Padahal dalam kenyataannya tidak semua petani berhasil, bahkan ada yang kemudian mundur teratur meninggalkan lahan Food Estate.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, jika pun pihak Kementan menyatakan Food Estate bukan gagal, tapi jumlah petani maupun lahan pertanian yang masuk kategori berhasil jumlahnya tidak lebih dari 70 persen.
Sebagaimana sebelum-sebelumnya, proyek lumbung pangan, mirip seperti program Food Estate saat ini, pernah dilaksanakan dan mengalami kegagalan juga, baik di masa Presiden Suharto maupun masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Fenomena itu memberi pengalaman dan kesimpulan bahwa pengembangan pertanian skala besar seperti Food Estate bukan merupakan sebuah pekerjaan yang mudah dilaksankan karena melibatkan petani yang selama ini terbiasa sebagai petani mandiri, bertani ala pengelolaan keluarga kecil (family farming).
Menggeser petani ala family farming menjadi petani modern skala besar harus mempertimbangkan aspek histori, kultur dan ekonomi. Secara histori petani yang dilibatkan di Food Estate Humbang Hasundutan secara turun temurun sejak zaman nenek moyang mereka merupakan petani tanaman tua dan hutan, yaitu petani yang mengandalkan hasil perkebunan Kemenyan, Andaliman dan Kopi.
Secara kultur mereka sudah terbiasa mengelola lahan perkebunan yang tidak tergantung dengan masa tanam dan masa panen dalam rentang waktu pendek, malah mereka sudah terbiasa merawat tanaman yang ada untuk menunggu hasil panen.
Kemenyan misalnya merupakan tanaman tua sebagai warisan pendahulu, kemudian Andaliman merupakan tanaman Endemik yang banyak di temukan di hutan tumbuh dan berkembang tanpa ditanam oleh petani, bahkan relatif tidak butuh dilakukan perawatan oleh petani.
Secara nilai ekonomis sudah barang tentu keuntungan yang diperoleh dari hasil panen tanaman tua lebih menguntungkan dibandingkan tanaman holtikultura seperti Kentang dan Bawang yang identik dengan sistem pengelolaan yang harus telaten, intensif dan butuh modal besar.
Sebagaimana lajimnya petani Holtikultura di Kabupaten Karo, salah satu daerah tetangga Kabupaten Humbang Hasundutan, pertanian Holtikultura, khususnya sayur mayur itu identik dengan "Gambling", penuh ketidak pastian harga jual, atau untung rugi, bahkan dianggap bagaikan berjudi, karena sangat rentan mengalami kerugian besar, dan sebaliknya jika beruntung bisa kayak mendadak.
Oleh karena itu untuk menjadi petani holtikultura dibutuhkan kesiapan mental, siap adu nasib, setidaknya harus memiliki jiwa entrepreneurship, yaitu jiwa siap menanggung resiko, tetapi tetap ulet, tidak gampang menyerah, serta harus bisa kreatif dan inovatif menghadapi segala kemungkinan, baik itu gagal panen, harga jual murah, maupun harga mahal. Semua itu mirip dengan spekulasi perdagangan di pasar saham, untung atau rugi sangat fluktuatif.
Dalam program Food Estate Humbang Hasundutan, petani tiba-tiba direkrut sebagai petani Holtikultura tanpa mempertimbangkan kesiapan mental sebagai petani holtikultura yang penuh dengan spekulasi, bahkan pada tahap musim tanam pertama mereka memperoleh fasilitas lumayan mencukupi, baik alsintan, bibit, pupuk dan bimbingan serta supervisi dari pihak Kementerian Pertanian.