"Dia itu tubuhnya gemetar terus. Padahal, kata Kang Gimin, ia sudah dibawa ke kyai dan dukun, tetap saja seperti itu."
"Walah, kok dibawa ke kyai dan dukun, katanya haji, kok masih percaya kayak gitu. Mestinya ya dibawa ke rumah sakit, Yuk. Kan Haji Rofik kaya. Sawahnya luas," ucap Karti.
"Eman sawahnya kejual, paling, Yuk. Nanti ndak kaya lagi," celetuk Yuk Tumina.
"Ya, ndak gitu, Yuk, harta benda itu masih bisa dicari. Lha, kalau nyawa, mau dicari kemana. Itu punya Gusti Pengeran."
Menjelang adzan Dzuhur mereka pulang. Karti memberi Yuk Tumina dan Yuk Jum bawon jagung. Sementara, dua buruh laki-laki mengangkut jagung yang sudah dikupas dengan sepeda, mereka bertiga jalan kaki. Di depan rumah Haji Rofik mereka berhenti karena banyak orang. Salah satu dari mereka mengatakan kalau Haji Rofik semaput, tak sadarkan diri.
"Hei, PKI, kamu pasti yang nyantet suamiku. Kamu dendam kan, karena suamimu mati? Iya kan?!!!" teriak istri Haji Rofik dari dalam rumah ketika melihat Karti di depan pintu. Semua mata tertuju pada Karti yang kebingungan. Beberapa orang berusaha menahan istri Haji Rofik yang hendak memukul Karti.
"Kok jadi aku yang disalahkan, Yuk. Aku ndak tahu apa-apa kok," bela Karti.
"Halah, PKI memang banyak alasan. Awas kamu, aku laporkan ke perangkat desa!" ancamnya.
"Lho, salahku apa kok dilaporkan. Buktinya mana kalau aku yang nyanthet Haji Rofik."
"Buktinya, tiap malam suamiku menyebut-nyebut nama suamimu, Kardi."
Karti terdiam mendengar omongannya. Beberapa orang masih menatapnya, seolah-olah dia menjadi tertuduh. Tapi, sebagian yang lain berusaha menenangkannya. Akhirnya, Yuk Jum dan Yuk Tumina mengajaknya pulang. Istri Haji Rofik masih saja berteriak-teriak.