Mohon tunggu...
Deni I. Dahlan
Deni I. Dahlan Mohon Tunggu... Penulis - WNI

Warga Negara Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Rahasia Air Suci

24 Mei 2021   05:10 Diperbarui: 24 Mei 2021   06:58 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rahasia air suci. (Pixabay)

Pemuda itu tiba di sebuah gubuk. Pondok dari kayu itu sungguh kumuh. Banyak daun berserakan di depannya, dan kalau dilihat dari dekat tampak kayu -- kayu sudah reot dimakan rayap.

Si pemuda berjalan ke arah pintu, lalu ia mengetuk pintu tipis itu. Tak berapa lama kemudian, seorang lelaki tua membukakan pintu dan mempersilahkan ia masuk.

"Hehe.. tak kusangka kau selamat." kata si cenayang.

"Dua kali kau menipuku!" kata si pemuda.

"Hei, apa masalahmu?"

"Kau bilang air itu ada di puncak gunung asing, tapi setelah kucari -- cari ternyata ada di dekatku sendiri! Kau benar -- benar penipu!"

"Aku tahu. Kau lelah karena berjalan jauh. Tenangkanlah dirimu dulu di kursi itu."

Si cenayang mengambil sesuatu dari balik dinding. Ia mengambil beberapa bonggol singkong. Singkong itu direbus lalu ditaruh di atas piring kecil.

"Jadi, kau sudah menemukannya?" tanya si cenayang sambil meletakkan singkong di atas meja.

"Untungnya sudah, karena kalau tak ketemu, mungkin aku akan bertambah marah dan menyerangmu."

"Hahaha.. Usaha tak pernah membohongi hasil. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia inginkan."

Si pemuda masih mendengus kesal.

"Kenapa kau menipuku?"

"Tidak, aku tidak menipumu. Aku meladeni keinginanmu. Kau bertemu dengan orang gunung?"

Si pemuda tak menjawab.

"Dan pencari lain?"

Ia masih diam.

"Kalian.. para pencari air itu.. datang kepadaku untuk menemukannya. Sebenarnya aku bisa menolak permintaan kalian, tapi karena keinginan kalian sudah terlalu kuat, kupikir tak ada gunanya menjelaskan kalau air itu tidak ada. Padahal air terjun itu hanya dongeng, tak lebih dari cerita pengantar tidur."

Si pemuda mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya.

"Kalau itu sebatas dongeng, lalu ini apa?" si pemuda menunjukkan sebuah botol bening itu.

Lalu ia melihat dalam botol itu, sebuah air terjun yang mengalir dari atas botol ke dasar botol. Air itu mengalir dengan deras.

"Itulah yang kumaksud, setiap orang akan mendapatkan apa yang diinginkannya. Kau ingin air itu, maka air itu yang akan kau temukan."

"Tapi bagaimana dengan para pencari lain? Mereka juga mencarinya tapi tak ketemu."

"Perlu kau tahu, air itu tak bisa ditemukan hanya dengan keinginan dan ambisi saja. Perlu ketundukan total saat mencarinya."

"Aku tak mengerti."

"Maksudku, ambisi dan keinginan perlu untuk menggerakkan pencarian. Tapi saat mereka mentok dan kau tetap memaksanya, kau akan lelah sendiri dan air itu tak ketemu."

Si pemuda masih mendengarkan.

"Jadi perlu ketundukan. Saat kau tidak ada jalan untuk bergerak mencari, dan kau sadar bahwa usaha seseorang ada batasnya, maka saat itu pintu ketundukanmu mulai terbuka."

"Air itu.. hanya memilih siapa -- siapa yang sudah berhasil membuka pintu itu."

Si pemuda itu menimang -- nimang botol itu.

"Jadi itulah sebabnya kau memberikan peta dan tombak itu kepada kami?"

"Ya. Aku membekali kalian dengan sebilah tombak dan sebuah peta, agar kalian benar -- benar menggunakan akal kalian untuk mencari air itu. Dan disitulah pancingannya, kalau kalian hanya mengandalkan akal saja, kalian akan bernasib seperti mayat di puncak gunung."

Si pemuda ingat seseorang. Ia seorang pencari, dan gugur di puncak gunung karena dia terlalu menuruti ambisinya.

"Tapi kalau seseorang tahu bahwa akal mereka terbatas, maka tombak dan peta itu akan memberikan yang mereka cari."

Si pemuda masih menatap botol itu.

"Jadi itu sebabnya, air ini muncul saat aku tak tahu harus bagaimana lagi?"

"Benar. Karena dengan ketidaktahuanmu, itu berarti kau mulai membuka pintu ketundukan, dan menyerahkan sisanya kepada alam."

"Tapi aku ingat, pencarianmu belum selesai. Air itu hanya pembantu untuk bergerak ke pencarian selanjutnya. Jadi mumpung singkong rebus itu masih mengepul hangat, cicipilah. Lalu tidurlah di kamarku. Besok aku akan melakukan bagianku."

Si pemuda pun menurut. Ia menyerahkan botol berisi air suci itu ke cenayang, lalu memakan beberapa bonggol singkong, dan menutup malam itu dengan tidur nyenyak.

Tamat

Cerita sebelumnya:
Secawan Air Suci

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun