Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Geopolitics Enthusiast

Learn to live, live to learn.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

AI Amerika vs Tiongkok: Lomba Chatbot atau Lomba Dominasi Dunia?

1 September 2025   17:09 Diperbarui: 1 September 2025   17:09 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan lalu, Amerika Serikat dan Tiongkok merilis rencana aksi nasional tentang kecerdasan buatan (AI). Kedua dokumen itu muncul hampir bersamaan, seolah dunia sedang dipaksa membandingkan. Dari segi isi, keduanya nyaris seperti dua buku dari genre berbeda.

Rencana AS penuh retorika besar, menekankan dominasi teknologi, keunggulan pasar, dan kompetisi bebas. Pendekatannya sederhana: menang dengan memperlebar keunggulan yang sudah ada. Sementara itu, Tiongkok mengajukan dokumen yang jauh lebih singkat, berbicara tentang kerja sama internasional, inklusivitas, dan kepemimpinan "bertanggung jawab."

Jika dibaca sekilas, kita bisa tergoda untuk menyimpulkan bahwa Amerika lebih serius, lebih ambisius. Tetapi siapa pun yang mengikuti dinamika geopolitik tahu: gaya bicara tidak selalu mencerminkan strategi sebenarnya.

Bagi masyarakat awam, AI hari ini identik dengan large language models (LLM) seperti ChatGPT, Gemini, atau Claude. Memang benar, teknologi ini paling populer dan mudah dikenali. Namun AI jauh lebih luas dari itu.

AI juga berarti otomasi pabrik, sistem robotika, pengawasan massal (surveillance), kripto,hingga pusat data (data center) raksasa yang menopang semua layanan berbasis cloud.

Dengan kata lain, AI tidaklah monolitik. Ada banyak cabang dengan fungsi dan dampak yang berbeda. Dan di sinilah jalan Amerika dan Tiongkok mulai bercabang.

Amerika Serikat hari ini jelas mendominasi LLM. Lima nama besar yakni OpenAI, Google, Meta, Anthropic, dan X (Twitter) memimpin perlombaan. Mereka bukan hanya punya modal riset, tetapi juga dukungan kapital yang nyaris tanpa batas.

Model bisnisnya pun sudah berjalan: sebagian besar perusahaan menjual layanan premium. Menurut laporan, sekitar 75% pendapatan OpenAI berasal dari langganan pengguna. Meski hanya 1,6% pengguna aktif yang mau membayar, para raksasa yakin angka itu akan terus naik seiring AI menjadi lebih pintar.

Visi AS yaitu menciptakan chatbot yang tidak hanya menjawab pertanyaan, tapi juga menjadi asisten otonom yang mampu menyusun jadwal, memesan tiket, mengelola keuangan pribadi, bahkan menjadi dokter digital.

Strategi ini pas dengan struktur ekonomi AS. Sebagai ekonomi berbasis jasa, pertumbuhan digital selalu lebih cepat dibanding PDB nasional. AI versi "layanan konsumen" seperti ini adalah motor baru yang cocok dengan DNA ekonomi Amerika.

Namun ada juga kekurangannya. Amerika memang menguasai desain chip canggih, tetapi justru itulah yang membuat Washington panik. Pembatasan ekspor chip AI ke Tiongkok adalah bukti nyata.

Ironisnya, awal 2024 dunia dikejutkan oleh startup Tiongkok bernama DeepSeek. Dengan modal jauh lebih kecil dan hanya memakai prosesor kelas dua, mereka berhasil melatih LLM yang sanggup menyaingi produk raksasa Amerika. Dampaknya? Pasar saham AS kehilangan sekitar 1 triliun dolar hanya dalam sehari.

Kejadian ini mengingatkan keunggulan teknologi mahal tidak selalu abadi. Ada jalan lain untuk mengejar ketinggalan. Dan disinilah kita masuk pada keunggulan Tiongkok.

Tiongkok bukanlah pengekor, tapi pemain berbeda.

Saya kira itulah poin saya.

Beda dengan Amerika, Tiongkok tidak berambisi menciptakan "ChatGPT versi lokal" untuk merebut pasar global. Mengapa? Karena mereka sadar, struktur ekonomi mereka berbeda.

Tiongkok adalah manufaktur terbesar di dunia. Ekonomi jasa mereka relatif kecil, sehingga percuma menghabiskan energi di ranah yang didominasi Amerika.

Program Made in China 2025 menjadi kunci. Di situ tertulis jelas ambisi mereka: bukan hanya memproduksi barang murah,melainkan naik kelas ke robot, chip, kendaraan listrik, dan peralatan militer canggih.

Untuk semua itu, AI di pabrik jauh lebih penting daripada chatbot.

Tidak bisa dipungkiri, Tiongkok juga menatap AI dari kacamata militer. Perang Ukraina memberi pelajaran penting bahwa drone murah bisa mengalahkan tank mahal. Kuantitas bisa menandingi, bahkan mengalahkan kualitas.

Hari ini, Tiongkok bisa memproduksi kapal perang secepat kilat. Lebih banyak dalam sebulan daripada produksi tahunan Amerika. Bahkan laporan menyebut kapasitas produksi senjata dan amunisi Tiongkok lima sampai enam kali lipat lebih cepat dibanding Amerika.

Bagi Beijing, ini bukan sekadar angka. Ini adalah peringatan keras: Amerika bisa punya ChatGPT tercanggih, tapi chatbot tidak memenangkan perang.

Kekuatan Tiongkok juga terletak pada strategi eksternal. AI mereka tidak hanya untuk konsumsi domestik, tapi juga diekspor lewat jalur Belt and Road Initiative (BRI).

Jika dulu BRI fokus membangun jalan, rel, dan pelabuhan, kini Tiongkok menambahkan komponen digital: pusat data, jaringan telekomunikasi, dan layanan AI murah.

Negara-negara berkembang yang haus teknologi sering kali lebih memilih solusi terjangkau, meskipun ada risiko keamanan. Saat Barat menolak Huawei dan ZTE karena alasan spionase, banyak negara Afrika atau Asia Selatan tetap menerimanya.

Dengan cara ini, Tiongkok menanamkan "benih ketergantungan" di banyak negara. AI jadi bagian dari diplomasi infrastruktur.

Dari sini terlihat jelas kalau Amerika dan Tiongkok sebenarnya tidak sedang berlomba di lintasan yang sama.

Amerika mengejar masa depan digital berbasis konsumen. Visi mereka adalah dunia di mana orang rela membayar mahal agar chatbot bisa menjadi asisten pribadi.

Tiongkok mengejar industrialisasi tingkat lanjut, efisiensi produksi, dan kekuatan militer. Visi mereka adalah dunia di mana AI membuat pabrik lebih cepat, senjata lebih banyak, dan listrik lebih murah.

Pertanyaan pentingnya, siapa yang lebih mungkin menang?

Jawabannya mungkin keduanya, di bidang masing-masing.

Amerika bisa terus memimpin inovasi layanan berbasis AI untuk kelas menengah global yang haus kenyamanan digital. Sementara Tiongkok bisa memimpin di bidang manufaktur, infrastruktur, dan pertahanan --- sektor-sektor yang mungkin justru lebih menentukan masa depan geopolitik.

Bagi Indonesia atau negara-negara berkembang lainnya, perlombaan ini bukan sekadar tontonan. Pilihannya ada di depan mata:

  • apakah kita akan menjadi konsumen setia layanan digital buatan Amerika,ataukah menjadi mitra infrastruktur digital ala Tiongkok?
  • Sementara itu, kita jarang bertanya: apa strategi AI nasional kita sendiri? Apakah kita hanya akan menjadi pasar, atau bisa menjadi produsen?

Apakah kita percaya ChatGPT bisa mengelola keuangan, memberi resep obat, atau bahkan memutuskan perawatan medis? Amerika yakin itulah masa depan.

Tapi Tiongkok punya pandangan berbeda. Bagi mereka, lebih realistis jika AI dipakai untuk menggerakkan pabrik, menyalakan listrik, memproduksi kendaraan murah, dan (jika diperlukan) memenangkan perang.

Lomba AI ini bukan hanya tentang siapa yang paling pintar bicara. Tapi siapa yang paling cepat membangun dunia nyata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun