DEV...Â
Perempuan itu datang bersama seorang temannya. Dia mengenakan jilbab, celana jeans, dan kaos berlengan panjang warna coklat. Kawan-kawanku langsung menyambut mereka berdua dengan begitu antusias. Maklumlah, dalam rangka mencari kader. Namun, aku yakin mereka punya niatan lain, karena mereka berdua sangat cantik.
Dari kenalan aku tahu namanya DEV dan temannya bernama Sofi. Dev, nama yang bagus. Teman-temanku memanggilnya VI, tapi aku lebih suka memanggilnya Dev, meski di India nama itu merujuk pada makna lelaki yang dihubungkan dengan para DEWA.
Aku sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba lebih sreg memanggilnya dengan panggilan itu. Perempuan ini, menurut ukuranku, sangat cantik. Kulitnya putih, hidungnya mancung, bibirnya mungil dan seksi. Tapi, bukan itu semua yang mendorongku menulisnya di buku harian ini. Kedua bola matanya bulat.
Ya, itulah alasanku. Bukan binar seorang dewi atau bidadari, tetapi dua bola mata yang menyimpan misteri. Kedua bola mata itu menyeretku ke perjalanan yang sangat jauh, sangat mencekam, sangat suram. DEV, semoga suatu saat, aku bisa membuat kedua bola matamu semakin berbinar. Karena Kamu berhak mendapatkan semua binar dalam hidupmu.
Begitulah tulisan Ivan tentangku di buku hariannya yang lusuh. Aku kenal lelaki ini dua bulan yang lalu, ketika datang di acara salah satu organisasi ekstra-universiter di Fakultas Sastra Universitas Jember. Aku sengaja datang ke tempat kosnya untuk mengungkapkan semua kekecewaanku karena pada waktu acara tadzabur alam, semacam orientasi untuk calon anggota baru, di Pantai Papuma--di selatan Jember--dia bersikap cuek.
Tahu aku marah, ia segera meminta maaf. Dia beralasan waktu itu aku sedang jalan bareng Mas Fay--seorang anggota senior di organisasi itu. Akhirnya, kami sepakat untuk baikan. Aku memberanikan diri membaca buku harian itu, setelah ia pamit menyeduh teh di dapur kos. Saking asyiknya membaca, aku tidak tahu kalau dia sudah kembali ke kamar sembari membawa dua cangkir teh.
Sambil menikmati teh, kami berbincang tentang catatan itu. Ia mengatakan kalau apa-apa yang dituangkan dalam catatan harian itu adalah kesan pertama kali kami bertemu di sekretariat organisasi. Karena takut aku marah, Ivan mau merobek catatan itu. Aku melarangnya.
Tulisan itu hartanya; harta batin, harta pikiran. Soal isinya, itu haknya. Dia berhak menulis apa saja tentang aku. Itu interpretasinya. Dan, aku tegaskan dia merdeka dengan interpretasi.Â
Yang aku heran, bagaimana ia bisa menyimpulkan kalau kedua bola mataku adalah misteri? Mungkin karena jadi pegiat seni di Kampus Sastra, sampai-sampai ia bisa menebak kedua bola mataku seperti itu. Ah, laki-laki gondrong kriting ini mulai bisa menangkap rahasia hidupku. Sial, apa mungkin aku harus membuka semuanya. Tidak, tidak.