"Oalah, nanti kalau ada keluarga atau warga desa yang sakit enak ya, langsung nemui Mas Timur," celetuk Yuk Tumina.
"Iya, Yuk. Memang warga Pangkat ada yang sakit?" tanya Timur sambil menambah nasi.
"Itu Haji Rofik, e...anu..." Yuk Jum keceplosan omong. Yuk Tumina mencubit bahunya.
"O, Haji Rofik, yang tukang kutbah itu? Yang anaknya jadi tentara itu?"
"Iya, Cong. Sakitnya aneh, tubuhnya gemetaran. Tadi siang Simbok sempat melihatnya waktu ia semaput. Tapi, Simbok..."
"Tapi, Simbok kenapa?" tanya Timur menghentikan makannya. Karti tidak mampu meneruskan ucapannya.
"Begini, Mas. Tadi, waktu melihat dari luar pintu, istri Haji Rofik marah-marah kepada Yuk Karti. Dia menuduh Yuk Karti nyanthet Haji Rofik karena setiap malam ia mengigau memanggil-manggil nama Bapakmu," jelas Yuk Jum.
"O, gitu, masalahnya. Ndak usah dipikir, Mbok. Yang penting Sampean tidak melakukannya. Begini saja, biar nanti habis Ashar aku ke rumah Haji Rofik. Biar jelas dia sakit apa. Kalau perlu nanti saya rujuk ke rumah sakit."
"Jangan, Cong, nanti kamu didamprat istrinya lagi," pinta Karti.
"Lha, kan aku mau menolongnya, kok malah didamprat. Mestinya yang marah itu aku, Mbok. Bapak mati, sampai sekarang kita ndak tahu maesan-nya ada di mana. Kalau memang aku didamprat, ya, aku balik. Ndak usah repot, Mbok."
"Jadi, kamu mau ke sana, Cong? Kamu ndak dendam kan sama Haji Rofik?"