Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Perpres Minuman Beralkohol, Politik Serba Salah atau Pengujian Demokrasi?

6 Maret 2021   14:54 Diperbarui: 6 Maret 2021   17:00 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi minuman beralkohol. Gambar: Shutterstock via Kompas.com

Hari ini Wagituh bilang, "Di antara beribu bintang di langit, hanya satu yang bersinar terang, yaitu kamu. Kamu laksana bintang yang menerangi malamnya hatiku, Waginih." Waginih langsung klepek-klepek menerima ungkapan cinta Wagituh.

Namun nahas, setelah merayakan "anniversary 1 bulan"--menurut unggahan story-liter di akun Wagituh, hubungan pasangan GiGi ini kandas. Penyebabnya, si Wagituh sudah tidak lagi menggombal indah seperti sebulan lalu.

Hari ini Wagituh bilang lagi, "Di antara semua padang rumput yang kulihat, hanya satu yang menguning dan mengering, yaitu kamu. Kamu laksana padang rumput yang kering dan berisik ketika diterpa angin sore. Maaf, Waginih. Sepertinya, aku gagal membuatmu bahagia. Dan, kamu terlalu baik untukku."

Gubrak!

Pembaca mungkin mengira saya sedang mengantuk saat menulis ini, karena tiga paragraf awal seperti tidak sinkron dengan judul. Judulnya berbau politik dan pemerintahan, tapi paragraf pembukanya malah berbau menye-menye. Jadul pula gombalan si Wagituh.

Tenang, saya tidak mengantuk saat menulis ini. Saya justru menganggap tiga paragraf pembuka itu sinkron dengan apa yang sedang terjadi di ranah pemerintahan kita saat ini.

Laksana membaca ocehan si Wagituh, saya membaca berita tentang (lampiran) peraturan presiden terkait legalitas investasi minuman beralkohol alias minuman keras (miras) di Indonesia juga seperti itu. 

Misalnya, hari ini keluar berita menyangkut legalitas miras, tetapi beberapa hari kemudian keluar berita yang menyatakan bahwa keputusan itu dicabut.

Kok bisa?

Bisa. Buktinya, itulah yang terjadi.

Berdasarkan dua keputusan yang bertolak belakang antara "hari ini" dan "besok", masyarakat mulai gerah. Ada yang menganggap pemerintah tidak berpendirian, dan ada pula yang menganggap keputusan itu lebih baik, serta mencerminkan bahwa pemerintah insaf.

Lalu, bagaimana menurut saya?

Sebenarnya, apa pun kebijakan pemerintah, sebaiknya perlu dikaji. Pengkajian itu perlu mempertemukan pihak pro dan kontra. Kedua belah pihak wajib memberikan pendapatnya secara kontekstual, komprehensif, dan bertanggung jawab.

Artinya, ketika menanggapi kebijakan pemerintah, seharusnya tidak asal buat status, cuitan, dan story. Menanggapi kebijakan pemerintah sebaiknya dengan pemikiran, alias rasionalitas. Soal apakah dangkal atau dalam, itu bukan masalah besar, selama berani dipertanggungjawabkan.

Permasalahannya, terkadang orang menanggapi kebijakan pemerintah hanya lewat unggahan di media sosial yang selayaknya curhat tentang "malam minggu selalu hujan". Apalagi, yang melakukannya kadang figur-figur yang memiliki pengikut banyak di akun medsosnya.

Asumsi selayang pandang itu akhirnya menyebar, dan bahkan menjadi rujukan untuk berasumsi pula di ranah privat. Misalnya, di grup obrolan keluarga.

Ini seperti yang terjadi dalam menanggapi keberadaan UU Cipta Kerja beberapa waktu lalu. Baik yang pro dan kontra hanya berperang argumen lewat akun medsos, tanpa ada sematan tulisan komprehensif berupa artikel yang mendukung dan dapat dipertanggungjawabkan.

Akhirnya, yang terjadi adalah perang kata-kata secara online. Itu jelas tidak produktif dalam membangun tanggapan terkait kebijakan pemerintah.

Menariknya, saya menangkap 'kengenesan' ini seperti diuji oleh pemerintah. Pemerintah dengan kepala negaranya rajin mengeluarkan kebijakan, yang uniknya kadang berubah-ubah.

Seperti yang sudah saya singgung di awal, dan itu juga terjadi kali ini, khususnya dalam hal peraturan investasi miras di Indonesia. Pemerintah awalnya membuat kebijakan itu dengan catatan "mengistimewakan" beberapa daerah.

Kebijakan itu kemudian menuai beragam tanggapan, yang secara selayang pandang saya lebih banyak menemukan tanggapan yang kontra daripada yang pro. Seketika, tidak sedikit orang menjadi "ahli agama" online, hanya untuk menolak kebijakan tersebut.

Saya ada di mana?

Saya ada di tempat duduk dan pernah bersama orang-orang yang pernah menenggak miras. Saya berpikir bahwa kita duduk bersama dengan minuman masing-masing. Minuman saya belum tentu harus saya bagi ke orang lain, begitu juga sebaliknya, saya belum tentu butuh minuman orang lain.

Atas dasar itu, saya tidak menolak kebijakan itu, sekalipun saya juga tidak menerima kebijakan itu. Kenapa?

Karena, setahu saya tanpa kebijakan itu, minuman beralkohol tetap beredar tidak jauh dari tempat saya duduk. Mereka yang menenggak juga bisa dikatakan "lupa" agamanya apa. Jadi, kenapa minuman beralkohol harus menjadi investasi terbuka (dilegalkan)?

Apakah berarti kalau dilegalkan, harganya semakin terjangkau? Apakah kemudian semua orang berpesta miras, karena negara tidak melarang?

Dari sini, saya mulai berpikir bahwa yang punya pendirian kuat atau lemah itu siapa? Pemerintah atau masyarakat?

Seseorang yang punya pendirian, sekalipun digoda dengan apa pun akan tetap bergeming. Coba tengok film "TENET" (2020). Di sana kita akan tahu kalau seseorang bisa terpilih karena punya pendirian, sekalipun itu tidak menguntungkannya.

Artinya, pendirian itu bukan hanya skala besar, tetapi juga pada skala kecil. Individu-individu yang punya pendirian pasti tidak akan goyah dengan miras yang dilegalkan pemerintah.

Mereka juga punya cara untuk menyelamatkan diri kalau memang mulai tidak nyaman dengan situasi yang memaksa mereka untuk menyentuh miras. Caranya adalah pergi dan menjauh. Bahkan, jika itu harus memutus tali pertemanan.

Teman adalah teman, prinsip adalah prinsip. Tidak bisa selamanya dibaurkan.

Itulah kenapa, ketika saya melihat pemerintah tidak ajek terhadap kebijakannya, justru itu membuat saya berpikir, bahwa jangan-jangan ini adalah pengujian terkait demokrasi di dalam pemerintahan Indonesia. Pemerintah ingin melibatkan aspirasi masyarakat untuk membuat kebijakan di dalam negara, sekalipun harus mengubah-ubah keputusan.

Jika memang itu yang diinginkan, sebenarnya ada cara yang lebih elegan dalam mengajak masyarakat untuk berpartisipasi di dalam pembuatan kebijakan. Cara itu adalah membuatkan rancangan undang-undang atau peraturan yang diterbitkan secara berkala.

Artinya, penyebaran naskah rancangan itu tidak dalam bentuk halaman yang super banyak, melainkan diangsur. Seperti membuat naskah cerita berseri yang ada episodenya dan diunggah tiap hari tertentu dalam rentang waktu sebelum agenda rapat pemutusan akhir kebijakan.

Dengan begitu, semua rancangan undang-undang/peraturan akan terbaca dan dapat pula dikaji secara berkelanjutan di segala forum. Bahkan, juga bisa menjadi bahan obrolan saat ngopi. Daripada ngomongin yang tidak bermutu, lebih baik membahas naskah tersebut.

Jika langkah itu dilakukan, maka semua orang akan melek dan paham terkait isi segala peraturan yang hendak ditetapkan pemerintah. Pemerintah pun tidak akan membuang berkas-berkas yang sudah telanjur ditandatangani dan dipidatokan.

Cara itu juga akan membuat tidak ada lagi pola kerja pemerintah dan masyarakat yang plin-plan. Saya sebut juga masyarakat, karena saat kebijakan legalitas miras ditarik, masyarakat kemudian mulai menjadi "ahli kebudayaan".

Masyarakat mulai menyuarakan tentang nilai-nilai makanan atau minuman yang mengandung alkohol namun masih diizinkan beredar, karena berkaitan dengan kearifan lokal. La, kemarin ke mana saja?

Mengapa baru muncul sekarang? Atau, mengapa kemarin suaranya kalah tinggi dengan yang menjadi "ahli agama"?

Jangan-jangan pemerintah plin-plan terhadap kebijakannya bukan hanya karena mereka yang plin-plan, tetapi karena kekuatan aspirasi masyarakat yang juga berubah-ubah. Atau, bisa dikatakan aspirasi tersebut berganti-ganti asalnya karena menyesuaikan nilai keuntungan pada masyarakat.

Artinya, saya khawatir, kalau arogansi pemerintah juga dilawan oleh arogansi masyarakat, dan itu membuat Indonesia selamanya berada di siklus maju-mundur. Tidak ada kejelasan mau ke mana negara ini melangkah.

Ketidakjelasan ini kemudian membuat saya melihat praktik politik yang diterapkan pemerintah seperti politik serba salah. Membuat "acara" A dicibir, membuat "acara" B juga dicibir. Lalu, "acara" apa yang tidak akan dicibir?

Mungkin, Wagituh bisa menjawabnya.

Malang, 5 Maret 2021
Deddy Husein S.

Catatan: Wagituh dan Waginih (duo GiGi) hanya nama tokoh rekaan, bukan kesengajaan untuk menyinggung orang yang (mungkin) memiliki nama tersebut. Terima kasih.

Terkait: RUU Larangan Minuman Beralkohol, Presiden RI Legalkan Minuman Beralkohol, Pencabutan Lampiran dalam Perpres No. 10 Tahun 2021, Pro dan Kontra, Peraturan Minuman Beralkohol Perlu Dikaji, Perlu Ruang Publik Sebelum Muncul Kebijakan Sensitif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun