Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Alasan Klasik Nasib Petani Food Estate

31 Januari 2023   13:58 Diperbarui: 31 Januari 2023   14:11 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani Kentang di Food Estate Kabupaten Humbang Hasundutan. Sumber Foto: Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian.

Heboh, serta silang pendapat soal nasib Food Estate diantara elit politik, menteri pertanian versus legislator, jadi perdebatan sengit karena program yang direncanakan sebagai lumbung pangan tersebut dianggap gagal.

Pihak kementerian pertanian tidak terima jika food estate di vonis gagal, sebaliknya pihak legislator, komisi IV DPR RI, mempertanyakan keakuratan data keberhasilan food estate yang digaungkan Kementan selama ini.

Kontroversi kedua belah pihak masih dalam tatanan wajar, dan sesuai dengan tupoksi masing-masing, pihak Kementan ingin menunjukkan progres keberhasilan pekerjaan mereka, sebaliknya pihak legislator melaksanakan fungsi controller mereka, jadi jangan terlalu naif mengaitkannya dengan rencana reshuffle kebinet, khususnya mengganti Menteri Pertanian.

Apa yang dilakukan pihak legislator sesuai dengan panggilan tugas mereka dan konstitusional sebagai fungsi pengawasan terhadap Food Estate yang menggunakan APBN, dan sejak awal Food Estate digadang-gadang sebagai sebagai program mitigasi ketahanan pangan nasional, terutama sebagai antisipasi pandemi Covid terhadap kontraksi ekonomi nasional.

Fungsi pengawasan yang dilakukan DPR ini justru bagus dan harus didukung karena selama ini memang lajim pelaksanaan program pemerintah sering dilakukan hanya sekedar penggunaan anggaran, pencitraan, dan ironisnya dilaksanakan dengan langkah "Kejar Tayang", sehingga tidak efesien dan efektif.

Food Estate di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara juga tidak terlepas dari kecurigaan "Kejar Tayang", atau dilaksanakan terburu-buru, khususnya saat musim tanam tahap pertama.

Berdasarkan penuturan petani, pembukaan lahan hutan jadi lahan pertanian holtikultura, baik kentang, bawang putih dan bawang merah semestinya butuh waktu panjang untuk menetralisir keasaman tanah, baru kemudian layak dilakukan penanaman.

Tetapi nyatanya, saat musim tanam pertama petani diwajibkan melakukan penanaman sesuai jadwal dan target yang ditentukan pihak Kementerian Pertanian.

Kebijakan tersebut akhirnya menimbulkan hasil panen tidak sesuai dengan harapan, bahkan sebagian petani mengalami gagal panen. Memang tidak semua petani di Food Estate Humbang Hasundutan mengalami nasib yang sama, ada yang berhasil, dan ada yang gagal.

Ada yang berhasil capai target, itulah yang ditonjolkan dalam acara panen perdana yang langsung dihadiri Presiden Joko Widodo, dan di framing sebagai bukti program Food Estate gilang gemilang.

Padahal dalam kenyataannya tidak semua petani berhasil, bahkan ada yang kemudian mundur teratur meninggalkan lahan Food Estate.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, jika pun pihak Kementan menyatakan Food Estate bukan gagal, tapi jumlah petani maupun lahan pertanian yang masuk kategori berhasil jumlahnya tidak lebih dari 70 persen.

Sebagaimana sebelum-sebelumnya, proyek lumbung pangan, mirip seperti program Food Estate saat ini, pernah dilaksanakan dan mengalami kegagalan juga, baik di masa Presiden Suharto maupun masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Fenomena itu memberi pengalaman dan kesimpulan bahwa pengembangan pertanian skala besar seperti Food Estate bukan merupakan sebuah pekerjaan yang mudah dilaksankan karena melibatkan petani yang selama ini terbiasa sebagai petani mandiri, bertani ala pengelolaan keluarga kecil (family farming).

Menggeser petani ala family farming menjadi petani modern skala besar harus mempertimbangkan aspek histori, kultur dan ekonomi. Secara histori petani yang dilibatkan di Food Estate Humbang Hasundutan secara turun temurun sejak zaman nenek moyang mereka merupakan petani tanaman tua dan hutan, yaitu petani yang mengandalkan hasil perkebunan Kemenyan, Andaliman dan Kopi.

Secara kultur mereka sudah terbiasa mengelola lahan perkebunan yang tidak tergantung dengan masa tanam dan masa panen dalam rentang waktu pendek, malah mereka sudah terbiasa merawat tanaman yang ada untuk menunggu hasil panen.

Kemenyan misalnya merupakan tanaman tua sebagai warisan pendahulu, kemudian Andaliman merupakan tanaman Endemik yang banyak di temukan di hutan tumbuh dan berkembang tanpa ditanam oleh petani, bahkan relatif tidak butuh dilakukan perawatan oleh petani.

Secara nilai ekonomis sudah barang tentu keuntungan yang diperoleh dari hasil panen tanaman tua lebih menguntungkan dibandingkan tanaman holtikultura seperti Kentang dan Bawang yang identik dengan sistem pengelolaan yang harus telaten, intensif dan butuh modal besar.

Sebagaimana lajimnya petani Holtikultura di Kabupaten Karo, salah satu daerah tetangga Kabupaten Humbang Hasundutan, pertanian Holtikultura, khususnya sayur mayur itu identik dengan "Gambling", penuh ketidak pastian harga jual, atau untung rugi, bahkan dianggap bagaikan berjudi, karena sangat rentan mengalami kerugian besar, dan sebaliknya jika beruntung bisa kayak mendadak.

Oleh karena itu untuk menjadi petani holtikultura dibutuhkan kesiapan mental, siap adu nasib, setidaknya harus memiliki jiwa entrepreneurship, yaitu jiwa siap menanggung resiko, tetapi tetap ulet, tidak gampang menyerah, serta harus bisa kreatif dan inovatif menghadapi segala kemungkinan, baik itu gagal panen, harga jual murah, maupun harga mahal. Semua itu mirip dengan spekulasi perdagangan di pasar saham, untung atau rugi sangat fluktuatif.

Dalam program Food Estate Humbang Hasundutan, petani tiba-tiba direkrut sebagai petani Holtikultura tanpa mempertimbangkan kesiapan mental sebagai petani holtikultura yang penuh dengan spekulasi, bahkan pada tahap musim tanam pertama mereka memperoleh fasilitas lumayan mencukupi, baik alsintan, bibit, pupuk dan bimbingan serta supervisi dari pihak Kementerian Pertanian.

Dukungan besar dari Pemerintah lewat Kementerian Pertanian merupakan berkah dan rejeki melimpah bagi petani, dan memberi secercah harapan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi tidak lama kemudian dihadapkan kepada pilihan pada musim tanam kedua mau jadi petani mandiri atau bekerjasama dengan perusahaan ?

Memasuki musim tanam kedua inilah timbul persoalan yang lebih rumit menimbulkan ancaman semakin besarnya persentase kegagalan pelaksanaan program Food Estate, baik karena banyak petani mundur, tidak siap jadi petani mandiri karena butuh modal sangat besar, atau  karena adanya ketidaksesuaian kesepakatan dengan pihak perusahaan sebagai mitra kerja.

Semua itu jika tidak ditangani melalui pendekatan komprehensif dan secara multidimensional, baik melalui pendekatan historis, kultural dan ekonomi maka program Food Estate memang sedang berada di tepi jurang kegagalan.

Konon salah satu persoalan klasik yang selalu menghantui para petani kita adalah tidak adanya jaminan memperoleh harga menguntungkan setiap saat, bahkan lebih sering dirundung duka harga murah penjualan hasil panen pertanian mereka.

Ironisnya, petani Humbang Hasundutan di Food Estate juga pernah menelan pil pahit ketika harga jual hasil panen mereka justru lebih murah diberikan Koperasi/Mitra Usaha dibandingkan harga jual di pasar induk maupun pasar tradisional, maupun dengan harga beli para eksportir sayur mayur di daerah tetangga Kabupaten Karo.

Salah satu persoalan mendesak yang rentan menjadikan Food Estate gagal adalah ketidak pastian jaminan harga yang sangat rentan menjadikan petani meninggalkan lahan pertanian holtikultura,  dan kecilnya daya tranmisi kenaikan harga hasil pertanian dapat dinikmati oleh petani itu sendiri.

Bukan merupakan rahasia lagi bahwa kenaikan harga komoditi pertanian selama ini justru lebih banyak memberi keuntungan kepada pedagang atau spekulan dibandingkan besaran yang diperoleh petani. Padahal bertani itu tidak ubahnya bagaikan berjudi dengan modal relatif besar bagi para petani.

Sebuah permenungan klasik yang melingkupi para petani kita sejak dahulu sampai kini, dan masih layak dipergunakan sebagai bahan refleksi di tengah diskursus kontroversial Food Estate "Untung" atau "Buntung". 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun