Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Menelaah Efektivitas Pergantian Pelatih di Persebaya

7 November 2019   18:00 Diperbarui: 7 November 2019   20:28 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aji Santoso dan Uston Nawawi. (Kompas.com/Suci Rahayu)

Hanya dalam satu musim, Persebaya menjadi salah satu klub di Liga 1 yang melakukan pergantian juru taktik hingga 4 kali (Persija dan Bhayangkara juga melakukan hal serupa). 

Kita anggap pula peran Bejo Sugiantoro selama masa transisi pergantian pelatih dari Djadjang Nurdjaman ke Wolfgang Pikal dapat disebut sebagai pelatih Persebaya, walau disebut caretaker. Ditambah dengan mundurnya Pikal pasca-laga menjamu PS Sleman dan kini digantikan oleh Aji Santoso, maka Persebaya sudah dilatih oleh 4 orang berbeda hanya dalam satu musim. Lalu apa penyebabnya?

Sebenarnya dalam artikel sebelumnya (baca di sini), sudah disebutkan kemungkinan besar alasan dari adanya pergantian pelatih di tubuh Persebaya. Di situ pula, penulis mengungkapkan bahwa ada yang tidak beres dalam tubuh Persebaya. Yaitu, tentang apa target Persebaya (selanjutnya) ketika target awal gagal terealisasi--mungkin sebelumnya ingin juara.

Selain itu, di artikel lainnya (baca di sini) yang masih berkaitan dengan Persebaya adalah tentang suporternya. Di sini, suporter Persebaya seperti ingin bersuara sesuai apa yang mampu mereka pikirkan saja. Mereka tidak berpikir lebih jauh maupun bersedia untuk berkompromi dengan pihak klub dukungannya (manajemen dan tim).

Faktor internal dan eksternal inilah yang terduga telah membuat Persebaya harus berganti 4 orang pemimpin taktik hanya untuk mengarungi perjalanan semusim kompetisi. Sungguh unik!

Gambaran ini juga membuat penikmat sepak bola netral pun akan berpikir bahwa hanya untuk berada di Liga 1 harus bergonta-ganti pelatih.

Begitu pula dalam hal pemikiran untuk juara di Liga 1. Seolah, kita tidak lagi melihat proses. Semua berlomba ingin juara. Seolah lagi, kita semakin sulit menemukan pesan untuk legawa dalam bermain sepakbola. Ibaratnya, kalah dan degradasi adalah haram (mutlak dijauhi).

Memang, dalam permainan, kita harus menang. Tetapi ketika kita kalah apakah itu 100% tidak bisa kita terima? Termasuk ketika harus terdegradasi. Apakah kita akan sepenuhnya turun gengsi?

Jika harus sedikit berpikir jernih, juara kompetisi tidak harus dimenangkan oleh tim legendaris. Begitu pula dengan yang terdegradasi. Tidak selamanya yang kalah dan terdegradasi adalah tim-tim kemarin sore ataupun tim-tim yang berpenghuni pemain kelas bawah.

Bisa saja, tim legendaris dan tim yang berpenghuni skuad matang juga dapat kalah dan terdegradasi.

Namun, untuk menghindari itu, memang kita akan melihat tim-tim semacam itu akan berupaya kuat untuk bertahan. Bahkan, juga tidak menutup kemungkinan untuk kembali merangsek ke papan atas. Contoh paling tepat adalah Persipura.

Ketika mereka melakukan pergantian pelatih, maka yang terjadi adalah progres positif. Di tangan kepelatihan Jacksen F. Tiago (JFT), Persipura kembali ke papan atas secara bertahap.

Namun, hal ini dapat terjadi dengan catatan adanya trustment terhadap pelatih baru--walau JFT bukan orang baru di Persipura.

Baca artikel tentang reuni JFT dan Persipura di sini.

Jika hal ini dapat dilakukan, baik oleh tim manajemen, pemain, dan suporter, maka pihak pelatih juga akan memiliki kepercayaan diri dalam melatih tim tersebut, dan itu terjadi di Persipura.

Memang, pergantian pelatih ini bisa disebut sebagai reunian antara JFT dengan Persipura. Namun, perlu diingat bahwa tidak semua pelatih dan klub yang bereuni dapat menghasilkan kisah manis yang sama.

Kenny Dalglish pecahkan puasa gelar dengan Carling Cup, meski akhirnya dipecat. (Huffingtonpost.co.uk)
Kenny Dalglish pecahkan puasa gelar dengan Carling Cup, meski akhirnya dipecat. (Huffingtonpost.co.uk)
Ambil contoh seperti keberadaan Kenny Dalglish di Liverpool yang mana dia kembali ke Liverpool sebagai pelatih di sekitar tahun 2011-2012. Menurut sejarah, Kenny adalah mantan pemain dan pelatih Liverpool di era-era sebelumnya. 

Namun, di masa reunian tersebut yang terjadi adalah kegagalan. Salah satu faktornya adalah laju modernitas permainan sepak bola di Inggris yang membuat pelatih-pelatih lama berguguran, dan ini juga dialami oleh Liverpool bersama Kenny Dalglish.

Berkaca dengan hal itu, kita dapat melihat bahwa "struktur kehidupan" di dalam sepakbola sangatlah kompleks. Kita tidak bisa seratus persen menargetkan juara hanya dalam masa kerja di satu musim.

Kita juga harus memiliki banyak plan, dan seharusnya ini dapat dijalankan oleh pihak tim manajemen seluruh klub di Liga 1.

Sebenarnya, mereka juga telah berupaya maksimal dalam urusan membangun plan. Namun jika boleh memilih, ada sebuah klub yang merepresentasikan adanya planning matang khususnya di kompetisi Liga 1, klub itu adalah Bali United.

Bali United memang secara manajemen sempat menuai banyak kritikan, seperti yang pernah tersampaikan di artikel beberapa waktu lalu (baca di sini). Di situ, kita dapat melihat pula bahwa pihak manajemen Bali United telah belajar dari "kekacauan" di Liga 1 2018.

Mereka yang sebenarnya menjadi pesaing kuat dalam perebutan gelar juara selama dua musim berturut, justru terpuruk dan itu disebabkan oleh pergantian pelatih secara mendadak--lebih tepatnya Widodo C. Putro mundur dari kursi pelatih Bali United.

Namun, di musim 2019 mereka menatap Liga 1 dengan lebih baik dan mereka tidak tergoda untuk panik karena gagal bersaing di Piala Presiden 2019 dan Piala Indonesia 2018 -yang finish di tahun 2019.

Kegagalan di dua gelanggang tempur tersebut justru membuat Bali United terlihat kalem di mata publik, namun garang di lapangan. Bahkan, pamornya di awal musim Liga 1 2019 kalah dengan Tira-Persikabo yang secara mengejutkan menjadi pimpinan klasemen sementara.

Namun, dengan pengalaman mengelola skuad pemenang selama 2017 oleh tim manajemen, ditambah keberadaan pelatih sekaliber Stefano Cugurra (eks jawara 2018) membuat Bali United semakin kokoh di puncak.

Inilah yang patut dipelajari oleh klub-klub lain di Liga 1, bahwa untuk menjadi tangguh dan menjadi calon jawara tidak dapat bermodalkan skuad pemainnya saja, kualitas pelatihnya saja, ataupun kehebatan tim manajemen dalam mengelola tubuh klub tersebut. Seluruh bagian dari setiap tim harus bersatu dan bekerjasama, termasuk suporter.

Di sini, suporter juga harus mendapatkan fasilitas. Tidak hanya ruang berekspresi, namun juga ruang berdialog langsung dengan timnya. Isinya kurang lebih adalah tentang apa yang dapat mereka lakukan (giving) untuk tim tersebut dan apa yang ingin dicapai oleh timnya (taking).

Dua hal ini juga krusial dalam menentukan laju sebuah klub untuk tetap kondusif dan fokus -pada semua plan yang ada.

Berangkat dari contoh tersebut, ada harapan bahwa Persebaya juga dapat melakukan hal serupa. Jika Bali United bisa, mengapa tidak untuk Persebaya dan klub-klub lainnya.

Begitu pula dengan apa yang terjadi pada Persebaya di musim ini. Harapannya dengan pengalaman (buruk) di musim ini, pihak Persebaya tidak lagi melakukan hal yang serupa.

Karena, dengan pergantian pelatih sebanyak itu, hasilnya seperti yang sempat terduga di artikel sebelumnya. Yaitu, belum tentu pelatih baru akan memberikan dampak positif bagi Persebaya ketika Coach Djanur dilengserkan.

Justru, pada akhirnya kita harus melihat klub selegendaris Persebaya semakin kacau menjelang akhir -situasi yang sebenarnya serupa dengan musim lalu.

Memang, kini mereka ditangani oleh Aji Santoso. Salah seorang pelatih berpengalaman di kompetisi sepakbola Indonesia. Namun, jika Djanur saja pernah terdepak dari Persebaya meski dia pernah menjadi juru selamat--dan pernah kampiun.

Maka, tidak akan ada jaminan kuat bagi Aji Santoso untuk bermarkas di Gelora Bung Tomo dalam waktu lama. Kecuali, dengan adanya trustment and keep going on the proccess seperti yang terjadi pada Persipura dengan Coach Jacksen.

Jadi, efektifkah pergantian pelatih di Persebaya di musim ini?

Malang, 7 November 2019
Deddy Husein S.

Referensi: Goal.com, Kompas.com, dan Ftb90.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun