatkan sekira 20-an pembuat kapal dari Madura ini menelan biaya 2 milyar. Tujuan utamanya adalah akan berlayar ke Surabaya, Jakarta, Malaysia, Vietnam, dan Cina untuk mempromosikan potensi wisata budaya yang dimiliki Kabupaten Banyuwangi. Sayangnya, di tengah-tengah perjalanan, kapal ini mengalami kerusakan dan tenggelam.

Branding "Jenggirat Tangi" dan "proyek Umbul-umbul Blambangan" merupakan penanda betapa Samsul Hadi memiliki perhatian lebih terhadap identitas Using. Selain itu, dengan semangat identitas ini, Samsul berharap masyarakat Banyuwangi bisa berkembang lebih baik lagi, mencapai kejayaan seperti yang dialami para pendahulu di zaman Blambangan pra-kolonial. 

Kolaborasi antara kesadaran kultural yang me-lokal dengan program mercusuar seperti kapal untuk promosi wisata merupakan karakteristik kepemimpinan Samsul yang sangat pintar dalam menggunakan identitas untuk menjalankan kepentingan ekonomi-politiknya di tengah-tengah masyarakat. 

Dengan demikian, Samsul Hadi merupakan bupati yang berhasil melakukan "kulturalisasi politik", yakni memainkan persoalan politik dan pemerintahan dengan simbol-simbol ke-Using-an. Selain itu, ia juga menjalankan "politisasi kultural", yakni menggunakan simbol-simbol ke-Using-an sebagai kekuatan untuk meraih dukungan publik.

Dalam kerangka demikianlah, mobilisasi identitas Using dimainkan oleh rezim penguasa. Di satu sisi, kebijakan ini mendapatkan dukungan dari sebagian besar budayawan dan pelaku seni karena merasa mendapatkan pengayom bagi keberlangsungan identitas Using, apalagi Samsul terkenal royal, suka memberi uang kepada mereka. 

Di sisi lain, Samsul Hadi juga sangat cerdas dalam menginkoporasi dan mengkomodifikasi kepentingan penguatan identitas ini untuk menyukseskan proyek-proyek ekonomi-politiknya selama memimpin Banyuwangi. Apa yang tidak disadari sepenuhnya oleh elit-elit budayawan dan pelaku kesenian adalah rezim penguasa tetap memiliki agenda ekonomi-politik yang berbeda di balik agenda perayaan dan mobilisasi ke-Using-an. 

Memang perhatian yang diberikan Samsul Hadi terhadap beberapa budayawan dan para seniman menjadikan mereka mengagungkan bupati ini dan memosisikannya sebagai pimpinan yang peduli budaya Using. Memang tidak semua seniman dan budayawan menganggap hebat Samsul, tetapi dalam wacana umum yang berkembang di Banyuwangi si bupati memang diposisikan sebagai pelindung dan pengayom seniman dan budayawan.  

Kebanggaan akan semakin kuatnya identitas Using, rupa-rupanya, menjadikan mereka lupa bahwa si bupati juga adalah penguasa yang tentu saja ingin mendapatkan keuntungan dari kepemimpinannya. Sekali lagi kita bisa menengok perpsektif hegemoni untuk melihat bagaimana Samsul Hadi mampu mengartikulasikan sebagian kecil kepentingan para pelaku kultural di Banyuwangi untuk memperoleh pengakuan komunal (konsensus) terhadap kepemimpinannya. 

Apa yang harus diperhatikan adalah bahwa sebagai bupati ia juga memiliki hasrat ekonomi-politik. Dengan mendapatkan konsensus via kebudayaan, ia bisa melakoni agenda dan kepentingannya, termasuk mengeruk keuntungan ekonomi melalui praktik korupsi, tanpa direcoki oleh para pelaku kultural. 

Bukti bahwa ia menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan ekonomi-politik adalah ketika ia dijadikan tersangka pada bulan 18 Januari 2005 untuk kasus dugaan korupsi pembelian 2 kapal jenis Landing Craft Tank (LCT) "Sri Tanjung" sebesar Rp 15 miliar. Kasus ini pula yang menjadikannya tidak bisa ikut pemilihan bupati pada tahun 2005. Pada tahun 2007 ia mulai menjalani tahanan untuk kasus "Sri Tanjung" dan beberapa kasus lainnya seperti korupsi pembangunan lapangan terbang Blimbingsari, dan pembelian dok apung.  

"APA BANYUWANGI HANYA PUNYA GANDRUNG?"

Lengsernya Samsul Hadi yang dinodai dengan kasus korupsi melapangkan jalan bagi Ratna Ani Lestari (selanjutnya disingkat RAL), istri Bupati Jembrana Bali, untuk dipilih menjadi Bupati Banyuwangi periode 2005-2010. Meskipun diterpa bermacam isu terkait asal-usul yang bukan "putra asli daerah" dan posisinya sebagai istri bupati Jembrana, RAL dengan menggandeng Yusuf Nuris (tokoh Nahdliyin) berhasil memenangi pemilihan. 

Dalam 5 tahun kepemimpinannya, terjadi tegangan-tegangan kultural yang melibatkan elit kebudayaan dan para pelaku seni di Banyuwangi. Penyebabnya adalah adanya anggapan bahwa RAL tidak ingin melestarikan dan mengembangkan budaya Using karena secara geneologis dia bukanlah keturunan dari komunitas ini.

Dalam sebuah acara di masa kepemimpinannya, panitia menyajikan pertunjukan Jejer Gandrung sebagai pembukaan. Pada saat memberikan sambutan, RAL dengan santai mengatakan: "Apa Banyuwangi hanya punya gandrung?" Sontak saja, pernyataan ini cepat menyebar dari mulut ke mulut, utamanya di kalangan tokoh adat, budayawan, dan seniman pelaku gandrung. 

Sebagaimana lazimnya yang terjadi dalam tradisi lisan, ucapan tersebut segera 'beranak-pianak' menjadi gosip panas, seperti "Bupati hendak meminggirkan kesenian Using", "Bupati akan mengganti budaya Banyuwangi dengan Bali", dan lain-lain. Gosip-gosip tersebut segera diperkaya dengan asumsi-asumsi personal terkait latar-belakang RAL yang segera menyebar ke dalam kesadaran personal para aktor kultural, khususnya tokoh adat dan pelaku seni dari komunitas Using. Misalnya, "Bu Bupati tidak tahu adat Using", "Dasar suaminya Bupati Jembrana", "Dasar penduduk Bali", dan lain-lain.

Sebagai bupati perempuan pertama di Banyuwangi, RAL sebenarnya memiliki nilai historis-paradoksal di mata masyarakat, khususnya Using. Pertama, dia bisa dikait-kaitkan secara mitologis dengan Sri Tanjung dan dengan pejuang perempuan Sayu Wiwit yang dengan gagah berani ikut memimpin pasukan melawan penjajah Belanda. Semangat kepahlawanan Sayu Wiwit yang dilekatkan pada sosok RAL sedikit banyak ikut mempengaruhi pandangan masyarakat untuk memilihnya (Dewi, 2014). 

Kedua, fakta bahwa dia adalah istri bupati Jembrana mengobarkan resistensi diskursif melalui gosip dan pasemon berlatar sejarah penguasaan Kerajaan Mengwi Bali terhadap Banyuwangi. Ketiga, geneaologi RAL yang berasal dari keturunan Mataraman ikut berkontribusi pula terhadap berkembangnya kebencian sebagian besar aktor kultural terhadap kepemimpinannya karena Kerajaan Mataram Islam ikut berkontribusi terhadap penderitaan warga Blambangan sebagai leluhur Using. Selain itu, orang Jawa Mataraman selama puluhan tahun menguasai struktur birokrasi Banyuwangi. 

Rupa-rupanya, aspek kedua dan ketiga itulah yang dimobilisasi sebagian besar aktor kultural untuk memopulerkan wacana kebencian terhadap kepemimpinan RAL. Belum lagi 'gosokan-gosokan' terkait perilaku negatif RAL yang disebarluaskan oleh aparatus pemerintah yang dimutasi ke jabatan-jabatan non-strategis tanpa alasan yang jelas. Perpaduan antara mobilisasi kebencian berbasis latar historis Jawa-Kulonan dan Bali serta 'gosokan-gosokan' terkait aspek-aspek negatif RAL menjadikan resistensi diskursif menguat selama kepemimpinannya. 

Sebenarnya, RAL tidak berniat untuk meminggirkan atau mematikan budaya Using. Tentu saja dia tidak akan sesembrono itu sebagai pemimpin, apalagi dia sangat paham betapa Banyuwangi terkenal dengan budaya dan masyarakat Usingnya. Dari seorang budayawan yang sering dimintai pendapat oleh RAL, saya mendapatkan informasi bahwa ia tidak bermaksud demikian. 

Apa yang maksudkan dalam pernyataan pendeknya dalam pertemuan tersebut adalah untuk memancing para pelaku seni di Banyuwangi agar bisa menciptakan karya-karya kreatif lain berbasis kekayaan seni-budaya masyarakat agar kesenian berkembang semakin dinamis dan tidak hanya mengandalkan gandrung untuk atraksi keluar wilayah. 

Lebih jauh, RAL juga menegaskan bahwa kesenian dan budaya dari etnis lain, seperti Jawa-Mataraman, Madura, Melayu, Mandar, Bugis, China, Arab dan Bali, juga perlu dikembangkan untuk menjadikan Banyuwangi sebuah mozaik nan indah. Tentu saja, gagasan tersebut merupakan pikiran ideal mengingat kenyataan multikultural dan multi-agama yang hidup secara dinamis dan damai di Banyuwangi perlu terus disemaikan. 

Tidak mengherankan kalau di kalangan komunitas Jawa-Mataraman di wilayah selatan Banyuwangi, RAL sangat dihormati dan mendapatkan banyak dukungan politik karena ia juga berusaha merangkul mereka dengan hadir pada beberapa acara kultural yang dilakukan oleh masyarakat, seperti acara kelompok kebatinan. 

Namun, karena memori kolektif dan tingginya kebanggaan para pelaku kultural terhadap identitas Using yang telah disemaikan dan dikembangkan sejak zaman Orde Baru, ucapan RAL serta-merta diposisikan sebagai ancaman serius terhadap keberlangsungan identitas tersebut oleh kelompok budayawan, intelektual, dan seniman yang bersebrangan dengan pandangan tersebut.

Sayangnya, RAL sendiri kurang lihai dalam memainkan isu-isu ke-Using-an, tidak seperti pendahulunya, Samsul Hadi, sehingga dalam beberapa kegiatan kultural di Banyuwangi muncul tegangan-tegangan kecil bersifat diskursif. Dalam pawai "Pelangi Budaya" untuk memperingati Hari Jadi Banyuwangi 2008, misalnya, RAL dianggap kurang memberikan porsi yang layak bagi budaya Using. Berikut kritik yang dilontarkan Hasan Sentot (2008), salah satu intelektual Banyuwangi, di dalam blog pribadinya.

 ....di bawah kepempinan Bupati Ratna Ani Lestari, pawai "Pelangi Budaya" juga digelar meski kurang maksimal...atau terkesan longgar dengan memberikan kesempatan kepada peserta dari luar Kabupaten...Ada juga peserta istimewa, yaitu dari Jembrana (Bali). Peserta ini muncul...sejak Ratna Ani Lestari yang istrinya Winarsa (Bupati Jembrana) menjadi Bupati Banyuwangi. Tidak diketahui pasti, apa alasan Ratna menampilkan budaya dari tetangga sendiri ini...Penampilan dari peserta tamu ini, cukup menyinta waktu. 

Apalagi terkesan panitia tidak membatasi durasi masing-masing peserta, saat tampil di depan panggung kehormatan. Sehingga bisa ditebak, peserta paling belakang terliaht kelelahan menunggu giliran. Bahkan Bupati Ratna, meninggalkan panggung kehormatan, saat peserta dari Banyuwangi tampil. Yah nasib, susah payah dari seniman semacam Sumitro Hadi dengan Kuntulan Massal, Sahuni dengan Kebo-keboan, dan seniman dari lain dengan Seblang Olehsari dan Seblang Bakungan, tidak sempat direspon Bupati.  

Kritik Sentot tersebut secara eksplisit menunjukkan ketidaksenangan terhadap sikap RAL yang terkesan kurang simpatik dan kurang menghargai ekspresi para seniman Banyuwangi dengan tampilan kesenian dan adat Using. Para seniman dan pelaku pawai dari kecamatan sudah bersusah-payah untuk menyiapkan tampilan sebagus dan semenarik mungkin. 

Namun, respons RAL sungguh mengecewakan. Parahnya lagi, lagu Umbul-umbul Blambangan yang sangat populer dan selalu dibawakan dalam acara pawai budaya pada zaman Bupati Samsul Hadi tidak berkumandang (Hasan Sentot, 2008b). Kenyataan-kenyataan itulah yang memunculkan asumsi yang semakin menguat di kalangan pelaku budaya bahwa RAL memang tidak memahami, tidak menghargai, dan tidak berniat mengembangkan budaya Using sebagai ciri khas Banyuwangi.

Meskipun kurang mendapatkan sokongan dari mayoritas seniman dan sebagian budayawan, RAL sebenarnya tetap memberikan perhatian kepada pengembangan budaya Using. Di masa kepemimpinananya ia tetap menjalankan dan memerbaiki peraturan tentang pembelajaran bahasa Using. 

Selain itu, melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, RAL juga melanjutkan "Pelatihan Gandrung Profesional" yang dirintis oleh Samsul Hadi. Pelatihan yang dilaksanakan di Desa Wisata Using Kemiren ini diidealisasi sebagai sarana untuk melatih dan mencetak para gandrung profesional dari kalangan perempuan muda. 

Dengan pelatihan ini diharapkan akan muncul penari-penari gandrung baru yang siap meramaikan terob, baik di Banyuwangi maupun luar Banyuwangi. Dengan demikian, selain melalui sanggar-sanggar tari yang berorientasi mengajarkan tari kreasi berbasis gandrung untuk kepentingan festival dan pembelajaran (non-terob), pengembangan kesenian gandrung juga dilakukan melalui pelatihan ini.  

Atraksi peserta Pelatihan Gandrung Profesional 2010. Foto: Dok. Pribadi
Atraksi peserta Pelatihan Gandrung Profesional 2010. Foto: Dok. Pribadi
Terlepas apakah acara ini sekedar menindaklanjuti agenda rutin Dinas atau mengakomodasi masukan para budayawan dan pelaku seni, RAL tidak bisa dikatakan sepenuhnya kurang bersimpati terhadap pengembangan identitas Using. Kalau memang dia tidak bersimpati, tentu saja, acara seperti Pelatihan Gandrung Profesional akan ditiadakan semasa kepemimpinannya. 

Bisa jadi agenda ini diselenggarakan setelah ia mendapatkan kritik dan masukan dari budayawan. Dengan kata lain, pelatihan ini digunakan untuk meraih-kembali simpati komunitas Using. Apalagi RAL juga mendapatkan sorotan negatif dari komunitas Kemiren karena tidak pernah menghadiri ritual yang diselenggarakan di Desa Wisata ini. Terlepas dari motif politik tersebut, RAL bisa dikatakan tetap memberikan perhatian kepada pengembangan dan pemberdayaan identitas Using melalui kesenian gandrung.

Hal itulah yang menjadikan resistensi terhadap RAL hanya berlangsung dalam tataran rasan-rasan tanpa aksi nyata, seperti melakukan demonstrasi besar-besaran, meskipun selama menjabat ia beberapa kali didemo karena dianggap tidak mampu memimpin dan berbuat semena-mena. Paling tidak, ada dua kekuatan massa demonstrasi yang tercatat besar selama kepemimpinan RAL di Banyuwangi. 

Pertama, demonstrasi yang diikuti Forum Ulama Bersatu (FUB), Forum Peduli Kebenaran Masyarakat (FPKM) dan Forum Peduli Banyuwangi (FPB), berlangsung pada 4 Mei 2006. Para demonstran menuntut RAL mundur karena dianggap masih menyisakan "dosa yang menodai Pilkada" serta tidak mampu mewujudkan program-program populis yang ia janjikan selama kampanye. 

Kedua, demonstrasi para guru se Banyuwangi karena pemecatan salah satu rekan mereka serta pemasalahan lainnya antara PGRI dengan Bupati RAL. Sementara, para seniman dan budayawan yang kontra terhadap kebijakannya, tidak ada yang membuat gerakan perlawanan berupa demonstrasi atau gerakan-gerakan lainnya.

Ketidakutuhan suara para pelaku kultural dalam menyikapi kebijakan budaya RAL menjadikan aksi nyata tersebut tidak terwujud. Apalagi sebagian budayawan dan seniman juga masih diikutsertakan dalam agenda-agenda kebudayaan, baik yang berlangsung di Banyuwangi maupun di Surabaya, Jakarta, dan kota-kota lain. 

Lebih jauh lagi, ketidakutuhan suara di antara para aktor kultural menjadikan usaha-usaha resistensi dengan memobilisasi kekuatan dan ekspresi kesenian, misalnya, tidak pernah ada selama kepimpinan RAL di Banyuwangi. Polarisasi aktor kultural yang pro-pendopo (siapapun rezim yang berkuasa) dan anti-pendopo inilah yang menyebabkan segala usaha mobilisasi kekuatan sebagai wujud paling signifikan dari politik identitas tidak mengerucut sebagai suara komunal. 

Polarisasi ini secara historis memang sudah berlangsung sejak masa Orde Baru di mana sebagian budayawan dan intelektual, seperti Armaya, Fatrah Abal, Soepranoto, Endro Wilis, Achmad Aksoro, lebih memilih untuk berada di luar lingkaran kekuasaan. Sementara, Hasnan Singodimayan dan Hasan Ali memilih menjadi budayawan yang 'berdamai' dengan rezim pendopo. 

Di masa pasca Reformasi, rupa-rupanya, polarisasi ini masih hidup. Pada zaman RAL, Hasnan Singodimayan masih sering dimintai pendapat oleh bupati ketika menghadapi permasalahan atau mendapatkan sorotan publik terkait kebijakan budayannya, sampai-sampai Hasnan seringkali diolok-olok sebagai "orangnya bupati". Sementara, Armaya dan kelompoknya dalam Pusat Studi Budaya Banyuwangi (didirikan tahun 1996) lebih memilih mengkader intelektual dan sastrawan muda untuk melakukan kritik terhadap dinamika kebudayaan Banyuwangi.

Dari konflik kultural yang berlangsung di masa RAL ini kita bisa membaca bahwa identitas komunal Using yang diusik, meskipun berawal dari peristiwa sepele, bisa memunculkan kemarahan dan bangkitnya solidaritas di antara para pelaku seni dan budayawan. Sayangnya, keutuhan di antara mereka belum bisa mengerucut menjadi gerakan perlawanan terhadap kekuasaan RAL. 

Apakah ini karakteristik dari para pelaku kultural di Banyuwangi dalam menghadapi permasalahan terkait eksistensi mereka? Paling tidak, dari masa Orde Baru hingga kepemimpinan Samsul Hadi dan RAL, para pelaku kultural memang tidak dalam satu suara sehingga sangat sulit membuat front bersama. 

Ataukah karakteristik ini lahir karena semangat resistensi sebagaimana ditunjukkan oleh para pahlawan yang mereka agung-agungkan telah dinihilkan atau dihilangkan dari subjektivitas kultural komunitas Using? Kalau kita tilik lagi, semangat kompromi para pelaku kultural memang sudah dibangun sejak Orde Baru di mana mereka diberikan kesempatan untuk merayakan ekspresi kultural Using, tetapi tidak untuk memperkuat narasi perlawanan. 

Akibatnya, ketika ada beberapa pihak yang ingin melawan, energinya tidak langsung menjadikan "teriakan bersama" yang melibatkan para pelaku kultural karena mereka memang tidak terbiasa kontra terhadap kebijakan budaya yang ditempuh rezim negara.

Artinya, kepentingan-kepentingan politiko-kultural yang bisa dimainkan para pelaku kultural di tingkat bawah akan segera menguap; bukan karena rezim penguasa tidak memedulikan, tetapi karena kekuatan suara para pelaku tidak pernah mewujud sebagai kesatuan yang bisa menjadi nilai tawar di hadapan rezim. 

Inilah salah satu kelemahan ketika identitas Using, khususnya yang dikonstruksi dalam ranah kesenian seperti gandrung, hendak dijadikan kekuatan untuk memobilisasi kekuatan komunal. Hal itu ditambah lagi dengan kenyataan bahwa ada komunitas-komunitas Using tertentu yang tidak menyukai kesenian gandrung. Ketidakutuhan ini sekaligus menegaskan bahwa secara praksis Using bukanlah kesatuan utuh yang mudah digerakkan untuk melawan kekuatan dominan yang oleh sebagian aktor diposisikan mengancam identitas komunal.

PEMBAJAKAN & POLITISASI IDENTITAS 

Kesenian, diakui atau tidak, adalah ekspresi kultural yang paling kentara untuk membaca identitas sebuah komunitas etnis, selain bahasa tentunya. Masalahnya adalah pemunculan, penyemaian, penumbuhan, dan pengembangan kesenian lokal tidak berada dalam ruang nir-intervensi. Pemerintah daerah sebagai rezim penguasa memiliki hak atas nama pelestarian budaya etnis tertentu untuk bisa terlibat atau memanfaatkan kekayaan kultural masyarakat melalui kebijakan-kebijakannya. 

Meskipun dikatakan bahwa pengaruh dari kebijakan-kebijakan tersebut menjadikan identitas bukan sebagai sesuatu yang mapan, pasti, dan memungkinkan retak berdasarkan kondisi zaman (Anoegrajekti, 2010: 181), rezim penguasa tetaplah mampu memainkan relasi-relasi strategis dalam bermacam representasi gandrung dalam dinamika dan gerak perubahan manusia-manusia Using dan Banyuwangi. 

Keutuhan makna heroisme terus-menerus disebarluaskan dalam beragam teks dan pendapat lisan para budayawan. Meskipun para pelaku gandrung acuh tak acuh dengan konstruksi makna tersebut, usaha diskursif rezim nyatanya mampu menjadikan gandrung sebuah medan ideologis yang bisa dimainkan; memperkuat makna identitas Using sekaligus membajaknya.

Investasi makna gandrung secara massif sejak zaman Orde Baru, diakui atau tidak diakui, telah menjadikan kesenian ini menjadi ikon yang tidak bisa dipisahkan dari Banyuwangi. Namun apa yang mesti dicatat adalah bahwa rezim negara juga bisa melakukan pembajakan terhadap aspek identitas partikular ketika mereka merasakan kuatnya pengaruh disrkursif gandung bagi masyarakat, sehingga menginkorporasi gandrung beserta beragam wacananya merupakan usaha strategis untuk memaksimalkannya. 

Akibatnya, makna-makna ideal dalam sebuah kesenian hanya menjadi perayaan yang membuncah dan seringkali menjadi inflasi diskursif. Dalam kondisi demikian, kekuatan sebenarnya perlahan-lahan dinihilkan dari aktivitas komunal sebagai bentuk praksis yang bisa menghubungkan karya estetik dengan gerakan-gerakan resisten terhadap kekuatan dominan. 

Hal itu terbukti dengan tidak adanya program pemberdayaan yang terstruktur untuk komunitas gandrung terob yang menjadi kekuatan utama kesenian ini. Yang lebih diuntungkan kemudian, selain rezim negara, adalah para seniman pemilik sanggar yang mengembangkan tari garapan berbasis gandrung, khususnya mereka yang memiliki akses terhadap program bantuan dana pemerintah, meskipun itu tidak menjamin keajegan pengembangan itu sendiri.

* Tulisan ini merupakan bagian dari "Bab 3 Menjadi Using dalam pesona tembang dan gandrung", dalam  buku Merawat Budaya/Merajut Kuasa: Identitas Using dalam Kontestasi Kepentingan (2017), diterbitkan Diandra Kreatif (Yogyakarta), yang saya tulis bersama Albert Tallapessy dan Andang Subaharianto. Saya tulis ulang khusus untuk Kompasiana. 

Daftar Bacaan 

Basri, Hasan. 2009. "Gandrung dan Identitas Daerah". Lembar Kebudayaan, No.2: 15-19.

Anoegrajekti, Novi. 2010. "Padha Nonton dan Seblang Lukinto: Membaca Lokalitas dalam Keindonesiaan". Dalam Jurnal Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 22, No.2: 171-182.

Dewi, Kurniawati Hastuti. 2014. "Legenda, Cerita Rakyat, dan Bahasa di Balik Kemunculan Politik Perempuan Jawa". Dalam Masyarakat Indonesia, Vol. 40, No. 1: 17-35.

Sentot, Hasan. 2008. "Posisi Budaya Using dalam 'Pawai Pelangi Budaya' Harjaba 2008", http://hasansentot2008.blogdetik.com/2008/12/21/posisi-budaya-using-dalam-pawai-pelangi-budaya-harjaba-2008/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun