Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(M)batin dalam Senyap

29 Februari 2020   14:56 Diperbarui: 29 Februari 2020   15:10 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Orang sembahyang yang benar itu menghadap ke Barat, ke Kiblat, di Mekkah sana. Kalau ada yang menghadap selain arah Kiblat, itu namanya kafir, tidak beragama. Jangan pula kita memakai jimat atau suka pergi ke dukun, itu sama saja dengan menyekutuhkan Alloh." Haji Rofiq tidak kalah hebat kalau berkutbah tentang orang kafir yang hanya dilihat dari arah sujudnya. 

Karti tidak habis pikir, bagaimana orang-orang yang sudah bergelar haji dan kemana-mana mengenakan songkok putih begitu dangkal memahami Gusti Pengeran. Dia merasa kutbah-kutbah itu memang dimaksudkan untuk menyindirnya dan juga warga Pangkat yang masih belum banyak sembahyang di masjid. Bermacam pertanyaan muncul dalam benaknya ketika setiap Jum'at ia harus mendengarkan kutbah kedua haji itu dari belakang rumah sambil menumbuk padi atau jagung di lesung dan lumpang. Bagaimana manusia dikatakan tidak punya Gusti Pengeran hanya karena sujudnya tidak menghadap ke Barat? Apakah orang sembahyang itu harus dipertontonkan di masjid, grubyak-grubyuk, tanpa tahu makna do'anya? Mengapa pula ia dan keluarganya tidak berhak hidup di Indonesia dan Pangkat? Mengapa orang yang sudah bergelar haji itu ingin mengambil kekuasaan Gusti Pengeran di muka bumi? Pertanyaan-pertanyaan itu hanya ia pendam, mengendap dalam batin.

  Sebenarnya, Yuk Jum dan beberapa tetangga perempuan lainnya sering mengajaknya pergi ke masjid, agar tidak lagi dirasani oleh kedua haji itu. Mereka merasa kasihan kepada Karti dan keluarganya.

"Yuk, tidak ada salahnya kalau Sampean belajar sembahyang di masjid seperti kami," saran Yuk Jum yang diikuti anggukan kepala beberapa perempuan lain ketika mereka menanam jagung di sawah Karti.

"Yuk, aku tidak mungkin sembahyang dalam bimbingan agama orang-orang yang telah membunuh Kang Kardi. Pasti batin dan pikiranku tidak akan tenang. Buat apa aku melakukan sembahyang tapi tetap membawa dendam kepada mereka? Biarlah aku sembahyang dengan caraku sendiri di rumah." Jawaban itu membuat Yuk Jum dan para perempuan tetangganya tidak lagi pernah mengajaknya pergi sembahyang ke masjid.

13 tahun setelah Kardi meninggalkannya, Karti mulai merasakan sulitnya hidup akibat menanggung beban sebagai keluarga PKI. Anak lelaki pertamanya, Timur, ditolak masuk SMA negeri favorit di kota Lamongan. Alasan keterlibatan Bapaknya dalam PKI dilontarkan. Dia melawan perlakuan tidak adil itu. Karti mendatangi Kepala Sekolah SMA itu, tetapi sia-sia, anaknya tetap tidak bisa masuk, meski nilainya Danem-nya tertinggi tingkat kecamatan. Sadar usahanya gagal, Karti mengajak Timur ke Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Kepala dinas itu juga tetap tidak bisa menolong, karena keputusan itu diserahkan ke pihak sekolah.


Di tengah-tengah kelelahan dan kegagalannya, di alun-alun kota, Karti mengajak Timur beristirahat sebelum pulang ke Slempit, sambil menikmati tahu campur, makanan khas Lamongan.

"Mbok, biarlah aku sekolah di swasta saja. Yang penting aku bisa belajar," pinta Timur.

"Cong, kamu itu berhak sekolah di SMA negeri. Kepala sekolah itu benar-benar tidak adil. Apa anak PKI tidak berhak mendapatkan pendidikan? Negara ini memang terlalu sombong untuk mengakui jasa-jasa PKI. Bapak Jendral yang terhormat itu akan merasakan akibatnya kelak, karena senyumnya telah membunuh jutaan orang dan menggagalkan impian maju anak-anak PKI. Tapi, kamu jangan khawatir, Cong, Simbok akan tetap berusaha. Kata kepala dinas tadi ada SMA negeri yang baru saja diresmikan. Habis ini kita ke sana, ya, nyoba-nyoba, siapa tahu kepala sekolahnya baik. Mumpung belum tutup kantornya."

Timur hanya mengangguk saja. Dalam batin dia benar-benar kagum kepada perjuangan Simbok-nya. Segera mereka naik becak, menuju SMA negeri baru tersebut. Setengah jam kemudian, mereka sudah sampai di sekolah tersebut. Letaknya di pinggir kota, di tengah lahan persawahan.

Mereka menemui kepala sekolah. Kepala sekolah itu tampak ramah dan penuh perhatian. Usianya sekitar 50 tahun lebih. Dia membuka berkas-berkas Timur dan catatan dari Koramil Sugiwaras tentang keterlibatan Kardi dalam PKI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun