Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Geopolitics Enthusiast

Learn to live, live to learn.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ekonomi Global dalam Cengkraman "Yo-yo" Trump

19 Juli 2025   19:52 Diperbarui: 20 Juli 2025   10:36 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Amerika Serikat Donald Trump (AFP/MANDEL NGAN via KOMPAS.com)

Perekonomian terlihat hidup.

Kepercayaan bisnis sedang naik. Pendapatan meningkat. Harga turun.

Inflasi? Konon katanya sudah mati.

Begitulah kata Presiden AS, Donald Trump, saat berpidato di White House tanggal 15 Juli 2025.

Tapi di balik semua indikator yang tampak menjanjikan, ada narasi yang jauh lebih rumit.

Dan di pusat narasi itu, ada satu nama: "Donald J. Trump".

Presiden Amerika Serikat saat ini bukanlah orang yang segan mengambil pujian, bahkan atas hal-hal yang mungkin tak pernah benar-benar ia lakukan. Ia pernah menyiratkan bahwa dirinyalah penyebab membaiknya hubungan India--Pakistan. Trump juga mengklaim menjadi penengah gencatan senjata Timur Tengah (meski Iran dan Israel tidak pernah benar-benar sepakat). Bahkan dalam gaya retoris khasnya, ia pernah menyebut bahwa perusahaan-perusahaan kini menciptakan resep Coca-Cola yang lebih enak karena kebijakannya.

Tentu saja kita tak bisa mengatakan bahwa semuanya hiperbola. Tapi satu hal yang tak bisa dibantah adalah bahwa Trump telah mengguncang tatanan ekonomi global.

Perang Dagang dan Efek Domino

Sejak awal masa jabatannya, Trump menjadikan "perang dagang" sebagai alat utama diplomasi ekonomi. Target utamanya adalah Tiongkok, namun getarannya terasa jauh lebih luas. Ia memberlakukan tarif besar-besaran terhadap barang-barang impor, memaksa perusahaan untuk memindahkan rantai pasokan mereka --- dari China ke negara-negara seperti Vietnam, Kamboja, dan Malaysia.

Namun ketika negara-negara Asia Tenggara ini mulai muncul sebagai "pemenang baru" dari relokasi industri, Trump justru mengarahkan laras perangnya ke arah mereka. Ia mengancam akan mengenakan tarif 40% terhadap barang-barang ekspor dari wilayah tersebut. Bagi negara berkembang, ini bukan hanya soal ekonomi tapi menyangkut kelangsungan pembangunan nasional.

Tarif-tarif itu bukan hanya mengacaukan pasar, tetapi juga "melumpuhkan investasi asing langsung". Laporan dari UNCTAD (Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan) menyebut bahwa investasi internasional telah turun ke level 2008 --- masa ketika dunia dilanda krisis finansial global.

Dengan kata lain, hanya lima bulan Trump menjabat, dunia kembali ke titik terendah yang pernah kita kenal dua dekade lalu.

Ekonomi AS bertumbuh atau justru terkapar?

Trump sering mengklaim bahwa kebijakannya akan "membawa pulang kemakmuran ke rumah". Tapi kenyataannya, ekonomi AS pun ikut terguncang.

Lembaga pemeringkat Moody's merilis proyeksi mengejutkan: 48% kemungkinan resesi dalam waktu dekat. Angka tersebut merupakan yang tertinggi sejak masa kelam pandemi. Mengapa? Salah satu jawabannya adalah kelesuan konsumen. Pada Mei lalu, warga Amerika memangkas pengeluaran mereka untuk mobil, hotel, dan restoran. Ini sinyal waspada dalam perekonomian berbasis konsumsi.

Trump menjanjikan pertumbuhan, tetapi yang terjadi adalah ketidakpastian dan inflasi yang tak sepenuhnya padam. Ia menjanjikan lapangan kerja, tetapi yang muncul adalah gelombang PHK dari Asia hingga Amerika Latin.

Trump berulang kali berjanji bahwa perang dagangnya akan "membawa pulang" lapangan kerja ke Amerika. Dalam berbagai kampanye dan wawancara sejak 2018 hingga periode kepemimpinannya yang baru, ia menegaskan bahwa mengenakan tarif tinggi terhadap barang impor akan mendorong perusahaan kembali memproduksi di dalam negeri --- dan menciptakan jutaan pekerjaan bagi rakyat AS.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Gelombang PHK justru menyebar dari Asia hingga Amerika Latin, dampak langsung dari kebijakan tarif dan ketidakpastian perdagangan global.

Di Meksiko dan Brasil, negara-negara yang menjadi pusat produksi otomotif dan elektronik untuk pasar Amerika Utara, PHK massal terjadi pada perusahaan-perusahaan subkontraktor. Menurut laporan Latin American Economic Observatory (LAEO), sekitar 145.000 pekerjaan manufaktur hilang sepanjang semester pertama 2024. Banyak di antaranya bekerja untuk perusahaan multinasional yang memutuskan menunda ekspansi atau merelokasi produksi karena ketidakpastian perdagangan lintas batas.

Ironisnya, semua ini terjadi tanpa terciptanya lapangan kerja baru secara signifikan di Amerika Serikat. Bureau of Labor Statistics (BLS) AS mencatat bahwa pada periode yang sama, pekerjaan sektor manufaktur di AS hanya bertambah 22.000. Angka tersebut tidak sebanding dengan jutaan yang dijanjikan Trump. Bahkan, beberapa sektor seperti otomotif justru mengalami stagnasi karena kenaikan harga bahan baku akibat tarif impor dari mitra dagang utama.

Alih-alih menciptakan lapangan kerja, kebijakan Trump justru membuat perusahaan multinasional gamang. Mereka enggan berinvestasi, menunda perekrutan, bahkan memangkas tenaga kerja di lokasi-lokasi yang sebelumnya dianggap aman dan murah.

Negara berkembang menjadi korban di antara dua raksasa.

Di Asia Tenggara, laporan dari Vietnam Chamber of Commerce and Industry (VCCI) menunjukkan bahwa pada kuartal pertama 2024, lebih dari 38.000 pekerja dirumahkan di sektor manufaktur yang berorientasi ekspor. Terutama yang memasok pasar AS. Hal serupa terjadi di Kamboja, di mana Federation of Apparel Workers mencatat penutupan 130 pabrik garmen sejak akhir 2023 karena kehilangan pesanan dari perusahaan-perusahaan AS yang terkena tarif atau ketidakpastian kebijakan.

Bagi negara-negara seperti Vietnam, Kamboja, dan Malaysia yang sempat menikmati pertumbuhan pasca-pandemi, langkah Trump adalah "pukulan balik" yang tak adil. 

Mereka bukanlah pemicu konflik, tapi kini harus menanggung akibat dari rivalitas ekonomi global.

Tarif yang dikenakan bisa memangkas ekspor lebih dari 50%. Dan dengan itu, hilang pula ribuan lapangan kerja, potensi pembangunan, dan stabilitas sosial.

Lebih menyakitkan lagi, negara-negara ini sebelumnya dipandang sebagai "alternatif strategis" dari dominasi China. Namun justru saat mereka memanfaatkan peluang, mereka dihukum (yang ironisnya) oleh kekuatan yang seharusnya menjadi mitra.

Bagaimana dengan perang militer? Salah satu kampanye utama Trump adalah janji untuk "mengakhiri perang Amerika yang tak berkesudahan". Tapi realitas menunjukkan hal sebaliknya.

Dalam lima bulan pertama masa jabatannya, Trump telah meluncurkan lebih banyak serangan udara dibandingkan total empat tahun masa kepemimpinan Joe Biden.

Data ini diangkat oleh media seperti The Intercept dan The Guardian, dan disokong laporan militer yang mengkhawatirkan eskalasi konflik baru di Timur Tengah.

Trump tidak hanya memicu perang dagang, tapi juga kembali menabuh genderang perang militer.

Akibatnya bukan hanya darah di medan tempur, tetapi juga ketegangan di pasar keuangan global.

Trump memang terkenal memerintah dengan gaya yang sulit ditebak. Ia bisa menyatakan perang dagang hari ini, dan berdamai lewat Twitter esok hari. Konsistensinya seperti yo-yo yang bergerak naik turun tanpa pola tetap.

Jadi, dunia pun mulai ragu: 

Jika ekonomi global bisa diguncang hanya karena satu orang di Gedung Putih, apakah sistem internasional kita masih bisa diandalkan?

Trump bukan satu-satunya pemimpin populis. Tapi dampaknya luar biasa karena ia memimpin negara dengan ekonomi dan militer terbesar di dunia.

Dan ketika dia bertindak, dunia tidak bisa hanya menonton. Negara berkembang tidak bisa bersembunyi.

Mereka harus menanggung akibat meski bukan mereka yang memulai kekacauan ini.

Saat ini, kita sedang berada di persimpangan besar sejarah. Apakah para pengambil kebijkan akan membiarkan kebijakan-kebijakan transaksional, pendekatan sepihak, dan diplomasi tarif terus mendikte masa depan?

Ataukah akan mencari jalan lain yang lebih adil, lebih multilateral, dan lebih manusiawi?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun