Mohon tunggu...
Dedy Padang
Dedy Padang Mohon Tunggu... Petani - Orang Biasa

Sedang berjuang menjadikan kegiatan menulis sebagai sarana yang sangat baik untuk menenangkan diri dan tidak tertutup kemungkinan orang lain pula.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Teologi Absensia: Tawaran Berteologi dalam Konteks Postmodernisme

18 Juli 2020   23:41 Diperbarui: 18 Juli 2020   23:43 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pendahuluan

            Tuhan pada zaman sekarang ini bukan lagi persoalan iman kepada-Nya tetapi lebih kepada bagaimana Ia bisa dimengerti sebagai Sosok yang teralami dalam hidup sehari-hari dari umat manusia. Kehadiran-Nya sebagai yang misteri sering membuat orang bertanya; "benarkah Dia ada atau Dia hanyalah sebagai solusi dari agama atau instansi terkait dengannya untuk mengatasi persoalan hidup manusia yaitu seputar peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar status mungkin akal budi manusia!" Kehadiran-Nya, bahkan sering dimengerti sebagai Yang tidak hadir, yang susah dipahami mengundang manusia untuk mulai menelusuri-Nya dalam terang akal budinya. Artinya, berlandaskan pada struktur-struktur atau konsep rasional yang mereka miliki, manusia berusaha untuk memahami Allah.

            Kecenderungan manusia mengandalkan akal budinya untuk mengerti Allah sering membuat mereka malah semakin mengingkari-Nya walau Dia adalah Sosok yang tidak teringkari. Seturut terang akal budinya, manusia mencoba mengerti Allah. Usaha manusia ini akan mengantar mereka pada apa yang disebut sebagai nihilisme karena menganggap Allah sungguh sulit untuk dipahami.

Allah berada di luar konseptualitas manusia dan Ia tidak terbatas pada struktur akal budi manusia. Akibatnya  manusia hanya bisa berkata; Dia adalah ini, atau Dia bukanlah itu. Hal demikian disebut sebagai bahasa negatif (anapatif) dan positif (katapatif) dari manusia untuk memahami Allah. Bahasa negatif atau yang akrab disebut sebagai Teologi Negatif adalah suatu usaha manusia untuk memahami Allah namun tidak berarti apa-apa. Dengan bahasa ini manusia hanya bisa mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan Allah untuk memenuhi hasrat akal budinya semata. Sementara bahasa positif atau yang akrab disebut sebagai Teologi Positif adalah suatu usaha manusia untuk mengafirmasi tentang Allah menurut pemahaman mereka walau pada akhirnya Allah bukanlah demikian adanya.

Prinsip demikian adalah prinsip pola pikir masyarakat modernis. Pola pikir mereka berakar pada sesuatu yang hadir sehingga Allah yang adalah melampaui yang hadir tidak mampu dipahami. Konsep Allah harus berangkat dari hal-hal yang bisa mereka pikirkan sebagai suatu pemikiran yang logis dan konseptual. Hal inilah yang dilawan oleh pemikir dalam zaman postmodernisme. Mereka mulai membongkar prinsip kebenaran dari modernisme selama ini. Menurut mereka, modernis telah mengabaikan hakekat bahasa sebagai sesuatu yang paling penting dalam menjalin relasi terhadap realitas, yang dalam hal ini adalah Allah. Mereka hendak memunculkan hakekat bahasa yang sebenarnya.

            Kehadiran Teologi Absensia adalah terobosan baru dalam berbahasa tentang Allah dalam wacana bahasa postmodern. Absensia adalah sebuah paradigma baru dalam memahami Allah. Persoalan Allah tidak mampu hanya dipahami dalam prinsip metafisika kehadiran di mana logos sebagai penentu utama karena Allah jauh melampaui yang. Saat ini Allah harus dipahami dalam perspektif ketidakhadiran. Hal ini hendak melukiskan betapa manusia sungguh tidak ada apa-apanya jika berhadapan dengan Allah yang adalah Sang Mahakuasa. Teologi absensia adalah jawaban atas semua kerinduan masyarakat pada zaman modernisme dan juga kesimpulan akhir dari polemik teologi dalam pola pikir postmodern.


Latar Belakang Teologi Absensia

            Teologi absensia adalah suatu kerinduan atas usaha kaum postmodernis untuk menyelesaikan polemik bahasa yang mereka alami selama ini. Teologi absensia yang berlandaskan pada bahasa yang diperjuangkan oleh kaum modernis, yaitu tentang hakikat dan penggunan bahasa, membentuknya sebagi sebuah metode berteologi yang memungkinkan manusia untuk bisa berelasi dengan Allah.

Postmodernisme

            Istilah "postmodern" pertama kalinya muncul di wilayah seni pada tahun 1930 oleh Federico de Onis dalam karyanya Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana. Beberapa kecenderungan khas yang biasa diasosiasikan dengan postmodernisme dalam bidang seni adalah hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, tumbangnya batas antara budaya tinggi dan budaya pop, percampuradukan gaya yang bersifat eklektik, parodi, ironi merayakan budaya "permukaan" tanpa peduli pada "kedalaman", hilangnya orisinalitas dan kejeniusan dan akhirnya asumsi bahwa kini seni hanya bisa mengulang-ulang masa lalu belaka.[1]

 

            Frederic Jameson juga menggunakan istilah postmodernisme di wilayah kebudayaan. Ia mengatakan bahwa postmodernisme adalah logika kultural yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya. Ia mengaitkan tahapan-tahapan modernisme dengan kapitalisme monopoli, sedang postmodernisme dengan kapitalisme pasca Perang Dunia Kedua. Ia menyakini bahwa postmodernisme muncul berdasarkan dominasi teknologi reproduksi dalam jaringan global kapitalisme multinasional kini.

 

            Dalam bidang filsafat istilah "postmodern" diperkenalkan oleh Jean Francois Lyotadr dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on knowledge. Pemikirannya berkisar tentang posisi pengetahuan di abad ilmiah kita, khususnya tentang cara ilmu dilegitimasikan melalui, apa yang disebutnya sebagai "narasi besar" seperti Kebebasan, Kemajuan dan Emansipasi kaum proletar. Menurutnya narasi-narasi besar itu kini telah mengalami nasib yang sama dengan narasi-narasi besar sebelumnya seperti agama, negara, kebebasan dan kepercayaan tentang keunggulan Barat, yaitu mereka pun kini menjadi sulit untuk dipercayai. Dengan kata lain, mereka itu kini menjadi tidak mungkin. Maka nihilisme, anarkisme dan pluralisme permainan-permainan bahasa pun merajalela. Hal ini baginya tidak menjadi soal sebab di sisi lain ini menunjukkan juga kepekaan baru terhadap perbedaan-perbedaan dan keberanian melawan segala bentuk totalitarisme. Oleh karena itu postmodernisme dirumuskan sebagai suatu periode dimana segala sesuatu itu didelegitimasikan. Namun pada prinsipnya postmodernisme itu adalah intensifikasi dinamisme, yaitu suatu upaya tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan, ekserimentasi dan revolusi kehidupan terus-menerus.

 

            Maka dapat diberi kesimpulan bahwa postmodernisme adalah intensifikasi dinamisme. Kaitannya dengan modernisme (modernisme yang di-"post"-kan) adalah bahwa postmodernisme merupakan kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, Fondasionalisme yang tidak lain adalah ciri-ciri dari modernisme. Maka dalam bidang filsafat, postmodern adalah segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya.

 

            Pola pikir kaum postmodern berkutat pada pembahasan tentang bahasa yaitu hakekat dan penggunaannya. Pembahasan ini berakar pada persoalan rasionalisme yang dimunculkan oleh kaum modernis. Maka boleh dikatakan bahwa pola pikir postmodernisme adalah reaksi atas pola pikir dari modernisme dan hingga pada akhirnya mereka berjuang mengembalikan apa yang diabaikan oleh kaum modernis yaitu hakikat dan penggunaan bahasa.[2]

 

Kritik atas Pola Pikir Modernisme

 

            Sebelum beranjak pada pembahasan bahwa pola pikir postmodern adalah reaksi atas pola pikir modern, kiranya perlu terlebih dahulu mendalami terminologi postmodern. Ketika berbicara tentang postmodern, maka tidak pernah dilepaskan dari apa yang telah di-"post"-kan, dilampauinya atau apa yang dicoba untuk ditinggalkan yaitu modernitas. Ia adalah reaksi atas cara pandang modern atau lebih tepatnya disebut sebagai pembangkangan atasnya.[3]

 

            Terdapat lima prinsip yang berkembang di zaman modern dan kelima prinsip ini menjadi ciri khas dari pemikiran modernitas. Pertama prinsip pengutamaan akal budi. Dalam prinsip ini, mereka beranggapan bahwa akal budi manusia bisa menangkap realitas. Akal budi menjadi satu-satunya acuan dalam menggapai realitas dan mengembalikannya melalui bahasa manusia. Prinsip yang kedua ialah prinsip hakikat (nature). Dalam prinsip ini modernitas menganggap bahwa setiap benda memiliki hakikat atau inti. Hakikat ini dilihat sebagai pengatur semesta dan karenanya ia disebut sebagai hukum alam. Maka bagi mereka, realitas itu dilihat sebagai sesuatu yang memiliki struktur yang tertata rapi dan dapat disingkapkan tatkala hukum alam tersebut mampu dibongkar oleh akal budi. Ada usaha untuk menyingkap segala hukum alam dengan rasio.[4]

 

            Prinsip yang ketiga ialah prinsip otonomi. Manusia adalah makhluk otonom yang otoritasnya berasal dari dalam dirinya sendiri yaitu akal budi. Dengan prinsip ini, segala otonomi eksternal seperti Gereja dan Kitab Suci dalam abad pertengahan tidak lagi mencukupi untuk dijadikan sebagai acuan hidup. Setiap orang harus belajar berjalan untuk menemukan hukum alam dengan menggunakan akal budinya sendiri.

 

            Prinsip yang keempat ialah prinsip harmoni. Prinsip ini menyiratkan pandangan bahwa segala sesuatu telah terletak pada tempat yang semestinya. Segala kebenaran merupakan bagian dari keseluruhan yang harmonis. Maka melalui prinsip ini setiap disiplin ilmu haruslah memiliki metode pemikiran yang benar (dalam artian harmonis) sehingga tidak jatuh pada suasana irasional.[5] Prinsip yang terakhir ialah prinsip kemajuan. Mimpi akan kemajuan adalah tujuan dari keempat prinsip di atas. Bagi mereka kemajuan berarti meninggalkan segala bentuk takhayul. Mereka kini cenderung berusaha menemukan metode yang benar untuk menghasilkan pengetahuan yang benar.

 

            Berdasarkan prinsip di atas, dapat ditemukan juga agama (realitas religius) yang berkembang pada masa itu. Pada masa itu ada dua agama yaitu agama alamiah dan agama yang diwahyukan. Agama alamiah adalah agama yang berpandangan bahwa akal budi manusia bisa sampai pada eksistensi Allah dan hukum-hukum moral yang universal. Sementara, agama yang diwahyukan ialah agama yang berpandangan ajaran tentang Allah dan hukum-hukum universal berasal dari doktrin Kristen yang bersumber pada Kitab Suci dan Magisterium Gereja. Manusia modern memilih agama alamiah atau agama akal budi dan dari sinilah lahir paham Deisme sebagai sebuah paradigma baru dalam beragama dan berteologi.

 

            Ialah Rene Descartes, sebagai salah seorang tokoh modernisme, memunculkan ide tentang subjektivitas individu. Baginya dasar  dari segala sesuatu adalah diri manusia yang berpikir. Manusia adalah subjek yang otonom dan rasional. Ia menambahkan bahwa manusia betapapun ragunya berkewajiban memberi penjelasan dan kepastian untuk segala keraguan itu. Tokoh selanjutnya ialah Sir Isaac Newton. Ia mengeluarkan ide bahwa alam semesta adalah sebuah mesin yang mempunyai hukum-hukum dan keteraturan yang dapat dipahami oleh pikiran manusia.            Dari dua tokoh modern ini, maka dapat disimpulkan bahwa manusia modern adalah makhluk yang otonom dan rasional yang hidup dalam dunia mekanik. Bagi mereka pengetahuan itu bersifat pasti, objektif, baik (tidak netral) dan dapat dipahami oleh pikiran manusia.[6]

 

Kejatuhan Modernisme

 

            Modernistis sangat memimpikan kebebasan yang sedemikian tingginya. Kebebasan ini nantinya akan membungkam segala otoritas di luar diri manusia sendiri. Otoritas tertinggi diberikan kepada akal budi manusia.

 

Kebebasan modernistis ialah kebebasan dalam lingkup individu, pribadi-pribadi. Setiap manusia adalah pribadi yang otonom dan berhak atas nasibnya sendiri. Mereka tidak terikat pada otoritas manapun selain akal budinya.

 

            Namun dalam perjalanan waktu, mereka menjadi gerah terhadap dirinya sendiri, dunia dan tempat mereka bermukim. Dengan rasionalitas, manusia menyadari dirinya sebagai yang bisa menguasai dan mengontrol dunia serta realitas. Mereka telah menjadikan rasionalitasnya sedemikian tinggi dan ternyata telah malampaui apa yang menjadi tempat yang semestinya. Mereka sadar bahwa mereka telah menjadikan diri mereka sebagai tuhan atas seluruh realitas yang ada dan karenanya mereka telah melenyapkan yang transenden yang sebelumnya adalah objek pemikirannya selama ini.

 

            Usaha modernistis adalah usaha untuk menemukan titik pusat kebenaran yaitu diri manusia itu sendiri melalui akal budinya. Mereka menyebut manusia sebagai sang individu rasional. Abad-abad berikutnya, muncul kesadaran akan kesia-siaan usaha mereka untuk menemukan titik pusat yang ternyata diyakini tidak ada. Tidak ada yang dapat dijadikan titik pusat sebagai patokan terlebih ketika itu berasal dari manusia yang ternyata adalah makhluk yang lemah. Maka usaha mereka dinilai sia-sia karena hanya akan mengahasilkan fiksi hasil kreasi pemikiran manusia. Manusia hanya tinggal pada kata-kata tentang realitas dan antara kata-kata dengan realitas terbentang jurang yang tidak bisa diseberangi.

 

Tanggapan dari Postmodern

 

            Kaum postmodern melihat bahwa apa yang selama ini diperjuangkan oleh masyarakat modern, yaitu penemuan titik pusat adalah sia-sia karena yang disebut sebagai titik pusat itu tidak ada. Tidak ada kebenaran mutlak. Karenanya postmodernist menganggap bahwa modernist terlalu mengagungkan rasio. Mereka telah menjadikan diri mereka seperti tuhan  yang berkuasa untuk  menguasai, mengontrol.

 

            Menurut pemikir postmodern, modernistis terlalu berlebihan menganggap diri sebagai penentu realitas. Mereka mengatakan bahwa satu-satunya hal yang telah dirusak oleh masyarkat modernist adalah hakikat bahasa. Masyarakat modernist menganggap bahwa bahasa itu mampu menangkap realitas dan membahasakannya kembali kepada manusia. Maka, berangkat dari persoalan ini, postmodern mencoba memperbaikinya.

 

Pengembalian Hakikat Bahasa

 

            Tanggapan postmodern atas pemikiran manusia modern ialah mengangkat kembali hakikat bahasa yang selama ini diabaikan oleh mereka. Selama ini hakikat dan penggunaan bahasa telah direduksi oleh manusia modern ke dalam prinsip rasionalitas. Menurut manusia postmodern, bahasa harus dikembalikan kepada dirinya sendiri.

 

Pemikiran Postmodernisme ini, bisa dilihat melalui pemikiran tokoh-tokohnya. Tokoh yang pertama ialah Gada Nietzsche. Ia menghancurkan modernisme dengan mengajukan persoalan tentang bahasa yang tidak dapat dijawab oleh modernisme. Ia mulai membangun kembali hakikat bahasa yang sebenarnya yaitu sebagai suatu kesepakatan sosial.

 

            Selanjutnya ialah Ludwig Wittgenstein. Dalam bukunya yang pertama; "Traktatus Logico-Philosophicus" ia mengatakan sesuatu tentang bahasa yaitu bahwa bahasa menggambarkan dunia. Dari sini muncullah gerakan filsafat Logical Positivism, yaitu aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan.[7]

 

            Dalam perjalanan waktu, Wittgenstein meralat pandangannya di atas yang mengatakan bahwa bahasa memiliki tujuan tunggal yaitu menggambarkan realitas. Ia memunculkan konsep bahasa yang baru yaitu permainan bahasa. Ia mengatakan bahwa bahasa memiliki konteks atau aturan mainnya masing-masing. Contoh bahasa dalam permainan ialah bahasa doa, minta pertolongan dan perasaan cinta.

 

            Permainan bahasa Wittgenstein adalah bentuk penolakan atas kebenaran objektif. Ia tidak setuju bahwa kebenaran itu selaras dengan realitas di luar. Baginya, kebenaran hanyalah sebuah fungsi internal dalam bahasa yaitu terkait dengan konteks di mana bahasa itu dipakai. Segala usaha manusia untuk mencari dan menyatakan kebenaran yang mutlak adalah sia-sia. Yang ada hanyalah perkataan-perkataan belaka. Pernyataan yang benar hanya dalam konteks di mana perkataan itu diucapkan.

 

            Selain dari pada mereka, Ferdinand de Sausure juga berusaha menghancurkan historisisme bahasa kaum modern. Ia mengatakan bahwa bahasa sebagai kebiasaan sosial. Maka perlu kiranya suatu pendekatan anti-historis. Dalam pendekatan ini, bahasa dilihat sebagai sebuah sistem yang utuh dan harmonis secara internal. Secara ringkas, bisa dikatakan bahwa pemikiran Sausure ini mengarah pada paham strukturalisme.[8]

 

            Selain dari pada pemikir-pemikir postmodern, kaum poststrukturalis juga bereaksi atas pandangan masyarakat modern tersebut. Michael Foucault mengkritik paham masyarakat modern dengan mengatakan bahwa bahasa bukanlah dari manusia tetapi manusia adalah bagian dari bahasa. Menurutnya, kebenaran adalah hasil kesepakatan dari golongan tertentu yang berkuasa demi kepentingannya. Selain dia, ada juga Jacques Derrida yang mengkritik logosentrisme dan metafisika kehadiran. Menurutnya arti kata tidak pernah statis atau tunggal. Arti kata selalu berubah sepanjang waktu bersamaan dengan perubahan konteks. Maka perlu menunda arti atau makna bagi suatu kata.[9]

 

            Martin Heidegger berkata lain. Menurutnya bahasa itu memiliki fungsi revelasi seperti halnya dalam bahasa puisi. Bahasa haruslah menjadi tempat nyaman bagi kebenaran. Maka bahasa yang baik adalah bahasa metaphor. Bahasa yang berintikan metaphor adalah bahasa yang menungkapkan kebenaran. Ada kesadaran baru bahwa realitas pasti sudah terbahasakan. Karenanya saat hendak menyampaikan kebenaran, seseorang harus menyampaikannya melalui bahasa.

 

            Persoalan bahasa beralih dari mediator ke centrum. Maka perlu imajinasi dalam bahasa. Fungsi imajinasi ini ialah untuk memberi konteks pada pengalaman sehingga pengalaman tidak sekedar dibahasakan tetapi lebih digambarkan. Imajinasi memungkinkan terciptanya pengetahuan dialog antara subjek dan objek secara representasional.[10]

 

Sumbangan Postmodernisme atas Bahasa Teologi

 

Bahasa Fiktif dan Realitas yang Fiktisius

 

            Sumbangan pemikiran postmodern terhadap bahasa teologi ialah kesadaran dalam memahami relasi antara bahasa dan realitas. Menurut postmodern, realitas itu memiliki sifat yang abiguitas dan elusivitas. Itu artiya ia tidak dapat dengan mudah ditangkap oleh aka budi manusia. Membahasakan realitas oleh manusia adalah aktifitas yang didasarkan pada keterbatasan mausiawi. Oleh karena itu bahasa mausia dalam berelasi dengan realitas adalah bahasa fiksi yang fiktif.

 

            Realitas itu memang tidak mudah ditangkap oleh persepsi spontan inderawi. Usaha mausia untuk menciptakan fiksi dalam bereasi dengannya ialah dengan menggunakan metaphor. Metaphor ialah segala proses kegiatan penciptaan (transferensi, interpretasi, rumusan dogma, symbol, institusi) atau sebagai sarana artificial untuk mengartikulasikan apa yang real. Dengan kata lain, usaha manusia sudah selalu fiksi yang fiktif kenyataan hidup manusia (realitas) adalah senantiasa fiktisius. Karenanya manusia perlu siap merendahkan diri dan budi di hadapan realitas dan dunia.[11] 

 

Orientasi pada Absensi bukan Presensi

 

            Kita tahu di atas bahwa realitas modern lebih mengutamakan pola pikir dengan metode metafisika kehadiran. Prinsip yang perlu dalam pola pikir ini ialah rasio mengambil peran yang penting di dalamnya. Dalam prinsip ini, realitas itu ternalarkan atau dapat dirasionalisasikna melalui bahasa. Namun kelemahannya ialah bahwa pola pikir yang demikian mengandaian bahwa realitas itu memiliki substansi rasional. Itu artinya hanya dengan rasio, realitas bisa dipahami.

 

Realitas Postmodernmm lebih ke absensia.  Mereka memberikan suatu pola pikir baru tentang bagaimana semestinya berelasi dengan realitas. Menurut mereka kehadiran (logosentris) hanya akan mempermiskin realitas (walau tujuannya untuk memperjelas realitas). Realitas adalah fiktisius dan bahasa manusia adalah fiktif. Maka bahasa bukan usaha representasi realitas tapi proses absensia. Dalam hal ini teologi bukan berusaha membahasakan Allah dalam kerangka rasionalitas tapi dalam kenositas yg dicicipi dalam kehidupan nyata melalui semangat keterbukaan dan melakukan.[12]

 

Bahasa Metaforis dan Modelis

 

Bahasa metaforis[13] maksudnya adalah bahasa yang melihat similaritas di antara dua objek. Bahasa ini menggunakan objek yang lebih dikenal untuk menggambarkan,mengatakan objek yang tidak dikenal, dikenal dengan tidak pasti, kurang dikenal. Jika ini dipakai dalam teologi, maka teologi haruslah memegang prinsip bahwa mengatakan Allah atau berbicara tentang Allah itu telah dengan sadar akan keterbatasan perkataan tersebut. Makanya perkataan tentang Allah haruslah dibuat dengan menggunakan objek yang lain untuk bisa menjelaskan Allah.

 

Lalu apa itu bahasa modelis? Kita tahu bahwa bahasa teologi selalu konseptual. Itu artinya teologi hanya memiliki satu tujuan yaitu untuk merumuskan konsep di  Allah sehingga mudah dipahami oleh penganutnya. Namun ini bisa terkesan radikal ketika teologi tidak membuka diri terhadap segala kemungkinan lain di luar konsep pemikiran mereka tentang Allah. Oleh karena itu bahasa teologi yang konseptual tersebut haruslah menjalin hubungan dengan bahasa metaforis. Hubungan itu disebut sebaga bahasa model (teologi modelis). Bahasa modelis artinya teologi itu serentak metafor namun mengarah pada konsep. Model membantu membahasakan sesuatu yangg tak terbahasakan. Ia juga memberi sesuatu untuk dipikirkan saat tidak tahu apa yang harus dipikirkan, memberi cara berbicara saat tak tahu bagaimana berbicara. Teologi modelis membantu mengatasi persoalan penting teologi dalam kaitannya dengan bahasa yaitu idolatria bahasa dan bahasa yang tidak relevan.[14]

 

Teologi Absensia sebagai Tawaran dalam Berteologi

 

            Teologi Absensia adalah gaya baru dalam berteologi dengan menggunakan paradigma absensia. Sebetulnya paradigma ini bukanlah hal yang baru karena sebelumnya telah ada para pemikir filsafat dan teologi yang juga sudah mencapai titik ini, hanya mereka belum menemukan sebuah istilah yang memadai. Para pemikir itu ialah seperti Psedo-Dionysius yang membentangkan "jalan ketiga" dalam berteologi yaitu sebuah usaha dialektik antara gaya berteologi Katapatif dan gaya berteologi Anapatif. Selain itu ada juga Meister Eckhart yang membahas lebih lanjut terkait dengan Katapatif dan Anapatif hingga sampai pada suatu argumentasi yang memampukannya untuk melampaui kedua gaya berteologi tersebut. Maka dalam bagian ini, penulis hendak memaparkan bagaimana paradigma absensia menjadi sesuatu yang baru dalam teologi. Ini adalah sebuah tawaran yang menjadi hal menarik jika menjadi bahasa dalam berteologi. 

 

Arti Teologi Absensia

 

            Sebelum beranjak lebih jauh, perlu kiranya diberi rumusan tentang arti dari teologi absensia. Secara sederhana, berdasarkan rangkuman penulis atas pemikiran Rm. Haryo Tejo, teologi absensia merupakan bahasa Manusia dalam memahami Allah dalam paradigma absensia. Paradigma absensia berarti penalaran akan Allah yang didasarkan bukan pada prinsip kehadiran (presensia) tetapi prinsip ketidakhadiran. Yang hendak ditekankan dalam rumusan ini ialah bahwa bahasa manusia pada hakikatnya adalah terbatas. Manusia tidak bisa meletakkan persoalan tentang Allah dalam logika kehadiran karena Allah jelas sulit dimengerti secara logis. Maka boleh dikatakan bahwa teologi absensia adalah bahasa teologi yang lahir dari situasi keterbatasan manusia sebagai pemilik bahasa akan Allah sang Realitas absolut.

 

            Teologi absensia hendak menekankan sisi kerendahan hati manusia di hadapan Allah. Bercermin dari pengalaman masyarakat modernis, Allah tidak serta merta bisa dijangkau oleh akal budi karena Allah jauh berada dari konseptualitas manusia dan lagi pula Allah tidak memiliki hukum yang pasti karena Ia sendiri dalam diri-Nya memuat hukum yang bagi manusia tidak pasti. Teologi absensia juga bukanlah bahasa yang hanya mampu memberi afirmasi atau negasi atas Allah. Teologi absensia lebih kepada bahasa untuk bisa masuk ke dalam kemisterian Allah.

 

Penalaran Teologi Absensia akan Allah

 

            Penalaran akan Allah menurut Teologi Absensia ialah penalaran kenotik. Dalam penalaran direfleksikan bahwa Roh Ilahi sendiri yang mengosongkan diri-Nya di dalam dunia dengan menjadi sesuatu yang sama sekali lain dari diri-Nya sendiri. Penalaran kenotik maksudnya penalaran dengan mengosongkan diri di hadapan realitas atau segala sesuatu yang dipikirkan, termasuk Allah.[15]

 

            Pengosongan haruslah dibedakan dengan kekosongan meskipun kedua kata ini memiliki akar yang sama yaitu kosong. Dari penjelasan tentang kenosis Allah di atas, pengosongan sangat identik dengan adanya tindakan pemberian diri yang nantinya diterjemahkan dalam istilah cinta. Prinsip cinta adalah memberi diri. Sementara kekosongan identik dengan ketiadaan, kehampaan.

 

            Teologi adalah teologi yang hendak dipahami sebagai kenosis. Hal ini tentunya hendak menegaskan identitas dan tuntutan baru bagi teologi itu sendiri yaitu suatu pemberian diri, suatu cinta. Maka jika dipahami demikian iman dalam telogi ialah iman yang selalu mencari imaji-imaji cinta tanpa henti.

 

Prinsip Teologi Absensia

 

Membuka diri pada Irasionalitas

 

            Hukum rasionalitas manusia adalah sebuah kepastian yang tidak ragu, logis, konseptual dan logis. Dalam hal ini ada keyakinan akan kehadiran sesuatu di dalam realitas dan sesuatu itu pastilah sebuah substansi. Fungsi bahasa terkait dengan ini ialah menjemput dan menangkap substansi itu kemudian menghadirkannya melalui bahasa. Seturut pemikiran postmodern, hal ini adalah usaha sia-sia manusia untuk bisa memahami realitas karena manusia terbelenggu oleh konstruksi yang dibuatnya sendiri. Karena itu perlu pemikiran baru, yaitu suatu pemikiran di luar konseptualitas manusia. Manusia memerlukan suatu pemikiran yang irasional untuk bisa masuk pada hal-hal irasional realitas kehidupan yang dialami selama ini.

 

            Dalam irasionalitas, tidak ada substansi yang ada adalah relasi dan adaptasi. Situasi ini penting mengingat bahwa dalam realitas banyak hal-hal yang tidak masuk akal terjadi. Dalam hal ini fungsi bahasa bukan lagi sebagai cerminan akan realitas tetapi lebih kepada medan yang tidak pernah selesai mencerna dan mencairkan apa yang mungkin ditangkapnya termasuk di dalamnya irasionalitas, ambiguitas, paradoks dan hal-hal yang memang tidak mudah ditangkap dan dibahasakan. Keadaan realitas ini merupakan seluruh bagian dari pengalaman manusia dalam hidupnya sehari-hari dan karena itu bahasa haruslah kembali kepada pengalaman itu.

 

            Teologi absensia merupakan pemikiran atas keadaan realitas yang irasional. Arahnya ialah untuk mengatasi persoalan dikotomi dan polaritas manusia atas realitas ini. Dikotomi dan polaritas adalah produk rasionalitas manusia yang membuat manusia mudah untuk mengafirmasi atau menegasikan realitas, seperti ada dan tiada, surga dan neraka, serta putih dan hitam. Inilah yang menunjukkan bahwa memang pada dasarnya teologi absensia terkesan sebagai skandal karena bertentangan dengan hukum rasionalitas manusia namun di sisi lain menjadi suatu yang menggairahkan karena mengajak manusia untuk menyadari kekayaan realitas hidup yang dialaminya.

 

Menjelajahi Keheningan

 

            Teologi absensia menawarkan cara untuk berada bersama Allah dengan cara hening. Hening akan Allah berarti membiarkan Allah memasukkan Diri dalam relasi manusia dan karya-karya manusia di dalam dunia. Teologi absensia adalah sebuah penjelajahan bahasa dalam keheningan yang mendalam, yang menciptakan sebuah ruang refleksi bagi manusia. Hening berarti jeda bagi manusia-manusia kontemporer yang linglung dan bingung untuk merefleksikan dan mengucapkan apa yang selama ini mungkin telah hilang. Ruang refleksi yang ditawarkan teologi absensia ialah kesempatan  bagi manusia untuk merenungkan Allah yang masuk dalam setiap karya dan pengalaman eksistensial manusia.[16]

            Keheningan bukanlah bagian dari kehadiran. Keheningan merupakan ranah ketidakhadiran karena dalam hening yang direfleksikan tidak hanya hal-hal yang rasional tetapi lebih kepada hal-hal yang diluar rasio manusia. Dalam hal ini kita bisa membandingkannya dengan janji keselamatan yang dari Allah. Janji itu tidak bisa diterangkan begitu saja secara rasional, namun dalam hening hal itu bisa dilakukan. Dalam hening kita diberi tawaran; atau menerima atau menolak tawaran tersebut.

Mengarah pada Penyingkapan Allah

            Teologi absensia itu merupakan pola pikir akan Allah yang berawal pada pemikiran akan Allah dan berakhir pada pewahyuan Allah.[17] Pola pemikirannya mengarah kepada penyingkapan Allah. Pemikiran jenis ini merupakan kegiatan yang tanpa akhir dari usaha pengenalan Allah yang mewahyukan Diri. Melalui pemikiran ini, teologi tidak terjebak dalam kegiatan berpikir yang sekedar permainan konseptual belaka yang tidak memperoleh hasil apa-apa bagi teologi itu sendiri .

 

            Pemahaman akan Allah harus lepas dari permainan kata atau konsep karena Allah jauh melebihi apa yang bisa dikatakan atau dikonsepkan oleh manusia. Pengalaman modernis yang terlalu mengagungkan rasio (ego) menjadi cerminan bagi manusia zaman ini bahwa kekuatan rasio itu terbatas sehingga usaha untuk menaklukkan Allah melaluinya adalah usaha yang sia-sia.Maka, teologi absensia merupakan pemikiran yang terlepas dari pengaruh egosentris dari para modernis.

 

Cinta dan ke-Tanpa-an

 

            Cinta adalah terminologi yang akrab bagi manusia. Namun walaupun akrab, cinta sering sulit untuk dimengerti dalam arti yang lebih utuh. Hal ini bisa dimaklumi karena sebenarnya cinta merupakan sesuatu yang tak terjelaskan dan senantiasa mengundang interpretasi.

 

            Menurut Marion, ada dua ciri cinta. Pertama, cinta itu selalu berarti pemberian diri. Sifat dari pemberian diri ini ialah satu arah. Artinya, pemberian diri itu tidak pernah memandang apakah si penerima layak atau tidak menerimanya, sanggup atau tidak. Singkatnya, cinta adalah pemberian diri yang tanpa syarat, tanpa batas dan tanpa menunggu kesiapan dari si penerima. Kedua, hanya cinta yang memiliki kekuatan performatif, yaitu potensi yang menggerakkan, mengubah, mencairkan kebekuan dan untuk berbuat sesuatu yang lebih daripada cinta itu sendiri sebagai sebuah konsep.

 

            Paradigma absensia adalah paradigma cinta; bahasa absensia adalah bahasa cinta; Allah dalam teologi absensia adalah Cinta.Dalam cinta, manusia didorong sampai pada batas-batas yang mungkin, sepenuhnya berkembang melalui kemampuan kita, melampaui kekuatan kehendak kita dan mendorong sampai pada titik di mana hanya gairah iman, harapan dan cinta sendirilah yang menyala-nyala. Kebenaran cinta adalah melakukan cinta. Cinta hanya bisa dimengerti ketika dilakukan dalam hidup. Pada akhirnya, cinta akan menggiring manusia pada tindakan tulus untuk terbuka terhadap yang lain, yang asing dan yang berbeda.

 

            Selain cinta, term lain yang cukup mampu mencerminkan paradigma absensia adalah kata "tanpa" (without). Tanpa ialah sebuah kata yang persis berada di tengah antara kata "adalah" (is) dan "bukan" (is not). Karena berada di tengah, ia bukanlah is dan juga bukan is not. Kata "tanpa" ini hendak merangkul kedua kata yang lain tersebut. Hal itu bisa dimengerti demikian; God is being adalah pernyataan afirmatif (teologi positif), dan pernyataan "God is not being" adalah pernyataan negatif (teologi negatif) sedangkan "God without being" adalah rangkulan kedua pernyataan di atas. Walaupun ia merangkul namun ia juga serentak menyangkal kedua pernyataan tersebut. Pernyataan dengan kata "tanpa" ini hendak menegaskan bahwa dalam pernyataan itu tersingkap suatu pengertian yang jauh lebih luas dari sekedar yang bisa dinyatakan. Inilah Allah yang dalam paradigma absensia. Ia adalah Allah yang jauh melampaui dari segala sesuatu yang bisa dipikirkan manusia tentang-Nya.[18]

Mencintai Misteri

            Dalam teologi absensia Allah itu tetaplah misteri dan karenanya kita diundang untuk tetap mencintai misteri ini. Kita mencintai bukan dengan mengerti atau memahami namun untuk mengenal-Nya. Kemisterian Allah bukanlah terletak pada diri-Nya sendiri sebagai yang misteri tetapi hendak menunjukkan keterbatasan manusia dalam rasionalitas dan bahasanya untuk mengenal Allah.Keterbatasan manusia inilah yang membuat Allah itu menjadi misteri sementara Allah telah menyingkapkan diri-Nya untuk dikenal manusia.Kegiatan mencintai misteri ini dapat dilakukan dengan berdoa. Dalam doa kita memang tidak menyebut dan memperkatakan Allah tetapi memanggil-Nya.

            Sejalan dengan ini, Emanuel Levinas juga memberikan suatu penjelasan yang membuat teologi mampu mengajak manusia untuk senantiasa setia mencintai yang misteri tersebut. Bagi Levinas, Allah adalah misteri. Oleh karena Allah adalah misteri, maka mencintai Allah adalah mencintai misteri itu sendiri. Kemisterian itu bisa dirasakan (dialami) dalam pengalaman perjumpaan manusia dengan sesamanya. Dalam perjumpaan itu, manusia bisa menyadari adanya pihak ketiga yang selalu hadir namun berlalu begitu saja, yaitu Allah atau jejak Allah dalam diri sesama. Kesadaran akan jejak ini mengantar manusia pada struktur relasi yang tidak saling memanfaatkan. Struktur inilah yang bisa disebut sebagai situasi cinta. Bagi Levinas, walau Allah adalah misteri namun jejak-Nya tetap bisa kita rasakan dalam perjumpaan dengan sesama.

            Di sisi lain, dengan konsep ini, Levinas mengingatkan bahwa Allah bukanlah sebuah fenomena yang tampak di hadapan manusia, hadir di depan wajah manusia yang bisa diobservasi, dirumuskan atau ditematisasikan. Allah tetaplah misteri. Di hadapan yang misteri ini dimungkinkan terciptanya rasa takjub yang bisa menenggelamkan manusia ke dasar misteri, bersentuhan secara lebih intim dalam relasi dengan misteri itu sendiri. Rasa takjub tidak menuntut pengetahuan logis namun lebih kepada ajakan untuk terus-menerus mencari dan menghasrati.

            Selain Emanuel Levinas, seorang fenomenolog, Michel Henry juga mengatakan sesuatu yang lebih jauh dari sekedar perkara kemisterian Allah. Ia mengatakan bahwa Allah adalah Hidup itu sendiri. Karenanya, pencarian akan Allah yang sesungguhnya berarti pencarian akan sesuatu yang selama ini dialami dalam hidup namun sering terabaikan. Maka bagi Henry, perkara teologi adalah perkara pengalaman hidup itu sendiri. Berteologi berarti perkara gerak kembali kepada hidup itu sendiri yang terbentang luas dengan segala paradoks, ambiguitas, tegangan atau ketidakmungkinan. Singkat kata, teologi itu haruslah mengarah pada hidup dengan segala misterinya.[19]

Pencapaian Paradigma Absensia

            Paradigma absensia merupakan paradigma baru dalam berteologi. Melalui paradigma ini ada dua kesimpulan yang akan tercapai. Pertama adalah bahwa Allah senantiasa mengkomunikasikan Diri melalui getar-getar pengosongan diri dan teologi memberi nama getar-getar transendental itu sebagai getar-getar kenotik. Ini berarti pergaulan manusia dengan Allah selalu ada dalam wilayah pengalaman kenositas Allah.[20]

 

            Kedua adalah bahwa pada akhirnya semakin disadarilah logika ketidakhadiran dalam bahasa manusia yang fiktif dan realitas manusia yang fiktisius. Apa yang disebut dengan logka ketidakhadiran ini adalah logika yang tidak logis, logika yang tidak bertumpu dan berputar pada logos, logika yang memberi tempat pada adabtasi-dialogis yang tak pernah letih mengalir. Inilah logika yang mengarahkan ekspresinya bukan pada re-presentasi melainkan re-absensi. Inilah logika yang mendengarkan, atau meminjam istilah Heidegger, logika meditatif.

 

Rangkuman dan Penutup

 

            Manusia, dengan segala kemampuan dan kelemahannya, hendak bergaul dengan realitas karena hanya dengan itulah manusia bisa memahami diri dan dunianya. Relasi itu diperantarai melalui bahasa. Maka persoalan bagaimana manusia berelasi dengan realitas melalui bahasa menjadi penting agar kita mengetahui sampai di titik mana kita berada, dan dari mana kita berangkat dan oleh karena itu ke mana kita akan pergi juga semakin orientatif. Artinya kita semakin memiliki arah dalam hidup di dunia ini.

 

            Postmodernisme adalah sebuah keriuhan yang mencoba membongkar wilaya berbahasa tersebut. Pembongkaran yang dilakukan telah menggiring manusia pada wilayah kesadaran akan hakikat bahasa dan realitas itu sendiri. Saat ini semakin disadari aspek fiktif dari bahasa manusia dan begitu fiktisiusnya realitas manusia. Kedua kesadaran itu memberi kesadaran betapa kaya, luas dan tak terbatasnya pengalaman hidup manusia. Itulah keadaan pengalaman manusia. Mengamininya berarti tidak sekedar menerimanya begitu saja namun juga memberi tempat yang selayaknya yang bagi modernisme tidak mungkin. Postmodernisme hendak merangkul semua itu, karena pengalaman hidup manusia, meski begitu elusive dan mengalir tanpa henti, merupakan sumber inspirasi yang takkan pernah habis digali. Kesadaran yang demikian ditemani dengan kesadaran untuk meletakkan segala usaha manusia saat berelasi dengan realitas yang fiktisisu dengan bahasa manusia yang adalah fiksi, sarana artifisial untuk mengartikulasikan yang fiktisius itu.

 

            Kaum modernisme tidak mau mencicipi kesadaran seperti itu. Mereka yakin bahwa relasi antara bahasa dan realitas adalah relasi cermin: perpantulan yang asli dan pasti, bahwa bahasa bukan hanya dapat menangkap realitas namun juga menghadirkan kembali dengan begitu asli dan pasti. Semuanya itu dimungkinkan karena rasionalitas adalah satu-satunya kriteria bagi manusia. modernisme, dengan rasionalitasnya, telah membawa manusia pada relasi presensi/kehadiran. Ini adalah sejenis relasi yang dominatif, di mana yang satu dianggap sebagai subjek dan yang lain sebagai objek. Namun di penghujung hidupnya, modernisme justru menuntun manusia pada batas-batas rasionalitasnya.

 

            Postmodernisme memilih relasi absensia. Dalam pola relasi ini, manusia tidak dituntun untuk mengrasionalisasikan pengalaman hidupnya namun diajak untuk berelasi secara mesra dengannya, bukan dengan memikirkannya tetapi lebih mengalaminya sebagai suatu bagian dari hidup. Di sinilah filsafat bisa berjumpa dengan teologi. Sebagai sebuah wacana mengenai manusia dalam pengalamannya berelasi dengan realitas transenden, teologi membahasakan pengalaman relasi tersebut. ini adalah sebuah tawaran berelasi yang baru dari teologi.

 

            Selama ini teologi hanya mengenal dua relasi yaitu afirmasi (teologi positif, katapatif) dan negasi (teologi negatif, apopatif). Dalam relasi ini bahasa dirasa sanggup menangkap realitas namun kenyataannya tidak demikian. Allah sebagai suatu realitas tertinggi justrus tidak dapat dibahasakan. Hal ini jelas bertolak belakang karena para penganut-Nya mengamini bahwa Ia bisa dialami karena senantiasa memberikan diri-Nya tersentuh dalam sejarah hidup manusia. Lantas bahasa teologi yang ada menjadi bahasa yang bisu di hadapan kenyataan-kenyataan manusia yang ambigu.

 

            Kini teologi menggunakan bahasa metaforis dan atau modelis, yaitu bahasa yang berada di antara bahasa katapatif dan apopatif. Melalui bahasa ini teologi diberi kesadaran bahwa saat hendak berkata-kata mengenai Allah serentak mengindikasikan bahwa kata-kata tersebut terbatas. Inilah paradigma absensia yang mengetahui Allah dalam segala hal namun serentak membedakannya dari segala hal. Allah diketahui melalui pengetahuan dan melalui ketidaktahuan. Artinya ialah mengetahui bahwa kita tidak mengetahui.

 

            Allah yang dipahami dan dihayati dalam teologi absensia adalah adalah yang hadir dalam peristiwa-peristiwa kenotik, Allah mengosongkan Diri: Allah mengabsensikan kehadiran-Nya. Singkatnya Allah yang misteri itu dimengerti sebagai Cinta. Allah berbahasa kenotik dan manusia menanggapi dengan bahasa absensia.

 

            Dalam teologi absensia ini, segala ambiguitas dan paradox pengalaman dapat terwadahi dengan baik. Teologi absensia akan melihat bahwa paradox ini bukan lagi sebagai pilihan ini atau itu melainkan sebagai hadiah atau anugerah. Allah mungkin akan selalu tetap tak terpikirkan tetapi Ia juga adalah Allah yang memberikan Diri sepenuh-penuhnya, yang membuka lebar-lebar pintu rumah-Nya.

 

            Akhirnya, melalui paradigma absensia persoalan mengenai Allah tidak diletakkan dalam posisi afirmasi atau negasi melainkan cinta. Kita diminta untuk berorientasi pada Cinta tersebut. Orientasi tersebut hanya dimungkinkan jika kita berpartisipasi dalam cinta dan partisipasi di dalam cinta itu tidak bisa tidak selain melakukan cinta itu sendiri. Alasannya ialah karena satu-satunya kriteria kebenaran untuk apa yang disebut cinta adalah, meminjam istilah Agustinus, facere veritatem. Dengan cinta yang terlakukan itulah kita berelasi dengan Allah yang adalah Sang Maha Cinta.

 

Catatan-catatan

[1] I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme:Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 24-26.

[2] I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: ..., hlm. 80.

[3] Haryo Tejo Bawono, Teologi Absensia: Sebuah Wacana Teologiko-Filosofis dan Filosofiko-Teologis, suatu Kecenderungan Lintas Batas Khas Postmodern (Jakarta: Obor, 2013), hlm. 3; bdk. Sugiharto, I. Bambang. Postmodernisme..., hlm. 43.

[4] Haryo Tejo Bawono, Teologi Absensia..., hlm. 4; bdk. Emanuel Gerrit Singgih. Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-pemikiran Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia (Yogyakara: BPK & Kanisius, 2000), hlm. 20.

[5] Haryo Tejo Bawono, Teologi Absensia..., hlm. 5-6.

[6] Haryo Tejo Bawono, Teologi Absensia..., hlm. 10.

[7] Haryo Tejo Bawono, Teologi Absensia..., hlm. 13.

[8] Haryo Tejo Bawono, Teologi Absensia..., hlm. 16.

[9] Haryo Tejo Bawono, Teologi Absensia..., hlm. 22-23; bdk. Muhammad Al-Fayyadl, Derrida (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 78.

[10] H Tedjoworo. Imaji dan Imajinasi: Suatu Telaah Filsafat Postmodern (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 53-56.

[11] Haryo Tejo Bawono, Teologi Absensia..., hlm. 36-37.

[12] Haryo Tejo Bawono, Teologi Absensia..., hlm. 100.

[13] Sugiharto, I. Bambang. Postmodernisme ..., hlm. 101-122.

[14] Haryo Tejo Bawono, Teologi Absensia ...,  hlm. 93-95.

[15] Haryo Tejo Bawono, Teologi Absensia ...,  hlm. 79.

[16]  Haryo Tejo Bawono, Teologi Absensia..., hlm. 118-120.

[17] Allah mewahyukan Diri dimengerti sebagai Allah yang menyapa manusia. Bentuk pewahyuan Diri Allah itu terletak pada diri Yesus Kristus [Lih Nico Syukur Dister, Pengantar Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 86]

[18] Haryo Tejo Bawono, Teologi Absensia..., hlm. 127-129.

[19] Haryo Tejo Bawono, Teologi Absensia..., hlm. 132-134.

[20] Haryo Tejo Bawono, Teologi Absensia..., hlm. 164.

Sumber

 Al-Fayyadl, Muhammad. Derrida. Yogyakarta: LKiS, 2005. 

Bawono, Haryo Tejo. Teologi Absensia: Sebuah Wacana Teologiko-Filosofis dan Filosofiko-Teologis, suatu Kecenderungan Lintas Batas Khas Postmodern. Jakarta: Obor, 2013. 

Dister, Nico Syukur. Pengantar Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 1991. 

Griffin, David Ray. Visi-visi Postmodern: Spiritualitas dan Masyarakat. Yogyakarta: Kanisius, 2005. 

Singgih, Emanuel Gerrit. Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-pemikiran Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia. Yogyakara: BPK & Kanisius, 2000. 

Sugiharto, I. Bambang. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius,1996. 

Tedjoworo, H. Imaji dan Imajinasi: Suatu Telaah Filsafat Postmodern. Yogyakarta: Kanisius, 2001.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun