Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Puisi Nasional dan Dilema Antara Terinspirasi dengan Kegagalan Ekspektasi

28 April 2020   21:05 Diperbarui: 28 April 2020   21:12 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi puisi. Gambar: via Gramedia.com

Setiap bulan hampir selalu ada hari yang dirayakan. Seperti di bulan April ini yang banyak momen peringatan, seperti Hari Kartini, Hari Bumi, hingga Hari Puisi.

Bahkan, jika nanti covid-19 lenyap dari bumi, pasti masyarakat dunia juga akan menetapkan antara hari awal mula atau hari terakhir eksistensinya corona sebagai Hari Corona se-Dunia. Tidak salah, memang begitulah kita saat ini. Alarm people.

Dari sekian hari peringatan, kebanyakan adalah hari-hari yang memberikan kita sentilan terhadap dua hal, inspirasi dan ekspektasi. Siapa yang tidak ingin terinspirasi oleh Raden Ajeng Kartini, Joko Pinurbo, Stephen King, Glenn Fredly--masih turut berduka untuknya, dan lainnya?

Kita pasti memiliki role model. Namun, apakah kita berhasil (sedikit) menyerupainya?

Tentu pertanyaan ini sulit dijawab. Hanya orang-orang yang sangat sering becermin yang dapat menilai dirinya, walau itu juga belum tentu akurat.

Terinspirasi bukanlah suatu hal yang memalukan, karena selama hidup pasti kita akan melalui proses meniru. Harus ada contoh dulu, agar apa yang kita lakukan tidak terlalu salah.

Seperti saat kita belajar matematika, tentu harus ada contoh untuk menyelesaikan soal dengan rumus yang seharusnya. Hal ini juga berlaku di bidang lainnya.

Ketika pertama kali masuk kerja, kita pasti harus menemukan contoh dalam menunaikan pekerjaan yang sudah dibebankan oleh atasan. Bahkan, atasan yang baik akan memberikan contoh langsung maupun memberitahukan siapa figur di tempat kerja yang patut ditiru.

Tujuannya bukan untuk membuat kita inferior, namun untuk tahu koridor. Jika seseorang hanya pernah menulis cerpen lalu ingin menulis naskah teater, pasti dirinya perlu melihat contoh naskah teater untuk memberikan gambaran perbedaan dan cara menulis naskah teater.

Jika orang tersebut tak pernah membaca naskah teater, bagaimana mungkin dirinya dapat menulis naskah teater?

Hal ini juga sangat berlaku bagi seseorang yang ingin menulis puisi. Tentu dirinya harus pernah membaca karya tulis yang berjenis puisi. Jika tidak, maka mustahil bagi dirinya dapat menulis puisi, apalagi berani menetapkan tulisannya sebagai puisi.

Menjadi seorang penulis puisi juga akhirnya perlu role model. Misalnya Sapardi Djoko Damono (SDD), Joko Pinurbo (Jokpin), Afrizal Malna, hingga yang muda-muda seperti Aan Mansyur dan Faisal Oddang.

Ketika proses terinspirasi bisa dikatakan cukup, walau belum akan berakhir, pada tahap selanjutnya akan menuju ke ekspektasi. Kita pasti punya harapan dan target.

Ketika memasak, pasti ingin makanan yang diolah itu dapat disajikan ke orang lain dan melihat orang lain menikmati hingga mengapresiasi. Seorang perempuan yang gemar memasak pasti akan lebih suka memasak untuk orang lain daripada hanya untuk dirinya sendiri.

Begitu pula jika menjadi penulis, pasti punya harapan jika tulisannya dapat dibaca oleh banyak orang dibandingkan hanya dibaca sendiri. Tahap itu pasti harus lewat, bukan?

Namun, sudahkah ekspektasi yang dimiliki masing-masing dapat terealisasi dengan benar dan baik?

Menjadi pembaca yang berekspektasi benar, maka dirinya dapat mewujudkan keinginannya untuk menambah koleksi bacaan dari level yang teringan menuju yang terberat. Sedangkan ekspektasi baik adalah dapat mewujudkan gudang inspirasi yang telah dia serap menuju ke tindakan konkrit yang salah satunya adalah menulis.

Menulis tentu pada akhirnya akan memiliki unsur benar dan baik. Namun, kali ini kita tak fokus ke sana. Kita tetap kembali pada ekspektasi.

Karena, ekspektasi inilah yang krusial bagi orang-orang yang sudah melihat dan membaca apa saja yang telah ditemukan. Tentu, kita sama-sama tahu bahwa negeri ini kembali diterpa dengan gosip literasi.

Setelah kasus penyitaan buku berpaham "kiri" beberapa waktu lalu, kemarin kita melihat adanya kehebohan masyarakat akibat adanya penangkapan sindikat Anarko di beberapa tempat. Peristiwa itu kemudian memunculkan buku-buku yang dijadikan sebagai barang bukti dan diduga adalah sumber inspirasi anggota Anarko.

Baca juga: Anarko Dibekuk, Tere Liye Terpuruk? (Nursalam)

Tentu, kita tidak membicarakan kebenaran tentang sumber inspirasi tersebut dengan pewujudannya. Namun, kita sedang melihat bahwa ada kegagalan dalam mewujudkan ekspektasi setelah terinspirasi.

Terinspirasi sebenarnya juga ada unsur benar dan baik, namun apa yang sudah menyeruak ke publik biasanya dapat dipetik inspirasi positifnya, dan seharusnya kita melakukan itu. Karena, kita harus berpikir tentang jangka panjang, salah satunya berkaitan dengan keuntungan.

Apa untungnya kita terinspirasi oleh si B? Apakah kita nanti akan menjadi seperti si B? Bagaimana jika nanti kita benar-benar menjadi si B?

Tiga pertanyaan--diawali dengan perhitungan untung dan rugi--itu sebisa mungkin terlintas di kepala ketika melihat hal-hal yang menarik dan ingin diikuti jejaknya. Kita tentu perlu modal untuk dapat memberikan jaminan awal, bahwa nanti dapat melakukan apa yang ingin dilakukan berdasarkan inspirasi yang diperoleh.

Apa itu modalnya?

Kurang-lebih bernama pemahaman.

Ilustrasi berpikir dan memahami. Gambar: Republika.co.id/Asep Safa'at
Ilustrasi berpikir dan memahami. Gambar: Republika.co.id/Asep Safa'at
Ketika sumber inspirasi kita adalah bacaan, maka kita harus mampu memahami tulisan tersebut. Jika tidak, kita akan terjebak atau bahkan tidak bisa masuk ke dalamnya. Kita akhirnya hanya tahu permukaannya saja, meski telah menjamin tuntas membaca bacaan tersebut.

Percuma, wong nggak paham.

Artinya, secara khusus fenomena terkait Anarko dan hal-hal lain yang serupa, bisa saja menjadi kegagalan dalam memahami inspirasinya, dan itu akan membuat langkah perwujudannya--mencapai ekspektasi--juga menjadi tak optimal.

Semua bacaan pasti terdapat dua sisi, apalagi jika sampai bacaan itu adalah fiksi. Maka, sajiannya akan seolah-olah nyata dan menguras emosi, karena di dalamnya pasti terdapat pertarungan antara sosok baik dan sosok buruk. Situasi yang juga terjadi di realita, bukan?

Namun, jika kita membaca "It", karya Stephen King, apakah kita harus menjadi pembunuh untuk mewujudkan inspirasi dan ekspektasi dari bacaan tersebut?

Tokoh di kisah It yang difilmkan. Gambar: Warner Bros. Entertainment Inc, via Kompas.com
Tokoh di kisah It yang difilmkan. Gambar: Warner Bros. Entertainment Inc, via Kompas.com
Artinya, jangan sampai, pasca membaca buku tentang kejahatan mafia maupun pelaku korupsi dan lainnya, kita kemudian hanya bisa mewujudkannya secara serampangan akibat kegagalan memahami inspirasi dan membangun ekspektasi.

Hal ini sebenarnya seringkali disebabkan oleh pemahaman secara harfiah yang digunakan untuk meraih inspirasi dan memiliki ekspektasi. Padahal, setiap bacaan pasti memberikan esensi yang sebenarnya, meski tak mudah ditemukan--secara harfiah.

Termasuk saat membaca puisi. Banyak puisi-puisi berkualitas yang terkadang justru cukup sulit ditemukan maknanya, namun pada kenyataannya kita secara prematur sudah menyatakan suka dengan puisi dan ingin berpuisi.

Lalu, apakah itu akan menggiring kita pada kegagalan ekspektasi?

Bisa saja demikian. Karena, pada nyatanya dibandingkan orang-orang yang cukup paham tentang apa dan bagaimana itu berpuisi, yang tidak paham justru lebih banyak.

Uniknya, orang-orang semacam itu justru yang membuat puisi lebih besar pasarnya daripada karya tulis lain. Hanya, yang perlu diingat adalah jangan terjebak pada bentuk tulisannya, melainkan apa yang dituliskan pada puisi itu.

Bukan mentang-mentang puisi adalah karya tulis yang relatif lebih pendek dari cerpen, apalagi novel, lalu kita menjadi seenaknya mengumbar permainan kata-kata yang sepintas lalu, namun telah disebut puisi. Jangan-jangan, itu bukan puisi!

Ketahuilah dulu apa itu puisi dan bagaimana puisi itu bisa seperti itu, baru jatuh cintalah padanya.

Jika hal itu sudah terjadi, (mungkin) ekspektasi untuk menulis puisi dan menjadi pemuisi tak lagi gagal besar. Bisa saja di antara kita masih menunggu antrian untuk dapat duduk bersama Joko Pinurbo dkk. sebagai pembicara puisi.

Selamat Hari Puisi! Semoga kita bisa memahami setiap larik-larik diksi indah di dalamnya dan mampu menunaikan segala ekspektasi yang telah dimiliki bersama puisi.

Oya, jangan-jangan Anda juga gagal berekspektasi terhadap tulisan ini. Hehe. Salam, dan terima kasih telah membaca!

Malang, 28 April 2020

Deddy Husein S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun