Mohon tunggu...
Dejan ShakaJuang
Dejan ShakaJuang Mohon Tunggu... Mahasiswa Kehutanan

Mahasiswa Kehutanan yang memiliki minat besar akan konservasi satwa liar, ilmu lingkungan terapan, socioecology, dan ekowisata

Selanjutnya

Tutup

Nature

Speak for the Species: Jika Harimau Jawa Kembali dari Kepunahan, Mampukah Bertahan?

12 September 2025   10:18 Diperbarui: 12 September 2025   10:18 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Harimau Jawa yang Telah Punah Akhirnya Kembali ke Alam Liar, Bagaimana Tantangannya?

KEPUNAHAN SANG SESEPUH JAWA

Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) yang pernah menghuni hutan dan gunung di seluruh pulau Jawa dengan berat hati harus dinyatakan punah di alam oleh IUCN semenjak tahun 2008 silam. Meski baru dinyatakan punah pada tahun 2008, beberapa ahli meyakini mereka telah punah sejak 1980-an. Berdasarkan catatan sejarah, Harimau Jawa masih diketahui hidup di beberapa kawasan lindung seperti Ujung Kulon, Leuwen Sancang, dan Baluran hingga pertengahan 1960-an. Namun,  tidak ada lagi laporan penampakan harimau yang terkonfirmasi di wilayah-wilayah tersebut setelah gejolak sosial-politik pada tahun 1965. Menyebabkan gelombang pertama penurunan populasi sang raja rimba. Namun demikian, gaung dari tetua pulau Jawa ini tidak pernah hilang dari obrolan berbagai kalangan.

Pada 1970-an, populasi terakhir Harimau Jawa diyakini bertahan di wilayah Gunung Betiri, Jawa Timur. Catatan pada tahun 1972 menyebutkan hanya tersisa tujuh ekor harimau di seluruh Jawa. Pada 1976, jejak-jejak kaki kucing besar di Cagar Alam Gunung Betiri memberi secercah harapan tentang keberadaan subspesies ini. Sayangnya, setelah 1979 tidak ada lagi penampakan yang dapat diverifikasi di kawasan tersebut.

Pada tahun 1980, muncul rekomendasi perluasan cagar alam Gunung Betiri dengan menetapkan kawasan tersebut sebagai taman nasional. Namun, langkah-langkah ini terlambat diterapkan. Harimau Jawa yang telah kehilangan habitat dan mangsa akibat ekspansi manusia, tidak lagi mampu bertahan, meninggalkan pelajaran berharga tentang urgensi tindakan konservasi yang tepat waktu.

Bagi generasi kita, kesempatan berjumpa dengan Harimau Jawa dapat dikatakan nyaris mustahil. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa hal ini akan tercapai di masa mendatang mengingat dunia sains telah membuka pintu alternatif untuk 'memulangkan' spesies ini ke tanah air melalui teknologi DNA yang semakin berkembang. Mengaitkan fakta-fakta tersebut memunculkan sebuah pertanyaan imajiner yang selalu menggoda untuk dibahas: jika benar ia mampu kembali, dapatkah kita hidup berdampingan dengan predator puncak yang satu ini?

Jika kita melihat ke belakang mengenai sejarah Harimau Jawa, maka tidak akan lepas dari tradisi bar-bar bernama Rampogan Macan. Budaya Rampogan macan merupakan sebuah praktik di mana harimau dipertandingkan dengan kerbau, macan tutul, hingga manusia dalam pertunjukan yang menguji keberanian, menggambarkan harimau sebagai simbol kekuatan sekaligus ancaman bagi masyarakat Jawa di masa lampau. Tradisi ini populer di Yogyakarta dan Surakarta sebagai bentuk keraton dalam menyambut tamu-tamu dari Eropa.

Menurut catatan Thomas Stanford Raffles pada bukunya yang berjudul The History of Java (1817), digambarkan bahwa dalam Rampogan Macan terdapat arena besar dari bambu atau kayu  lalu di dalamnya dihadapkanlah seekor kerbau dengan seekor harimau. Dalam pertarungan itu kerbau hampir selalu menang, bahkan seekor kerbau pernah menewaskan beberapa harimau. Beberapa sumber juga menyatakan bahwa tubuh kerbau sengaja diolesi sambal cabai dan jelutung untuk membuat kerbau 'menggila' dan memberikan 'pertunjukkan' yang menghibur.

Meski sangat tidak berperikemanusiaan, salah satu alasan dari munculnya pertujukkan ini adalah karena Harimau Jawa memiliki populasi yang sangat besar sekaligus daerah jelajah luas, menyebabkan mereka menyerang ternak dan masuk ke pekarangan masyarakat pada abad 18-19. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat Jawa menganggap keberadaan Harimau Jawa sebagai hama, bukan makhluk hidup yang berhak hidup berdampingan. Catatan lawas ini menjadi pengingat bahwa masyarakat memiliki rekam jejak kurang baik dalam berkoeksistensi bersama Harimau Jawa. Bahkan beberapa penelitian, ahli sejarah, dan ahli konservasi berpendapat bahwa tradisi Rampogan Macan merupakan salah satu penyebab utama dari punahnya kucing besar ini. 

APAKAH BENAR MAMPU UNTUK KEMBALI?

Seiring modernisasi Jawa dan meningkatnya kepadatan penduduk, habitat Harimau Jawa secara drastis terus mengalami penyusutan, begitu pula dengan ketersediaan mangsa. Laporan kredibel terakhir menyebutkan kepunahan spesies ini pada akhir abad ke-20, meninggalkan warisan yang hanya dapat ditelusuri melalui narasi historis. Namun, penelitian baru-baru ini menghidupkan perbincangan tentang harapan untuk mengembalikan Harimau Jawa. Analisis DNA dari sampel rambut yang ditemukan memunculkan spekulasi tentang jejak genetik yang terkait dengan klade Harimau Sunda, yang mencakup harimau Jawa, Bali, dan Sumatra. Meski temuan ini tidak membuktikan adanya populasi hidup, diskusi tentang identitas genetik dan potensi de-extinction melalui teknologi terus mengemuka, meskipun komunitas ilmiah menyerukan verifikasi ketat untuk menghindari kesimpulan tergesa-gesa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun