Mohon tunggu...
Don Bosco Doho
Don Bosco Doho Mohon Tunggu... Dosen

Dengan latar belakang Filsafat dan menekuni bidang Etika dan Filsafat dalam bidang komunikasi dan pendidikan saya ingin mendedikasikan diri mengedukasi publik agar menjadi insan yang etis dari diri sendiri, mulai dari hal-hal kecil dan sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memudarnya Etika Publik: Tanggung Jawab Siapa?

15 September 2025   16:36 Diperbarui: 15 September 2025   16:36 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agama memiliki kekuatan besar dalam membentuk moralitas individu dan kolektif. Ketika para pemuka agama tidak hanya fokus pada ritual, tetapi juga menekankan pentingnya kejujuran, integritas, dan empati sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran spiritual, dampaknya akan sangat luas. Mimbar agama harus menjadi ruang untuk menumbuhkan kesadaran etis, bukan sekadar tempat untuk memenuhi kewajiban ritualistik.

  • Institusi Keluarga:

Keluarga adalah sekolah pertama bagi setiap individu. Nilai-nilai seperti tanggung jawab, hormat, dan kasih sayang pertama kali ditanamkan di sini. Orang tua yang memberikan teladan yang baik akan membentuk anak-anak yang memiliki kesadaran moral yang kuat. Membangun kembali etika publik berarti memperkuat kembali fondasi keluarga sebagai benteng moral pertama.

  • Institusi Sosial:

Kelompok masyarakat, organisasi, dan komunitas memiliki peran sebagai pengawas sosial. Ketika masyarakat sipil aktif menyuarakan kritik terhadap perilaku tak etis dan menuntut pertanggungjawaban, mereka menciptakan tekanan yang signifikan. Gerakan-gerakan sosial yang berfokus pada etika publik dapat menjadi kekuatan pendorong perubahan, mengingatkan para figur publik bahwa ada mata yang mengawasi dan hati nurani yang mengutuk.

2. Pendidikan sebagai Ujung Tombak Perubahan

Pilar yang paling krusial dan harus menjadi prioritas utama adalah institusi pendidikan. Kurikulum yang sarat dengan teori etika tidak akan berarti tanpa adanya contoh nyata dari orang-orang yang mengajarkannya. Keteladanan para pendidik (guru dan dosen) adalah inti dari pendidikan karakter.

Pendidikan karakter tidak boleh hanya menjadi mata pelajaran tambahan. Ia harus diintegrasikan dalam seluruh proses belajar mengajar. Ini bisa dilakukan melalui:

  • Penerapan Nilai dimana Guru dan dosen harus menjadi model perilaku etis di kelas dan di luar kelas. Kejujuran dalam evaluasi, keadilan dalam perlakuan terhadap siswa, dan integritas dalam penelitian adalah praktik yang harus dicontohkan.
  • Studi Kasus dan Diskusi dengan mengajak siswa menganalisis kasus-kasus nyata terkait etika publik yang terjadi di masyarakat dapat membantu mereka memahami konsekuensi dari perilaku tak etis.
  • Penguatan Kurikulum yang harus mencakup materi yang relevan dengan etika publik, seperti bahaya korupsi, pentingnya partisipasi sipil, dan etika berdemokrasi.

Refleksi Penutup: Membangun Kembali Bangsa

Pada akhirnya, memudarnya etika publik adalah tanggung jawab kita semua. Ini adalah sebuah cermin yang menunjukkan kerapuhan kolektif kita, terutama dalam konteks Indonesia, di mana fenomena ini terasa begitu kentara. Membenahi dan menanam kembali nilai-nilai ini adalah tugas bersama, sebuah proyek peradaban yang harus dimulai dari setiap individu dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.

Ini adalah sebuah panggilan untuk kembali merenungkan, sudahkah kita menjadi teladan bagi lingkungan sekitar? Sudahkah kita berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang lebih bermoral? Jawabannya terletak di tangan kita, bukan pada figur publik di layar kaca atau pejabat di balik meja kekuasaan. Ini adalah perjuangan yang tak kenal lelah untuk mengembalikan martabat bangsa, satu tindakan etis pada satu waktu.

Referensi

  1. Aristotle. (1999). Nicomachean Ethics. (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing Company.
  2. Kant, I. (2002). Groundwork for the Metaphysics of Morals. (A. W. Wood, Trans.). Yale University Press.
  3. Foucault, M. (1995). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
  4. Rawls, J. (1999). A Theory of Justice. Harvard University Press.
  5. Hardin, R. (1995). One for All: The Logic of Group Conflict. Princeton University Press.
  6. Giddens, A. (2007). Sociology. Polity Press.
  7. Bauman, Z. (1999). Liquid Modernity. Polity Press.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun