Sampai di rumah, Yuk Jum dan Yuk Tumina mendudukkan Karti di kursi dan memberinya air putih dari kendi. Karti tampak kaget dan sedih dengan semua tuduhan itu.
"Bagaimana, Yuk, kalau orang-orang percaya dengan omongannya?"
"Yuk, kalau Sampean merasa tidak melakukannya, ndak usah takut," kata Yuk Jum berusaha menenangkannya.
"Iya, lagi pula tidak semua orang percaya. Menurutku, Haji Rofik menyebut-nyebut nama Kang Kardi, karena dia merasa berdosa, Yuk. Sudah, Sampean tenang saja." Yuk Tumina membelai rambutnya. Setelah Karti lebih tenang, mereka berdua pamit pulang. Mereka berjanji setelah mandi dan menyiapkan makan di rumah akan kembali lagi menemaninya. Â
Baru beberapa menit mereka beranjak, seorang lelaki muda dengan datang dengan mengendarai sepeda motor Binter. Karti seolah tidak percaya bahwa yang datang adalah Timur.
"Timur, anakku," Karti merangkulnya. Demikian pula Timur.
"Gimana kabar Sampean, Mbok?"
"Simbok baik-baik saja, Cong."
Beberapa saat kemudian, mereka saling melepaskan pelukan. Timur duduk sambil menyandarkan kepalanya di kursi. Karti duduk di sampingnya.
"Kamu kalau begitu seperti Bapakmu, Cong. Persis, ndak mbuang sama sekali. Bapakmu selalu menyandarkan kepala kalau merasa lelah."
"Lha, iya, Mbok, aku ini kan anaknya Bapak. O, iya, masak apa, Mbok? Aku kangen sayur asem. Ada?"