Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Sistem Pemilu Proporsional Tertutup Jalan Perbaikan Kualitas Pemilu 2024

22 Januari 2023   03:25 Diperbarui: 22 Januari 2023   06:22 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: rakyatmerdeka.id

Diskursus dan perdebatan sengit mencari format ideal pelaksanaan sistem pemilihan umum 2024 semestinya jangan hanya dipandang sebagai kepentingan politik, tetapi harus dikaji dari sudut pandang tujuan pemilu yang berorientasi kepada peningkatan mutu out put atau produk pemilu itu sendiri.

Salah satu produk dari pelaksanaan pemilu, khususnya pemilihan legislatif (Pileg) adalah terpilihnya para legislator atau Anggota DPR / DPRD yang mumpuni serta berkualitas dalam fungsi legislasi, fungsi penganggaran, maupun fungsi pengawasan sesuai dengan harapan masyarakat.

Terpilihnya anggota legislatif yang mumpuni dan berkualitas merupakan kebutuhan mendesak dan layak jadi prioritas utama dalam pelaksanaan Pemilu 2024 sebagai salah satu jalan menuju peningkatan kualitas pemilu di tengah semakin memudarnya arti penting Pemilu di mata masyarakat.

Terdegradasinya arti penting pemilu secara paralel juga menyebabkan semakin memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap peran dan fungsi anggota DPR / DPRD.

Oleh karena itu untuk menghindari arti penting pemilu semakin menuju titik nadir, dalam pelaksanaan Pemilu 2024 semestinya tidak lagi hanya bicara tentang prosedural pemilu, tetapi diperlukan peningkatan kualitas pemilu secara substansial.

Yaitu melalui peningkatan perbaikan sistem pelaksanaan pemilu diharapkan akan menghasilkan produk pemilu yang berkualitas juga.

TANTANGAN PEMILU BERKUALITAS 

Salah satu faktor penyebab timbulnya pandangan sinis dari masyarakat terhadap arti penting pemilu sebagai sarana demokratisasi adalah pengalaman buruk selama ini yang menunjukkan betapa kecewanya masyarakat terhadap kinerja anggota legislator yang dianggap tidak mampu membawa dan merealisasikan aspirasi masyarakat.

Anggota DPR / DPRD sering dipandang bagaikan hidup di menara gading, sulit dijangkau masyarakat, dan sebaliknya anggota legislator juga merasa tidak  memiliki kewajiban pribadi untuk selalu berada ditengah masyarakat, dan merasa  tidak amat penting mendengar, serta meluluskan harapan masyarakat karena sejatinya hubungan yang terjadi dalam proses pemilihan anggota legislator adalah berdasarkan relasi transaksional alias jual beli suara pemilih, bukan berdasarkan kepentingan memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Akibat bentuk relasi transaksional dalam pemilu ini menjadikan anggota dewan merasa tidak mempunyai beban untuk memperjuangkan harapan atau aspirasi masyarakat karena toh saat pemilu  tiba suara masyarakat akan diperoleh lagi lewat cara beli (money politics) atau proses transaksional.

Mencari akar masalah dimana sesungguhnya yang salah dan siapa yang salah dalam praktek politik transaksional ini, tak ubahnya bagai mempertanyakan mana duluan ada telur atau ayam. Rumit dan sudah bagaikan benang kusut yang sulit dicari mana ujung pangkalnya.

Anggota legislatif memandang masyarakat sudah terjangkit penyakit akut opurtunis dan pragmatis, dan sebaliknya masyarakat memandang anggota dewan tidak berkualitas dan tidak memiliki idiologi yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat, tidak berkualitas, korup dan hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya.

Oleh karena memiliki pandangan buruk dan saling tidak mempercayai oleh kedua belah pihak maka hilanglah nilai-nilai idealisme yang secara inplisit terkandung dalam arti dan fungsi pemilihan umum sesungguhnya.

Pemilihan umum bukan lagi memiliki peran untuk memilih anggota legislator yang dianggap mampu sebagai saluran aspirasi masyarakat, tetapi anggota legislator terpilih hanya berdasarkan memiliki uang yang banyak membeli suara konstituen.

Berdasarkan kecenderungan yang terjadi dalam pelaksanaan pemilu beberapa periode terakhir yang dominan diwarnai oleh praktek pemilihan berbentuk transaksional atau money politics maka tanpa disadari terjadi degradasi terhadap arti dan fungsi pemilu, serta menyusutnya marwah anggota legislator di mata masyarakat. 

Seiring dengan itu sudah barang tentu terjadi keruntuhan kualitas pemilihan umum. Pemilu hanya sebagai agenda prosedural dimanfaatkan oleh para pemilik modal mencapai tujuan pribadi lewat institusi legislatif.

Anggota Dewan memiliki jarak semakin jauh dari masyarakat, dan masyarakat juga merasa terasing dari anggota legislator yang semestinya sebagai kepanjangan tangan masyarakat dalam memperjuangkan aspirasinya.

Dalam pelaksanaan pemilu 2024 jika ingin berbicara tentang niat memperbaiki kualitas pemilu, khususnya keinginan untuk meningkatkan peran dan fungsi anggota dewan maka tidak dapat dihindari salah satu jalan terbaik melakukan perubahan adalah lewat perbaikan sistem pelaksanaan pemilu itu sendiri.

PROPORSIONAL TERBUKA VS TERTUTUP 

Berbicara perihal perbaikan kualitas produk Pemilu 2024 tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa runtuhnya kualitas pemilu selama ini diakibatkan oleh maraknya praktek pemilihan umum secara langsung dengan cara politik transaksional atau jual beli suara alias money politics.

Untuk meningkatkan kualitas pemilu tidak bisa dipungkiri salah satu cara terbaik yang harus dilakukan adalah memberangus praktek money politics, bukan hanya sekedar mempertentangkan mana yang terbaik diantara sistem pemilu proporsional terbuka dengan proporsional tertutup.

Kedua sistem tersebut sama-sama memiliki kekurangan dan keunggulan tetapi salah satu diantaranya harus dipilih sebagai mekanisme pelaksanaan pemilihan umum yang sesuai dengan harapan dan kondisi terkini, sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu.

Saat ini, berdasarkan pelaksanaan pemilu sebelumnya marak praktik money politics yang dilakukan oleh person atau oknum calon anggota legislatif sebagai peserta pemilu, dilakukan oleh individu, bukan dilakukan oleh institusi atau partai politik.

Hal ini terjadi karena yang berkompetisi dalam pemilihan umum didominasi oleh persaingan ketat individu calon anggota legislatif, baik persaingan ketat secara internal partai maupun persaingan individu antara partai politik.

Sistem pemilihan proporsional terbuka yang didasarkan kepada perhitungan perolehan suara tertinggi menentukan anggota legislatif terpilih sesuai dengan hitungan matematik sistem sainte league maka tidak bisa tidak setiap caleg (Calon Legislatif) harus bertarung secara personal untuk memperoleh pemilih.

Dinamika ini secara tidak langsung menyebabkan semakin memudarnya peran dan fungsi partai politik, karena dalam menentukan pilihan para konstituen tidak lagi berdasarkan pertimbangan platform, atau idiologi maupun visi misi partai, tetapi hanya berdasarkan nilai jual atau harga personal caleg yang cenderung diukur dengan pertimbangan uang jual beli suara.

Dalam kondisi seperti ini sebenarnya partai politik tidak berdaya, terjadi keruntuhan marwah partai, karena caleh terpilih juga merasa keberhasilannya jadi anggota legislatif bukan karena faktor partai politik. 

Ironisnya partai politik dalam sistem pemilihan proporsional terbuka saat ini tidak bisa sembarangan memberi sanksi pencopotan atau pergantian antar waktu terhadap anggota dewan yang dianggap menyimpang dari kebijakan partai karena para anggota dewan juga memiliki kesempatan secara konstitusional menuntut partai politik yang dianggap mengabaikan kepentingan dan hak personal anggota dewan.

Oleh karena itu untuk memperbaiki kualitas produk atau hasil / out put pemilihan umum dimasa mendatang salah satu pekerjaan rumah mendesak untuk dilakukan adalah meningkatkan peran dan keberadaan partai politik sebagai peserta pemilihan umum sesungguhnya.

Tujuannya bukan untuk menjadikan partai politik sebagai lembaga yang memiliki otoritas yang kuat belaka, tetapi mengembalikan fungsi partai politik sebagai peserta pemilihan umum sesungguhnya, dan bukan menjadikan caleg sebagai aktor utama peserta pemilu.

Berdasarkan pertimbangan maraknya praktek money politics yang disebabkan oleh kompetisi keras yang tidak sehat secara individual diantara sesama caleg maka dipandang perlu mengembalikan partai politik sebagai aktor utama pesrta pemilihan umum lewat pelaksanaan sistem pemilihan umum proporsional tertutup.

Dengan sistem proporsional tertutup dimana yang dipilih adalah tanda gambar partai politik, bukan memilih orang calon anggota legislatif, diharapkan akan terjadi proses meningkatkan peran dan fungsi partai politik sebagai peserta pemilu sesuai dengan isi undang-undang pemilihan umum.

Melalui sistem pemilihan umum proporsional tertutup juga diharapkan partai politik akan berkompetisi dengan mengutamakan peningkatan kualitas internal partai baik itu dalam dimensi idiologi, platform maupun visi misi sebagai keunggulan komperatif dan nilai jual menentukan tingkat elektabilitas dalam kontestasi.

Selain meningkatkan peran dan fungsi partai politik, sistem proporsional tertutup diharapkan akan terjadi proses pelembagaan partai politik, serta menjadikan partai politik sebagai faktor penentu anggota legislatif yang layak didudukkan dan kemudian memiliki wewenang untuk menindak anggota dewan yang tidak mampu mengaktualisasikan platform partai politik itu sendiri.

Demikian juga masyarakat akan memberikan reward maupun hukuman yang mengarah kepada partai politik yang dianggap tidak sesuai dengan harapan masyarakat, dengan demikian partai politik juga akan berupaya selalu meningkatkan nama baik (brand) untuk melekat atau menancap dalam benak konstituen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun