Kalau orang berisik, respon yang dibutuhkan adalah yang memperbesar gelora tentang topik pembicaraan. Bahkan, walaupun respon itu seperti hanya untuk menyenangkan dirinya, itu tidak masalah.
Selama dia merasa senang, "it's okay brother"!
Kira-kira, itulah yang saya ketahui tentang perbedaan cerewet dengan berisik. Orang cerewet masih perlu melihat momen, sedangkan orang berisik lebih memperhatikan kesenangan.
Itu yang kemudian saya tarik ke dalam pembahasan tentang pencitraan diri (personal branding) sebagai penyuka sepak bola. Sebagai orang yang menyukai sepak bola, saya tentu juga pernah berada di fase euforia terkait sepak bola.
Dulu, sewaktu masih sekolah, tiada hari tanpa membicarakan sepak bola dengan teman. Sedari SD kelas 4, kemudian SMP, hingga SMA yang sudah ditunjang dengan keberadaan media sosial seperti Facebook dan Twitter.
Waktu itu juga ada Google+. Di situ, saya bisa melihat unggahan lebih lengkap tentang sepak bola dibandingkan dua media sosial bewarna biru tersebut.
Namun, soal keaktifan, Facebook pernah menjadi ladang saya untuk membahas apa saja terkait sepak bola. Bahkan, saya pernah menjadi admin Fans page (Halaman) kelompok penyuka klub sepak bola.
Bahkan, cukup sering, saya harus ke warnet minimal 1 jam untuk dapat meng-update berita di Halaman tersebut. Di masa itulah, saya merasa sangat senang, karena dapat menemukan hal yang disukai ketika membuka media sosial dan berinteraksi dengan orang-orang yang kesukaannya sama.
Ketika hal itu terjadi, saya tidak pernah berpikir bahwa saya adalah orang yang berisik di media sosial. Suatu alter-ego yang tentunya sangat berseberangan dengan di kehidupan nyata, karena saya cenderung hening, alias tidak banyak bicara atau membangun interaksi.
Apa yang saya alami masa sekolah kemudian masih bisa disebut bertahan setelah beberapa tahun lulus sekolah. Hanya objek pembicaraannya yang berbeda.