Mohon tunggu...
djarot tri wardhono
djarot tri wardhono Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis apa saja, berbagi dan ikut perbaiki negeri

Bercita dapat memberi tambahan warna

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Serba Tiba-tiba

7 April 2021   07:07 Diperbarui: 7 April 2021   07:09 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setelah sekian lama, akhirnya bisa merasakan kembali perjalanan lintas kota budaya. Antara Jogjakarta dan Surakarta, dua kota terbentuk dan terpisah karena Perjanjian Giyanti. Kedua kota yang tumbuh dengan tradisi Kerajaan Mataram, yang berkembang semakin berwarna dengan adat kebiasaan masing-masing wilayah. Batas wilayahnya tergaris dan dipisahkan Sungai Opak sejak tahun 1755. Dua kota yang selalu dikangen untuk didolani dengan aneka kuliner khasnya.

Sesampai di Stasiun Lempuyangan, baru tersadar kalau Prameks sudah tak beroperasi lagi. Kereta diesel itu telah digantikan kereta rel listrik, KRL, yang lebih ramah lingkungan dengan setrom yang menggerakan rodanya. Kata petugas, awal Frebruari yang lalu, perjalanan Prameks terakhir. Infonya ada serimonial penghormatan perjalanan terakhir karna dua puluh tujuh tahun melayani. Entah tak kuingat berapa tahun aku menggunakannya untuk perjalanan dua kota itu.

Setelah kartu elektronik kutempelkan pada electronic gate pintu masuk, aku pun menuju tempat duduk untuk menunggu KRL. Sudah beda, tak ada lagi pemeriksaan karcis oleh petugas di kala masuk. Semuanya digantungkan pada selembar kartu yang akan di-tab saat keluar di stasiun tujuan. Nanti di Stasiun Balapan, tujuan akhirku, untuk kembali menyentuhkan kartu uang elektronik di pintu keluar tujuanku.

Aku pun duduk di selasar peron stasiun. Kondisi stasiun yang tak seramai biasanya. Maklum, sekarang kondisi covid. Orang membatasi untuk tak bebergian. Aku hanya melihat beberapa orang yang juga duduk di kursi menunggu kedatangan kereta listrik. Dan di jadwalku ini tak ada kereta jarak jauh yang bakal singgah. Jadi terasa sepi di stasiun yang luas ini. Di tengah keheningan kumenunggu, tiba-tiba pikiranku melayang dan teringat tentang dia, yang selalu bertemu di rangkaian Prameks.

Tiba-tiba ku teringat dirinya/ Dan semua cerita-cerita indah/ Tentangku dan dia/ Tiba-tiba dalam hati bertanya/ Sedang apa dan dimana dia/ Masihkah dia menyimpan rasa

Rasa ini tiba-tiba ada/ Setelah sekian lama kita berpisah/ Atau mungkin memang masih ada rasa/ Semoga dia rasakan yang sama*)

***

Prameks itu sudah padat. Banyak penumpang yang memaksakan masuk. Ya begitulah kereta komuter yang cepat dan murah. Aku pun, ikut menerobos gerbong yang sudah sesak. Agak lebih siang aku tiba di stasiun dan tak ada pilihan untuk mendorongkan diri masuk. Biar tak terlambat sampai tujuan di Solo, di Surakarta. Dalam memaksakan diri itu, tak sengaja siku yang kugunakan untuk membuka jalan, menyikut seorang gadis. Dan tiba-tiba, dia melotot padaku. Siku tanganku menyikut pipinya tak sengaja. “Maaf”, jawabku sepontan, “maaf, tak sengaja”. Bola matanya yang hampir keluar, mulai merileks menjadi lebih indah karna kata maafku tadi. Ya, ada memar membiru di pipinya.

Hari itu, bukannya aku mengejar keterlambatan ke kantor tapi malah tersita waktuku setengah hari. Aku tak menuju Stasiun Balapan tapi turun di Stasiun Purwosari, mengikuti tujuan sang gadis. Aku tak sekedar menyampaikan permohonan maaf, tapi aku harus bertanggung jawab atas biru memar yang timbul di rona merah pipinya.

“Gimana, pipinya? Sampai memar begitu”. Memang sikutan itu menjadi suatu tonjokan hebat karena dorongan orang di belakangku. Sakit rasanya, dalam hatiku, membatin.

“Kita istirahat dulu, di kafe di ujung sana”, Aku mengajukan penawaran.

“Oh-oh”, jawabnya. Perkiraanku, setidaknya memar biru di pipi tak tampak. Entah, nanti dia memoles dengan bedak atau perangkat kecantikan lain, yang tak kupaham.

Sambil duduk di kafe itu. Kutawari hidangan dan minuman. Secangkir capucino dan  sepiring french fries, melengkapi penerimaan dan pemakluman rasa bersalahku. Dengan awalan suasana yang dingin, menjadi hangat setelah hidangan tersaji.

“Darto”, aku menjulurkan tanganku untuk berkenalan.

“Azza”, jawabmu pendek menyambut tanganku.

Perkenalan yang tiba-tiba dari kejadian yang tak terduga. Dan perkenalan yang tak dinyana. Semua terjadi serba singkat dan tak kukira. Semuanya tiba-tiba.

***

Semenjak kejadian itu, kami kadang berjumpa. Kala berangkat, bertemu muka di gerbong yang sama, juga saat pulang bertatap wajah. Belum sering di awalnya, setidaknya per dua pekan bertemu dari jauh, dan hanya melambaikan tangan. Seiring berjalannya waktu, di Prameks itu perjumpaan semakin sering. Bukan bertemu dwi-mingguan tapi bahkan per hari bersua. Dan tiba-tiba, akhirnya jatuh hati. Gayung pun bersambut, perasaan bertaut dan perjalanan cinta pun berturut.

Aku dan dia akhirnya, berangkat dan pulang bersama. Bertemu di stasiun, berjanji di gerbong ke berapa dan di dekat pintu kereta yang mana. Kadang makan bersama, sebelum melangkah ke stasiun. Semuanya terasa indah.

Kuliner Jogja-Solo menjadi langganan kami berkencan. Gudeg Mbok Kedul dekat Stasiun Purwosari, dimana Azza turun dari Kereta. Semua di seputaran Purwosari, kita jelajahi. Pukis Badran, Bakmi Djoko Koeno mbak Mangoen, Kopi Lawe, Wedangan Radjiman Bakso pak Suradi dan banyak lagi. Belum yang di seputaran Stasiun Balapan, sudah tamat kita putari termasuk kuliner tak enak. Semuanya terasa lezat dengan hadirnya Azza. Segalanya menjadi menarik dan gemintang. Tiba-tiba berjuta indahnya.

Kisah kita, berjalan mendaki dan menurun bak naik-turun gunung. Tak pernah kita menuruni lembah. Selalu naik dan turun dengan berbagai gunung, dan dilalui dengan penuh rasa, penuh tawa dan banyak canda. Hanya di awal perkenalan, membiru memar dan selanjutnya tak ada haru biru di antara aku dan Azza. 

Entah, tiba-tiba kamu berniat untuk berpindah kerja, merantau nun jauh ke Ibukota, mencoba mengadu nasib dan karir. Aku pun berusaha untuk mengikuti jejak Azza, namun lamaran demi lamaran yang kulayangkan tak bersambut. Tak ada jawaban meski hanya undangan untuk tes masuk. Surat lamaran seakan sirna begitu aja. 

Dan Azza pun berangkat ke Jakarta, kuantarkan dengan doa dan kulepas di stasiun Lempuyangan dimana titik kita berawal.

***

Tiba-tiba dalam hati bertanya/ Sedang apa dan dimana dia/ Masihkah dia menyimpan rasa/ Masihkah dia menyimpan rasa, oh

Rasa ini tiba-tiba ada/ Setelah sekian lama kita berpisah/ Atau mungkin memang masih ada rasa/ Semoga dia rasakan yang sama

Di awal-awal, hari baru Azza di tengah hiruk pikuk Ibukota, kami berkomunikasi dengan BBM dan telpon. Dengan media ini, berlangsung sangat sering. seperti makan, tiga kali sehari. Keadaan kami berjalan selama beberapa bulan. 

Dengan kesibukan Azza yang bertambah dan didukung tumpukan pekerjaanku di Solo, maka komunikasi kami mulai berjarak. Harian jadi pekanan. Bak dua merpati yang hadir  di akhir pekan. Dimana pekerjaan telah selesai dan kepenatan itu perlu dilepaskan. Dengan media sosial, kami pun berbincang. Tak ada kuliner yang menemani, tak ada hidangan tersaji.

Pembicaraan virtual pun kita jalani. Perjalanan kasih menghambar. Komunikasi pun bergeser hanya bertukar kabar, berbaku cerita, berkirim gambar. Hari-hari kami dilalui dengan membaca status medsos masing-masing. 

Greget hubungan kami mulai memudar, menjadi canggung serta kemudian mengasing. Aku dan Azza merasa lain dan beda. 

Tiba-tiba kami sepakat untuk mengakhiri.

***

Hari ini tak terasa telah sebelas tahun berlalu. Semenjak kita tuntasi jalinan ini, aku tak tau kamu dimana, Azza. Mentari pagi menarik diriku tiba-tiba, seakan sinarnya mengajak memutar waktu yang sama di kala itu. Hembusan angin di belakangku mendorongku masuk di gerbong yang sepi. Sikuku tak perlu membuka jalan dan tak ada memar biru tanda luka luar di pipimu, Azza. 

Rasa ini tiba-tiba ada/ Setelah kita berpisah/ Atau mungkin masih ada rasa (atau mungkin ada rasa)/ Ha-aa, semoga. Rasa ini tiba-tiba ada/ Setelah sekian lama kita berpisah/ Atau mungkin memang masih ada…

 

Jogja, Maret 2021

*)Tiba Tiba - Andmesh Kamaleng

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun