Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anak Super Bandel pun akan Mengingat Pesan Ibunya

30 November 2020   05:52 Diperbarui: 28 April 2021   17:14 2453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kasih sayang ibu ke anaknya. Gambar: Pexels/Rose Dudley

"... hidup itu perlu seimbang antara kesenangan dan kesejahteraan."

Tulisan ini sangat berkaitan erat dengan hidup saya. Lahir di tempat yang pernah berkonflik hebat, lalu tumbuh dan berkembang di tempat yang penuh teka-teki tentang masa depan.

Saya sedari kecil susah diatur. Uniknya tubuh saya juga demikian. Misalnya, dalam hal makanan, dulu saya punya alergi.

Setiap habis makan sesuatu yang menyebabkan alergi, sudah pasti malamnya akan sakit sampai beberapa hari baru sembuh. Hal itu terus terjadi, dan juga semakin sering muncul ketika saya berpindah tempat.

Nahasnya, saya pernah hidup tanpa pengasuhan ibu. Saat itulah, saya merasakan perbedaan antara diasuh ibu dengan bukan ibu.

Ketika bersama ibu, saya sangat diajarkan untuk disiplin terkait makanan. Kalau tidak boleh, ya tidak boleh.

Ini yang berbeda jika saya diasuh orang yang berbeda. Mereka cenderung lebih bisa berkompromi. "Halah, sethithik ae. Iki malah dadi tombo." (halah, -cuma- sedikit saja. Ini malah jadi obat)

Begitu yang sering saya dengar ketika saya mengonsumsi makanan yang ada kemungkinan membuat saya sakit. Namun, hal ini juga bukan tanpa sebab.

Ketika hidup dengan ibu, saya memiliki makanan khusus atau alternatif. Hal ini juga cukup ditunjang dengan keadaan ekonomi yang berkecukupan kala itu.

Namun, hal itu berbeda ketika saya diasuh tanpa ibu. Makananannya jarang ada alternatif. Bisanya memasak itu di hari itu, saya pasti makan itu.

Di sisi lainnya lagi, saya juga sudah susah diatur. Karena, saya mudah bosan dengan menu yang sama, juga cenderung ingin mencicipi makanan yang orang lain bisa makan.

Berhubung tidak ada yang bisa mengontrol saya, maka "kecelakaan" pun sering terjadi. Bahkan, sampai sekolah dasar (SD), saya masih sering sakit dan pasti menghabiskan 'kuota' izin sakit 3 hari.

Ilustrasi anak sakit. Gambar: Shutterstock via Tribunnews.com
Ilustrasi anak sakit. Gambar: Shutterstock via Tribunnews.com
Rekor sakit paling singkat saya adalah seminggu. Dan, sebagian besar karena kelalaian dalam makan dan tentunya akibat sering memforsir tenaga berlebih untuk bermain di luar kampung.

Ketika sudah SD, saya kembali mendapatkan asuhan dari ibu. Hal lain yang saya dapatkan di sini adalah tentang pendidikan.

Ilustrasi ibu menemani anak belajar di rumah. Gambar: Pexels/Julia M Cameron
Ilustrasi ibu menemani anak belajar di rumah. Gambar: Pexels/Julia M Cameron
Ibu saya tidak hanya peduli dengan kesehatan saya, tapi juga tentang kemampuan saya di sekolah. Memang, urusan membaca saya sudah jago. Karena, sudah berlatih membaca sejak sebelum sekolah, dan salah satu andil besarnya adalah komik-komik yang saya baca waktu itu.

Alhasil, saya bisa disebut sebagai alumni 'membaca komik', daripada alumni 'Ini Budi'. Namun, saat pertumbuhan saya sedikit out of the box, maka ada pula hal lain yang sedikit kurang diperhatikan, yaitu kemampuan berhitung.

Untuk level penjumlahan dan pengurangan, saya memang sudah lancar. Tetapi, bagaimana dengan perkalian dan pembagian?

Saya ternyata sangat keteteran di situ. Ibu saya akhirnya membeli buku tentang berlatih matematika. Bagi generasi SD 2000-an, pasti tahu bukunya seperti apa--kertasnya saat itu berbahan kertas karton berwarna.

Lewat media itu saya selalu diberi target. Saya harus hafal 1-2 kotak sehari. Maksudnya, saya harus hafal perkalian 1x1, 2x1, s/d 10x1 yang dihitung ke dalam satu kotak. Jika ternyata mudah/cepat hafal, maka segera dilanjut ke kotak kedua yang berisi 1x2, 2x2, s/d 10x2.

Praktik itu terus dilakukan sampai yang tersulit. Termasuk pembagian. Ini juga bisa dikatakan penuh trik, karena bisa disebut mudah--tinggal membalikkan logika perkalian, juga bisa disebut sulit kalau tidak tahu triknya.

Selama proses itu, saya sangat tertekan. Beruntung, saya tidak mendapatkan hukuman berat. Hanya tentang mentalitas saja yang terganggu.

Namun, kedisiplinan dan pengawalan proses itu membuat saya terkadang (merasa) satu garis di depan teman sekelas. Walau demikian, tetap saja, saya lebih membanggakan kemampuan membaca saya, dibandingkan berhitung.

Setelah makanan dan pendidikan, maka saya juga punya kaitan erat dengan ibu terkait hobi. Saya menyukai banyak hal. Seperti, membaca komik/majalah, mendengarkan musik, bahkan sempat suka menggambar, hingga tentunya saya sangat suka bermain bola.

Ilustrasi ibu yang mengajari anaknya membaca. Gambar: Pexels/Lina Kivaka
Ilustrasi ibu yang mengajari anaknya membaca. Gambar: Pexels/Lina Kivaka
Tentang hobi membaca, saya jelas diwarisi oleh ibu. Bahkan banyak bacaan yang menempel di kepala saya karena bacaan dari ibu. Tetapi, dalam hal ini ibu saya juga menerapkan kontrol.

Jika bacaannya masih belum boleh saya baca, maka bacaan itu akan disembunyikan. Sekali-sekali memang saya tetap mencoba membacanya--di luar sepengetahuan ibu. Tetapi, seiring berjalannya waktu, saya sangat menghargai upaya itu.

Artinya, meskipun membaca itu bagus, bahkan dianggap lebih bagus daripada bermain game, tetap saja membaca itu adalah hobi. Jika sudah menjadi hobi, maka aktivitas membaca pun sama seperti game, akan ada dampak positif dan negatifnya.

Itulah mengapa, perlu ada kontrol. Hal ini pula yang diterapkan ketika saya ternyata suka dengan sepak bola.

Hampir semua anak laki-laki suka bermain bola. Gambar: Pexels/Gustavo Fring
Hampir semua anak laki-laki suka bermain bola. Gambar: Pexels/Gustavo Fring
Ibu saya sebenarnya tidak jarang menceritakan tentang sepak bola. Seperti yang pernah saya tulis, bahwa ibu juga yang memperdengarkan nama Diego Maradona ke saya.

Bahkan, ketika saya sudah SMP dan mulai sering menonton siaran bola. Ibu juga menemani saya menonton, khususnya kalau Persija bertanding. Di sana ada Bambang Pamungkas yang menjadi pilihan pemain yang ia sukai.

Artinya, dalam hal bola pun saya juga tidak lepas dari peran ibu. Tetapi, ibu juga memiliki kesan yang sangat membatasi keinginan saya untuk semakin dekat dengan sepak bola.

Dulu saya menganggap bahwa sepak bola adalah jalan saya. Saya suka bermain bola sebelum petang menyipit. Saya juga beranggapan bahwa menjadi pesepak bola akan sangat menyenangkan.

Tetapi, pada kenyataannya tidak demikian. Meski nyaris semua pesepak bola berangkat dari gairah dan kegemaran, tetapi pada akhirnya tidak ada hobi yang dibayar. Pembayaran itu muncul karena profesionalitas, alias bukan hobi semata.

Seiring berjalannya waktu, saya kemudian sepakat dengan pemikiran ibu, bahwa hobi dan masa depan adalah suatu hal yang berbeda. Jikalau sama, itu tidak lepas dari pembauran antara kerja keras dan kedisiplinan.

Mereka yang berhasil menjadi pesepak bola profesional, sebagian besar karena itu. Bukan hanya karena merasa senang saja.

Selain itu, saya juga beruntung memiliki banyak hobi pada masa kecil. Itu yang membuat saya tidak takut kehilangan satu hobi untuk mengembangkan hobi yang lain.

Hobi memang seharusnya dirawat, karena hidup itu harus ada rasa senang, nyaman, dan nikmat. Hobilah yang paling banyak memberikan medianya.

Tetapi, kita hidup juga harus realistis. Perlu ada uang untuk makan, untuk membeli pakaian, sampai membangun rumah--termasuk rumah tangga, dan lain-lain. Artinya, kalau hobi itu belum menemukan situasi yang menguntungkan secara finansial, maka pisahkan hobi dengan misi mencari kesejahteraan.

Berdasarkan itulah, saya yang sebenarnya sering mendapatkan omelan akibat tingkah-polah saya yang semaunya sendiri, akhirnya menjadi maklum dan menghargai upaya yang dilakukan ibu saya waktu itu. Bahkan, apa yang ia tanamkan ke saya akan selalu saya ingat, dan berharap dapat mempraktikkannya dalam hidup.

Jadi, melalui tulisan ini saya hanya ingin menggambarkan tentang peran ibu, yaitu sebagai pengontrol dan pengingat kepada anaknya, bahwa hidup itu perlu seimbang antara kesenangan dan kesejahteraan. Dan, dua hal itu baru bisa sejalan jika kita melakukan segalanya dengan disiplin, alias penuh kontrol, dan secara bertahap melalui setiap prosesnya.

"Terima kasih ibu, engkau adalah sekolah pertamaku untuk mengarungi kehidupan yang keras ini. Sehat selalu untukmu."

Saat quality time. Gambar: Dokumentasi Deddy HS
Saat quality time. Gambar: Dokumentasi Deddy HS
~ Malang, 29 November 2020

Deddy Husein S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun