Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Menduga Faktor Penyebab Arsenal Mengawali Musim 2021 dengan Buruk

23 Agustus 2021   09:02 Diperbarui: 23 Agustus 2021   18:16 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Romelu Lukaku dkk. menundukkan Arsenal di Emirates Stadium di pekan kedua Premier League 2021/22 (22/8). Sumber: AFP/Justin Tallis/via Tribunnews.com

Biasanya, ketika ada momen pergantian tahun atau ada hari raya, kita akan berharap ada peralihan momentum, dari yang buruk menjadi baik. Dan, ketika sudah baik, harapannya dapat bertahan, atau dapat lebih baik lagi.

Harapan seperti itu juga berlaku dalam olahraga dan terutama sepak bola. Termasuk pada Arsenal dan penggemarnya.

Mereka untuk pertama kalinya harus mengakhiri musim tanpa berlaga di kompetisi Eropa, yaitu pada musim 2020/21. Suatu pencapaian yang jauh lebih buruk dari raihan terakhir Arsenal di masa Arsene Wenger dan saat Arsenal dilatih Unai Emery.

Minimal, mereka masih bermain di Eropa sekalipun itu adalah Liga Europa, alias UEL. Meskipun tetap mendapatkan cibiran di media sosial, itu rupanya masih lebih baik dari pencapaian Arsenal musim lalu.

Pada musim itu, Arsenal yang kemudian dilatih Mikel Arteta sejak pertengahan musim 2019/20, secara satu musim penuh malah mengakhiri musim pada posisi ke-8 sekaligus tanpa meraih trofi apa pun. Ini sebenarnya hampir serupa dengan musim 2019/20 yang membuat mereka harus berjuang keras untuk menjuarai Piala FA agar mendapatkan tiket ke UEL.

Nahasnya, di UEL pun mereka harus puas sampai ke semifinal. Semakin nahas, ketika kegagalan melaju ke final karena dikalahkan Villarreal yang sedang dilatih Unai Emery.

Uniknya, Villarreal pun keluar sebagai juara setelah mengalahkan Manchester United. Sungguh kemalangan yang berlipat-lipat bagi Arsenal, karena melihat Emery ternyata masih merupakan raja Liga Malam Jumat. Sesuatu yang awalnya sempat menjadi harapan realistis bagi Arsenal saat kedatangan Emery.

Emery kembali merengkuh gelar Liga Europa yang keempatnya sebagai pelatih. Sumber: AP/Michael Sohn via Detik.com
Emery kembali merengkuh gelar Liga Europa yang keempatnya sebagai pelatih. Sumber: AP/Michael Sohn via Detik.com

Kegagalan di UEL bisa dikatakan menjadi pukulan telak, karena di Premier League pun Arsenal gagal bersaing dengan rival beratnya dalam beberapa musim terakhir, Tottenham Hotspur. Spurs berhasil mengamankan tiket terakhir ke Eropa walau bukan UEL, melainkan Liga Konferensi Eropa.

Itu adalah liga baru yang dibentuk UEFA dan berlaku sejak 2021/22. Tujuannya dapat membuka kesempatan lebih terbuka bagi klub dari liga-liga kelas menengah-bawah untuk berpartisipasi di kancah Eropa. Bertambahnya kompetisi Eropa di level klub juga membuat ada tambahan slot bagi klub-klub yang mulai kesulitan bersaing di papan atas klasemen seperti Arsenal dan Spurs.

Namun, harapan tidak jarang terkhianati oleh kenyataan. Arsenal pun gagal berpentas di Eropa musim 2021/22.

Meski begitu, setiap musibah selalu berusaha ditanggapi dengan pikiran positif, yaitu berharap bahwa adanya peralihan waktu, maka ada perubahan tren dari buruk menjadi baik. Itu juga yang diharapkan Arsenal di musim yang hanya fokus di kompetisi domestik.

Biasanya, klub besar atau yang punya sejarah besar--seperti Arsenal--yang gagal pentas di Eropa akan berusaha tampil beringas di liga karena mereka pasti sudah tahu prioritasnya apa. Tidak ada upaya terbaik selain harus mengakhiri musim untuk dapat bermain lagi di Eropa.

Namun, sekali lagi, harapan masihlah harapan. Karena, pada kenyataannya, Arsenal justru mengawali musim 2021/22 dengan dua kekalahan beruntun.

Kekalahannya pun dengan skor identik, 2-0 dan 0-2. Kekalahan pertama saat bertandang ke markas klub promosi, Brentford (14/8). Kekalahan kedua adalah di kandang dengan lawan yang merupakan calon kuat pemburu gelar EPL musim ini, Chelsea.

Memang, kekalahan dari Chelsea bisa sedikit dimaafkan, namun kekalahan dari Brentford bisa dikatakan sulit diterima dengan lapang dada. Faktor kualitas individual dan kolektif yang jomplang antar kedua tim, serta pengalaman tampil di level tertinggi yang juga berbeda jauh, membuat Arsenal seharusnya tidak mungkin kalah.

Arsenal harus kalah dari Brentford (14/8). Sumber: Action Images via Reuters
Arsenal harus kalah dari Brentford (14/8). Sumber: Action Images via Reuters

Tetapi, ada beberapa hal yang membuat Arsenal bisa kalah. Pertama, karena mereka bermain tanpa pemain andalan, terutama di lini depan. Saat Arsenal meladeni Brentford, mereka tanpa Pierre-Emerick Aubameyang dan Alexandre Lacazette.

Arteta mengandalkan Folarin Balogun sebagai penyerang tengah yang biasanya ditempati Lacazette, dan Gabriel Martinelli sebagai penyerang sayap kiri yang biasanya ditempati Aubameyang. Apakah ini kesalahan Arteta?

Sebenarnya, tidak juga. Apa yang dilakukan Arteta bukan hal aneh. Tidak sedikit klub yang memang belum memainkan semua pemain terbaiknya di awal musim.

Ditambah, lawannya juga bukanlah klub sekuat Chelsea. Ada prediksi yang logis dan umum terjadi, bahwa klub yang akan melawan klub besar biasanya akan mencoba melakukan rotasi di laga sebelumnya agar pemain terbaik dapat bermain saat melawan klub besar tersebut.

Hanya saja, Arteta melakukan rotasi seperti tanpa memberikan peringatan, bahwa lawan yang dihadapi adalah tim yang berpotensi meledakkan semangatnya di laga tersebut. Ditambah, laga itu digelar di kandang tim tersebut, maka motivasinya akan naik berkali lipat.

Manajer Brentford, T. Frank merayakan kemenangan perdana sebagai tim promosi di Premier League bersama suporter. Sumber: Action Images via Reuters
Manajer Brentford, T. Frank merayakan kemenangan perdana sebagai tim promosi di Premier League bersama suporter. Sumber: Action Images via Reuters

Itulah yang menjadi faktor kedua yang membuat Arsenal harus kalah secara mengejutkan melawan Brentford. Kekalahan itu juga yang membuat sikap pesimis menguat ketika calon lawan berikutnya adalah Chelsea yang sudah jelas berada di atas kualitas Brentford, bahkan kualitas Arsenal.

Faktor ketiga adalah strategi permainan. Hampir sudah bukan hal baru lagi, bahwa klub yang memenangkan pertandingan adalah mereka yang "tidak perlu" menguasai banyak bola.

Selama sebuah tim tahu cara untuk membangun serangan secara efektif dan dapat membuat peluang yang akurat, maka gol bisa tercipta. Dan, itu sudah bisa menjadi modal untuk memenangkan pertandingan.

Apa yang dilakukan Brentford hampir tidak berbeda jauh dengan apa yang dilakukan Spurs saat menjamu Manchester City (15/8). Hugo Lloris dkk. bermain dengan pragmatis yang artinya membiarkan tim asuhan Pep Guardiola rakus dalam menguasai bola.

Meski begitu, dalam hal membangun serangan, Spurs tidak kalah jago. Mereka bisa memanfaatkan celah yang ada di pertahanan Man. City atau pun memanfaatkan keterlambatan transisi lawan dari menyerang ke bertahan.

Uniknya, walaupun Spurs berganti manajer, tetap saja manajernya asal Portugal. Negara yang para pelatihnya cenderung identik memainkan sepak bola pragmatis ketika melawan tim yang lebih diunggulkan untuk menang.

Baca juga: Suka Timnas Apa karena Suka Liganya?

Jika sudah begitu, maka apa yang dialami Arsenal sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Banyak tim yang memang dapat menguasai bola dengan persentase yang sangat dominan tetapi kalah.

Hanya saja, yang menjadi permasalahan pelik adalah kemampuan mencetak gol yang masih belum terlihat ada tanda-tanda perbaikan dari musim lalu. Ini yang menjadi faktor keempat dari kekalahan Arsenal di laga pertama dan nahasnya masih dilanjutkan di laga kedua.

Aubameyang yang awalnya sangat produktif dan menjadi tumpuan utama Arsenal dalam mendulang gol, kemudian melempem di musim 2020/21. Tidak hanya karena sejak perpanjangan kontrak, Aubameyang terlihat kurang termotivasi, melainkan bisa saja karena tim mungkin mencoba mengubah gaya bermain demi menangkal kritik publik tentang ketergantungan kepada Auba.

Hanya saja, indikasi adanya perubahan pendekatan dalam permainan itu sepertinya membuat gaya main Aubameyang berubah. Sekalipun posisi bermainnya tidak berbeda dengan saat dia pertama kali bermain di Arsenal, termasuk menjadi top skor di musim 2018/19, tetapi gaya bermainnya berubah.

Top skor bersama di musim 2018/19 dengan raihan 22 gol. Sumber: via Premierleague.com
Top skor bersama di musim 2018/19 dengan raihan 22 gol. Sumber: via Premierleague.com

Dia yang awalnya seperti tetap bertahan di garis kedua setelah pemain terdepan Arsenal mengisi kotak penalti, kini mencoba untuk ada di dalam kotak penalti sesering mungkin. Memang, secara logika dasar, makin sering ada di dalam kotak penalti, maka peluang mencetak gol akan besar.

Tetapi, kita tentu harus ingat bahwa gol-gol Aubameyang juga tidak sedikit yang dicetak dari luar kotak penalti. Artinya, Aubameyang justru akan sangat berbahaya ketika dia terlepas dari penjagaan atau pengawasan bek tengah lawan.

Namun, sejak ada kritik terkait 'ketergantungan Auba', lalu ada kritik terhadap Nicolas Pepe yang kemudian si pemain bersangkutan berusaha tampil sangat eksplosif, itu membuat Aubameyang juga seperti tidak jelas. Apakah dirinya masih menjadi sasaran bola akhir dari rekannya atau bukan.

Hal itu kemudian "diperparah" dengan usaha Arteta untuk menaruh kepercayaan kepada pemain muda. Memang bagus, karena itu juga untuk prospek masa depan tim, tetapi dengan ada sosok yang berpengalaman seperti Auba dan Lacazette, apakah tepat kalau menyia-nyiakan mereka?

Apa yang dilakukan Arteta saat ini memang bisa juga disebut tepat, mengingat Arsenal memang sedang mempunyai banyak pemain muda yang berpotensi besar. Dua diantaranya adalah Bukayo Saka dan Emile Smith Rowe.

Nama terakhir bahkan dituruti keinginannya untuk mengenakan nomor punggung 10. Nomor yang sangat khas untuk menggambarkan pemain penting klub.

Rowe (kanan) menjadi andalan di lini tengah Arsenal dalam dua laga awal musim ini. Sumber: Action Images via Reuters
Rowe (kanan) menjadi andalan di lini tengah Arsenal dalam dua laga awal musim ini. Sumber: Action Images via Reuters

Artinya, Rowe berusaha didukung terutama dalam hal membangun kepercayaan diri dan keyakinannya bahwa klub yang dia bela memang masih menaruh harapan kepadanya. Tetapi, di sisi lain, ini juga menjadi dilematis, apakah Arsenal siap bergantung kepada pemain muda untuk dapat bersaing di papan atas EPL?

Pertanyaan itu yang kemudian juga makin menguat ketika melakoni laga kedua melawan Chelsea di Emirates Stadium (22/8). Di laga ini, Arsenal harus mengakui keunggulan taktik dan kualitas skuad berdasarkan kombinasi pemain berpengalaman di derbi London dengan pemain muda dan pemain yang masih belum lama di EPL, seperti Kai Havertz, Timo Werner, Hakim Ziyech, hingga Edouard Mendy.

Bahkan, Chelsea juga ketambahan amunisi baru yang sangat berpengalaman bermain di EPL, Romelu Lukaku. Pemain inilah yang juga menjadi faktor pengejut dan penyulit asa Arsenal untuk menjawab keraguan publik di laga besar ini.

Gol Lukaku di debut periode keduanya bersama Chelsea. Sumber: Reuters
Gol Lukaku di debut periode keduanya bersama Chelsea. Sumber: Reuters

Golnya adalah pembuka keunggulan Chelsea yang kemudian seperti memberi tahu tentang apa kelemahan Arsenal di laga tersebut. Inilah yang kemudian melahirkan gol kedua yang dicetak Reece James dengan skema hampir mirip, yaitu pertahanan sisi kiri Arsenal kosong dan dapat dimasuki oleh James.

Lewat kekalahan beruntun di dua laga awal musim ini, Arsenal harus terdampar sementara di zona degradasi. Peluang mereka untuk segera menjauh dari zona itu sepertinya sulit, karena di pekan ketiga, mereka akan kembali menghadapi klub besar lainnya, Manchester City (28/8).

Artinya, jika Arsenal musim ini harus mengalami awalan yang buruk, itu tidak hanya karena faktor internalnya yang bermasalah. Faktor eksternal pun bisa disebut hadir untuk memperparah keadaan.

Arsenal harus menghadapi dua laga sulit secara beruntun dengan melewatkan kesempatan membangun mentalitas yang baik di laga pembuka. Inilah yang kemudian membuat ada masalah baru yang digemakan, yaitu pergantian manajer.

Apakah rentetan kekalahan Arsenal dalam dua laga awal musim ini murni karena Arteta? Sumber: Reuters
Apakah rentetan kekalahan Arsenal dalam dua laga awal musim ini murni karena Arteta? Sumber: Reuters

Jika berkaca pada Unai Emery yang nyatanya bisa kembali berprestasi di luar Arsenal, maka ada kemungkinan bahwa faktor yang membuat Arsenal sulit kembali menjadi tim tangguh di Inggris bukan hanya karena manajernya, tetapi yang lain juga.

Mengenai apa faktor yang lain itu, kita sulit mengetahuinya secara pasti. Hanya saja, kita bisa memprediksi bahwa seandainya ada manajer baru yang datang ke Emirates Stadium, dia juga akan menghadapi masalah yang sama.

Masalah yang mungkin akan selalu muncul pasca musim pertama tim berjuluk The Gunners ini bersama manajernya. Jika seandainya yang akan menghadapinya adalah Antonio Conte--berdasarkan isu yang sudah beredar, apakah dia dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dan memecahkan kebuntuan Arsenal untuk berprestasi?

Nama Conte pun disebut jurnalis terkenal, Piers Morgan lewat cuitannya. Sumber: Google/Twitter/Search: Arteta
Nama Conte pun disebut jurnalis terkenal, Piers Morgan lewat cuitannya. Sumber: Google/Twitter/Search: Arteta

Malang, 22-23 Agustus 2021
Deddy Husein S.

Terkait: Detik.com 1, Detik.com 2, Bola.net 1, Okezone.com, Detik.com 3, Goal.com, Kompas.com 1, Kompas.com 2, Bola.net 2, Viva.co.id.
Baca juga: Wembley Bagai Rumah Kedua Arsenal
Tersemat: Uefa.com, Bola.net, Panditfootball.com, Detik.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun