Mohon tunggu...
David Khadafi
David Khadafi Mohon Tunggu... Buruh - Debutan

Melesatlah bersama cinta seperti anak panah menuju sasarannya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesia Dalam Perspektif Psikoanalisis

17 Juli 2019   18:00 Diperbarui: 18 Juli 2019   08:49 1396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terkait itu, sebagai contoh, misalnya, bagaimana daya-daya psikis kita mengemudikan kita. Kendati banyak orang yang beranggapan bahwa media yang menjadi sebab dari fenomena-fenomena tersebut karena mengabaikan kaidah-kaidah jurnalistik; cover both sides dalam melakukan pemberitaan dan menyebarkan informasi. Juga insan pers yang kini cenderung pragmatis, mengedepankan clickbait dengan memilih diksi yang provokatif dalam judul berita yang diwartakan ketimbang subtansi dari informasi yang diwartakan.

Tapi, sebenarnya media adalah akibat bukan sebab. Media, berita dan koran akan mengubah apa yang mereka sampaikan pada kita ketika kita berfokus pada apa yang kita inginkan. Seperti halnya teori demand dan supply dalam ilmu ekonomi, kehidupan kita juga seperti itu.

Kemudian hoaks. Kenapa banyak orang yang percaya hoaks? Terlepas apapun profesinya, gelar akademisnya, terpelajar atau tidak, seberapa dalam atau dangkalnya ia berenang dalam lautan literasi, seberapa sering ia berselancar di media sosial, seberapa sempit atau luas pergaulannya.

Orang lebih cenderung percaya hoaks apabila informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki. Misal, seseorang memang sudah tidak setuju terhadap kelompok tertentu, ras tertentu, suku tertentu, produk, atau kebijakan tertentu. Ketika ada informasi yang dapat mengafirmasimenegaskan opini dan sikapnya tersebut, maka ia mudah percaya. Itu terjadi lantaran mereka dikemudikan oleh kekuatan yang tidak mereka sadari. Dengan kata lain, psikis orang-orang yang percaya hoaks mengalami ketimpangan, ketidakseimbangan, ketidakstabilan, alias Id, Ego dan Supergo mereka tidak balance.

Sehingga tidak heran mengapa mereka tidak skeptis, kritis, analitis dan sintesis dalam menerima dan mengolah sebuah informasi. Ini dapat mudah sekali dibuktikan, bahwa tidak sedikit dari mereka yang percaya hoaks memiliki gelar akademis, kendati demikian, mereka justru ikut terlibat aktif dalam memproduksi dan menyebarkan hoaks.

Proses dan sebab yang sama juga berlaku bagi seorang yang dihinggapi fanatisme. Kondisi Indonesia hari ini tidak beda dengan kondisi di Jerman pada pertengahan 1930-an. Jerman kala itu juga dilanda wabah fanatisme. Hitler memanipulasi ketakutan rakyatnya yang kemudian semakin membuat masyarakatnya fanatik juga beringas.

Hal yang sama kini juga kita alami. Rakyat kita dimanipulasi ketakutannya oleh elite-elite politik, semakin hari semakin takut, semakin takut semakin fanatik, dan semakin fanatik semakin beringas. Mereka yang fanatik disebabkan tidak adanya integrasi "instansi" psikis (Id, Ego dan Supergo) dalam merespon realitas atau kondisi luar. Dan sifat beringas itu merupakan puncak akumulasi Id yang terus dieksploitasi. Id seperti yang dijelaskan sebelumnya, di dalamnya terdapat dorongan-dorongan instingtif, agresif. Dorongan instingtif itu ada yang bersifat konstruktif, ada pula yang bersifat destruktif. Yang bersifat konstruktif disebut oleh Freud dengan istilah Eros---naluri kehidupan, sedangkan yang destruktif disebut dengan istilah Thanatos---naluri kematian.

Bagaimana dengan korupsi? Perilaku koruptif ini dapat kita temukan bukan saja dari berita-berita di televisi atau koran. Dalam kehidupan sehari-hari juga dapat kita temukan, dalam ruang lingkup pekerjaan, misalnya. Disamping faktor tidak ketatnya proses seleksi dalam perekrutan (recruitment), lemahnya pengawasan dan penegakan hukum yang rapuh.

Ternyata, faktor paling fundamen yang membuat seseorang berperilaku koruptif terletak pada tahapan perkembangan kepribadian di masa lalu sebelum menjadi dewasa.

Sebagaimana yang dijelaskan dalam psikoanalisis terkait Id, Ego dan Superego. Dalam ketiga "instansi" psikis tersebut selain memiliki energi, karakteristik dan sifat. Ketiga "instansi" psikis itu juga terbentuk akibat kontaknya dengan dunia luar, khususnya di tahap perkembangan kepribadian.

Tahap perkembangan kepribadian dalam psikoanalisis, terdiri dari tiga fase. Pertama, fase infantil (0-5 tahun), fase ini terbagi menjadi tiga fase penting; fase oral (0-1 tahun), fase anal (1-3 tahun) dan fase phallic (3-5 tahun).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun