Sebelum bulan bahasa terangkut oleh waktu, saya akan turut menulis tentang 'bahasa ngeblog' yang menjadi pembahasan hangat akhir-akhir ini, khususnya di Kompasiana. Sebagai orang yang sedang berkecimpung di dunia blogging, saya tentu memiliki pengalaman dalam proses kreatif menulis di blog.
Memang, belum banyak. Tetapi, saya pikir perlu untuk saya bagikan. Walaupun, di sisi lain saya yakin telah ada yang mengulas topik serupa di artikel-artikel.
Sebenarnya, tulisan ini juga ada kaitannya dengan obrolan saya bersama teman yang kebetulan punya ketertarikan di bidang tulis-menulis. Ada satu pertanyaan yang ia lontarkan akibat kegalauannya.
"Apa yang membuatku tidak laku?"
Tidak laku itu ia maksudkan dalam konteks produk tulisannya. Ia merasa tulisannya seperti tidak laku.
Hal ini juga ia bandingkan dengan saya yang menurutnya lebih laku dan konsisten menulis. Perlu diketahui, ia sudah mulai menulis di media online sekitar 2016-an.
Sedangkan saya baru Mei 2018. Itu juga masih di blog pribadi. Artinya, saya memulai segalanya dari "tenda sendiri" bukan di "tenda besar" atau malah "aula megah".
Berdasarkan permulaan itu, saya pikir ada faktor-faktor tertentu yang mendorong tulisan saya (sekilas) terlihat progresif dan (dianggap) konsisten serta laku.
Pertama, memulai dari yang sederhana.Â
Sederhana di sini bisa berwujud medianya, bisa juga berwujud pada objek tulisannya. Apa yang dianggap keren bagi orang lain, belum tentu dapat dihasilkan dengan mudah.
Artinya, kita perlu menemukan hal-hal yang sederhana terlebih dahulu agar dapat dengan mudah diwujudkan. Mimpi indah--entah apa--itu menyenangkan, tapi melihat pelangi selepas hujan dengan mata kepala sendiri itu lebih menyenangkan.
Kedua, menyesuaikan ambisi dengan kapabilitas.
Walaupun, misalnya ada orang yang terlihat kurang percaya diri dan kurang bergaul, tetap saja ia pasti punya ambisi. Karena, dengan adanya ambisi, api semangat hidup terus berkobar.
Namun, 'si ambisi' itu juga harus didudukkan bersama 'si kapabilitas'. Mereka harus berkompromi demi menemukan formula apa yang tepat untuk dihasilkan.
Misalnya saya, yang cenderung kurang percaya diri untuk membangun kerja sama dengan orang lain, namun ingin menghasilkan sesuatu. Maka, saya cari bentuk yang dapat saya hasilkan, yaitu tulisan.
Begitu pula dalam hal mengetahui kapabilitas. Ketika merasa belum layak tayang di 'meja prasmanan', maka saya sajikan tulisan saya di 'dapur sendiri'.
Kalau kemudian ada yang mengonsumsinya, maka itu sudah diawali dengan keikhlasan saya untuk memberikannya ke orang lain. Logika ini saya pakai untuk menyiasati kelemahan saya tadi; kurang PD.
Percaya diri itu penting, tapi harus dimodali oleh kompromi antara kapabilitas dengan ambisi.
Ketiga, jangan ragu untuk sesekali ngepop.
Kita hidup tidak selamanya sesuai dengan apa yang tertulis di buku, apalagi buku-buku berfilosofi idealitas. Apakah hidup kita seideal filosofi-filosofi itu?
Mungkin, bagi beberapa orang yang pernah membaca tulisan saya, ada yang menganggap tulisan saya kaku--anggap saja sedang mengidealkan tulisan saya. Atau, ada juga yang menganggap tulisan saya cenderung rumit, padahal objeknya sederhana.
Tetapi dari "kejanggalan" itu, saya sudah menangkap salah satu unsur populer di dalam tulisan saya. Misalnya, menulis tentang bola.
Bagi sebagian orang, menulis tentang bola itu ngepop. Namun, ada juga yang bagi sebagian orang, bola adalah sesuatu yang lebih penting (ideal) daripada konten lain.

Sebenarnya, saya menganggap tulisan tentang bola ada pada situasi 50-50. Tergantung di mana dan kapan saya menulis.
Kalau saya melihat tempat saya dikelilingi oleh konten nonbola, maka saya menganggap bola adalah tulisan ideal saya. Sedangkan tulisan-tulisan nonbola adalah "kekhilafan" saya.
Begitu juga kalau sebagian banyak orang sedang getol menulis tentang bola, maka saya akan mencari bentuk tulisan ideal saya dengan membahas objek lain.
Meskipun terkesan ke kanan dan ke kiri, saya tahu mana yang saya anggap ngepop dan mana yang tidak. Berdasarkan upaya dan pemahaman itu, saya tahu bagaimana cara agar dapat bertahan.
Keempat, memulai langkah dari sistem yang dikenali.
Maksudnya, ketika hendak menulis, mulailah dari apa yang sudah dipahami. Entah, tentang teknik menulisnya, tentang apa yang ditulis, juga tentang di mana tulisan itu akan termuat.

Sebelum menulisnya, jangan ragu untuk mencari tahu dulu tentang Barcelona, Bartomeu, hingga Messi. Pahami dulu tiga unsur itu, baru menuangkannya dalam tulisan.
Melalui cara itu, kita akan tahu seberapa besar pemahaman si penulis. Atau, di bagian mana si penulis memfokuskan tulisannya.
Setiap penulis pasti memiliki fokus berbeda. Bahkan, tidak menutup kemungkinan ada kaitannya dengan sistem kontrol.
Artinya, ketika tulisannya ternyata belum lengkap, maka ada kemungkinan ia sengaja membatasi tulisan tersebut. Atau, memang ia sebenarnya masih belum kenal dengan apa yang ditulis.
Begitu pula dalam hal teknik menulis. Kalau si penulis kenalnya dengan gaya tulisan ala media massa K, maka di tulisannya akan ada representasi sedemikian rupa.
Begitu juga kalau dia cenderung berpatokan pada eksplorasi pemberitaan ala media massa D, maka gaya menulisnya juga cenderung seperti itu.
Apakah, teknik menulis media massa online dengan media online sama?
Sebenarnya, tidak. Tetapi, bisa juga masih ada (sedikit) pengaruhnya. Apalagi, tidak sedikit pula modal dari konten-konten ngeblog berangkat dari media massa.
Namun, saya yakin setiap penulis memiliki pemahaman dan pewujudan yang beragam. Itu juga karena menyesuaikan dengan poin sebelumnya, yaitu kapabilitas.
Sebenarnya jika ditarik secara sederhana, sebelum menulis di media online, alangkah baiknya kita juga mengenali sistem yang berlaku di media online, selain berupaya membawa diri sendiri.
Saya maklum dengan keinginan seseorang untuk menunjukkan "ini aku, bukan kamu". Tetapi, akan lebih baik pula jika mengenali sisi eksternal selain ingin memperkenalkan sisi internal.
Faktor kelima, alias yang terakhir adalah belajar ngeblog itu seumur hidup. Kita bisa cepat mati atau masih mampu bertahan lama karena seberapa panjang kita belajar hidup.
Kalau kita cepat puas, otomatis akan cepat mati. Hal ini memang terasa kasar jika dikorelasikan dengan kehidupan secara utuh.
Tetapi, akan terasa wajar jika diberlakukan dalam proses menulis atau ngeblog. Artinya, dalam hal menulis, kita juga harus menemukan dan mempelajari poin utama yang krusial, yaitu bahasa.

Begitu pula dalam upaya ngeblog. Jika ingin terus bertahan dan laku dalam tulis-menulis di media online, maka kembangkanlah tata bahasanya.
Entah, dari yang kaku menjadi luwes. Atau, dari yang 'semau gue' menjadi 'ikuti cara mainnya'.
Hal ini penting banget untuk membuat seseorang yang ingin menulis menjadi penulis. Menurut saya, tujuan itu juga penting dan berpengaruh secara krusial dalam perkembangan dan upaya bertahan seseorang yang ingin eksis di dunia blogging.
Jujur saja, saya berupaya bertahan sampai saat ini bukan hanya karena ingin menulis. Tetapi, ingin menjadi penulis--mumpung masih muda.
Kalau kemudian ternyata tulisan saya masih tidak sebagus yang lain, saya anggap itu adalah bagian dari proses. Atau, kalau memang tidak berubah secara drastis, mungkin memang seperti itulah saya.
Lalu, apakah penjabaran sederhana ini akan menjawab kegalauan teman saya?
Mungkin tidak. Hehehe.
~Malang, 29 Oktober 2020
Deddy Husein S.
Baca tulisan lainnya: Menulis untuk Menumbuhkan Percayaan Diri
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI