Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sebuah Panggilan dari Hutan Larangan (2)

19 Juni 2020   07:19 Diperbarui: 19 Juni 2020   07:39 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sementara, Nandi hanya bisa diam. Ia tidak menangis, tidak pula tersenyum. Sepertinya, ia belum percaya kalau sudah berpisah dari Rudy, lelaki yang benar-benar sabar dalam menghadapi dan menemani segala idealismenya sebagai mahasiswa. Malam ini ia baru saja membuat keputusan yang benar-benar membuatnya kecewa sebagai lelaki. Dan, itu semua sudah diputuskan. Memang, raut mukanya menunjukkan sedikit kesedihan, tetapi tidak sampai membuatnya meneteskan air mata. Ia tidak mau cengeng. Esok embun akan kembali mencium debu, menebarkan pesona nan segar sang alam, memberikan sebuah semangat baru, sebuah langkah baru yang harus dilanjutkan.

Benar saja, putusnya hubungan Nandy dengan Rudy, ternyata menghadirkan hubungan yang semakin intens dengan Ivan, meskipun mereka tidak pacaran. Karena rasa senang melihat kesuksesan pentas teater tentang kehidupan Pak Tarji, Nandi semakin senang menonton pertunjukan teater di kampus. 

Ivan selalu mengajaknya, ketika tidak sedang mengerjakan skripsi; menonton pertunjukan teater dari komunitas fakultas-fakultas lain di Universitas Jember atau universitas-universitas lainnya di Jember. Selepas nonton, biasanya mereka berdua, bersama para pegiat teater DKK masih ngopi hingga larut malam. Untung saja Nandi memegang kunci pagar kos. Tidak jarang pula, Ivan menemaninya mengerjakan skripsi di rental komputer. Ia merasakan persahabatan yang mengalir, tanpa beban, menuju sebuah romansa yang terkadang membingungkan, antara cinta dan sahabat.

***

Banyuwangi selatan, Juli 2000. Nandi benar-benar menikmati indahnya berada di rumah, di sebuah desa, di sebelah selatan Banyuwangi. Ia lahir dan menghabiskan masa anak-anak serta remaja di desa ini bersama kedua orang tua dan dua adik lelakinya. Pak Kartodirjo, Bapaknya, seorang guru di salah satu SMA negeri di Banyuwangi kota dan kepala sekolah salah satu SMA swasta di kecamatan, selalu memintanya pulang setiap libur semester, karena rasa kangen yang selalu mendera setiap kali ia berada di Jember. Ibunya juga demikian. 

Setiap kali hendak tidur, perempuan setengah baya yang masih enerjik itu selalu menyempatkan ngobrol tentang banyak hal di kamar tidur Nandi, dari urusan dapur sampai urusan masa depannya. Adapun kedua adiknya selalu ingin bermanja, setiap kali ia di dekat mereka.

Desanya kini memang tidak seperti desa pada waktu ia masih kecil. Dulu rumah penduduk masih banyak terbuat dari kayu jati. Sekarang, sebagian besar sudah berganti rumah tembok. Banyak kaum muda di desa ini yang merantau ke Kalimantan, bahkan ke Singapura dan Taiwan. Setiap bulan mereka mengirim uang ke istri atau orang tua. Dari kiriman uang itulah, mereka membangun rumah tembok. Sebagian ada yang berhasil membeli sawah. 

Hasrat untuk menjadi kaya—memiliki sepeda motor, bisa membeli pakaian bagus, bisa membeli sawah, dan memiliki rumah tembok bergaya kota—memang tidak bisa dihalangi. Siapapun berhak untuk bisa menjadi kaya. Dulu, orang menjadi kaya karena orang tua mereka memang memiliki kekayaan melimpah secara turun-temurun. Tetapi, kalau mengikuti formula itu, pasti orang miskin tidak pernah merasakan menjadi kaya. Sementara, mereka sudah biasa melihat kemewahan kota dari tontonan televisi. Menjadi wajar, kalau banyak pemuda desa ini bermigrasi ke kota atau ke luar negeri.

Rumah keluarganya dulu juga terbuat dari kayu jati. Nandi sempat menikmati hidup di dalam rumah kayu ketika dia masih duduk di bangku sekolah dasar. Menginjak kelas 1 SMP, orang tuanya memutuskan untuk membangun rumah tembok. Ketika diganti rumah tembok, rumah kayu digeser ke belakang, jadi dapur.  Awalnya Bapak mau menjualnya, tetapi Ibu menolak karena banyak kenangan di rumah kayu itu.

“Rumah berbahan kayu jati itu memang benda mati, tetapi rumah itu telah merekam semua perjuangan kita membesarkan anak-anak kita, Pak. Biarlah rumah itu menjadi pengingat bagi kita akan semua kebahagian kita di masa lampau. Lagi pula, dulu, sebelum anak-anak lahir, kita berjuang mengumpulkan sedikit demi sedikit untuk membangun rumah ini, eman kalau dijual, Pak,” begitulah alasan Ibu waktu itu. Akhirnya, Bapak luluh dan tidak jadi menjualnya.

Pagi ini setelah selesai sarapan, Nandi menemani Bapak, dengan mengayuh sepeda masing-masing, pergi ke sawah di sebelah selatan desa. Ketika melewati pematang sawah, beberapa petani menyapa mereka berdua. Sampai di sawah, mereka segera memeriksa beberapa pohon jeruk yang terserang jamur. Bapak mengajaknya menggosok pohon-pohon dengan kain yang sudah dipersiapkan dari rumah. Kalau dibiarkan, jamur itu bisa mengganggu batang pohon dan berimbas pada buruknya kualitas buah jeruk. Hampir satu jam bekerja, Bapak mengajaknya beristirahat di gubuk sambil menikmati air putih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun