Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gandrung Banyuwangi Pascareformasi: Antara Pelestarian dan Dekapan Politik

6 Desember 2021   06:28 Diperbarui: 6 Desember 2021   06:36 1292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gandrung. Foto: Dok. Pribadi

Sebagai bupati perempuan pertama di Banyuwangi, RAL sebenarnya memiliki nilai historis-paradoksal di mata masyarakat, khususnya Using. Pertama, dia bisa dikait-kaitkan secara mitologis dengan Sri Tanjung dan dengan pejuang perempuan Sayu Wiwit yang dengan gagah berani ikut memimpin pasukan melawan penjajah Belanda. Semangat kepahlawanan Sayu Wiwit yang dilekatkan pada sosok RAL sedikit banyak ikut mempengaruhi pandangan masyarakat untuk memilihnya (Dewi, 2014). 

Kedua, fakta bahwa dia adalah istri bupati Jembrana mengobarkan resistensi diskursif melalui gosip dan pasemon berlatar sejarah penguasaan Kerajaan Mengwi Bali terhadap Banyuwangi. Ketiga, geneaologi RAL yang berasal dari keturunan Mataraman ikut berkontribusi pula terhadap berkembangnya kebencian sebagian besar aktor kultural terhadap kepemimpinannya karena Kerajaan Mataram Islam ikut berkontribusi terhadap penderitaan warga Blambangan sebagai leluhur Using. Selain itu, orang Jawa Mataraman selama puluhan tahun menguasai struktur birokrasi Banyuwangi. 

Rupa-rupanya, aspek kedua dan ketiga itulah yang dimobilisasi sebagian besar aktor kultural untuk memopulerkan wacana kebencian terhadap kepemimpinan RAL. Belum lagi 'gosokan-gosokan' terkait perilaku negatif RAL yang disebarluaskan oleh aparatus pemerintah yang dimutasi ke jabatan-jabatan non-strategis tanpa alasan yang jelas. Perpaduan antara mobilisasi kebencian berbasis latar historis Jawa-Kulonan dan Bali serta 'gosokan-gosokan' terkait aspek-aspek negatif RAL menjadikan resistensi diskursif menguat selama kepemimpinannya. 

Sebenarnya, RAL tidak berniat untuk meminggirkan atau mematikan budaya Using. Tentu saja dia tidak akan sesembrono itu sebagai pemimpin, apalagi dia sangat paham betapa Banyuwangi terkenal dengan budaya dan masyarakat Usingnya. Dari seorang budayawan yang sering dimintai pendapat oleh RAL, saya mendapatkan informasi bahwa ia tidak bermaksud demikian. 

Apa yang maksudkan dalam pernyataan pendeknya dalam pertemuan tersebut adalah untuk memancing para pelaku seni di Banyuwangi agar bisa menciptakan karya-karya kreatif lain berbasis kekayaan seni-budaya masyarakat agar kesenian berkembang semakin dinamis dan tidak hanya mengandalkan gandrung untuk atraksi keluar wilayah. 

Lebih jauh, RAL juga menegaskan bahwa kesenian dan budaya dari etnis lain, seperti Jawa-Mataraman, Madura, Melayu, Mandar, Bugis, China, Arab dan Bali, juga perlu dikembangkan untuk menjadikan Banyuwangi sebuah mozaik nan indah. Tentu saja, gagasan tersebut merupakan pikiran ideal mengingat kenyataan multikultural dan multi-agama yang hidup secara dinamis dan damai di Banyuwangi perlu terus disemaikan. 

Tidak mengherankan kalau di kalangan komunitas Jawa-Mataraman di wilayah selatan Banyuwangi, RAL sangat dihormati dan mendapatkan banyak dukungan politik karena ia juga berusaha merangkul mereka dengan hadir pada beberapa acara kultural yang dilakukan oleh masyarakat, seperti acara kelompok kebatinan. 

Namun, karena memori kolektif dan tingginya kebanggaan para pelaku kultural terhadap identitas Using yang telah disemaikan dan dikembangkan sejak zaman Orde Baru, ucapan RAL serta-merta diposisikan sebagai ancaman serius terhadap keberlangsungan identitas tersebut oleh kelompok budayawan, intelektual, dan seniman yang bersebrangan dengan pandangan tersebut.

Sayangnya, RAL sendiri kurang lihai dalam memainkan isu-isu ke-Using-an, tidak seperti pendahulunya, Samsul Hadi, sehingga dalam beberapa kegiatan kultural di Banyuwangi muncul tegangan-tegangan kecil bersifat diskursif. Dalam pawai "Pelangi Budaya" untuk memperingati Hari Jadi Banyuwangi 2008, misalnya, RAL dianggap kurang memberikan porsi yang layak bagi budaya Using. Berikut kritik yang dilontarkan Hasan Sentot (2008), salah satu intelektual Banyuwangi, di dalam blog pribadinya.

 ....di bawah kepempinan Bupati Ratna Ani Lestari, pawai "Pelangi Budaya" juga digelar meski kurang maksimal...atau terkesan longgar dengan memberikan kesempatan kepada peserta dari luar Kabupaten...Ada juga peserta istimewa, yaitu dari Jembrana (Bali). Peserta ini muncul...sejak Ratna Ani Lestari yang istrinya Winarsa (Bupati Jembrana) menjadi Bupati Banyuwangi. Tidak diketahui pasti, apa alasan Ratna menampilkan budaya dari tetangga sendiri ini...Penampilan dari peserta tamu ini, cukup menyinta waktu. 

Apalagi terkesan panitia tidak membatasi durasi masing-masing peserta, saat tampil di depan panggung kehormatan. Sehingga bisa ditebak, peserta paling belakang terliaht kelelahan menunggu giliran. Bahkan Bupati Ratna, meninggalkan panggung kehormatan, saat peserta dari Banyuwangi tampil. Yah nasib, susah payah dari seniman semacam Sumitro Hadi dengan Kuntulan Massal, Sahuni dengan Kebo-keboan, dan seniman dari lain dengan Seblang Olehsari dan Seblang Bakungan, tidak sempat direspon Bupati.  

Kritik Sentot tersebut secara eksplisit menunjukkan ketidaksenangan terhadap sikap RAL yang terkesan kurang simpatik dan kurang menghargai ekspresi para seniman Banyuwangi dengan tampilan kesenian dan adat Using. Para seniman dan pelaku pawai dari kecamatan sudah bersusah-payah untuk menyiapkan tampilan sebagus dan semenarik mungkin. 

Namun, respons RAL sungguh mengecewakan. Parahnya lagi, lagu Umbul-umbul Blambangan yang sangat populer dan selalu dibawakan dalam acara pawai budaya pada zaman Bupati Samsul Hadi tidak berkumandang (Hasan Sentot, 2008b). Kenyataan-kenyataan itulah yang memunculkan asumsi yang semakin menguat di kalangan pelaku budaya bahwa RAL memang tidak memahami, tidak menghargai, dan tidak berniat mengembangkan budaya Using sebagai ciri khas Banyuwangi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun