Dalam konteks ini mengeratkan hubungan antar negara, antar etnis, dan antar agama, sehingga masyarakat tidak hanya hidup rukun. Tetapi mampu berkontribusi dalam pembangunan tanpa adanya rasa kecurigaaan dan kesalahpahaman.
"Kita semua tentu sepakat bahwa Indonesia adalah pohon yang berdiri tegak, rimbun dan berbuah lebat, pengandaian Indonesia yang maju dan beradab. Indonesia haruslah mampu memakmurkan, memajukan dan memberi rasa keadilan bagi seluruh rakyat dengan pembangunan yang bukan lagi mitos, tetapi maujud menjadi etos bangsa yang konstruktif, visioner, antisipatif, progresif, kritis dan berkelanjutan," ujar alumnus Fakultas Hukum UGM itu.
Sultan kemudian memaparkan tiga tataran dalam Pancasila.
Pertama, nilai dasar normatif, bersifat abstrak dan tetap.
Nilai dasar tersebut berkaitan dengan tujuan, cita-cita, tatanan dasar dan ciri khas, serta yang tertanam dalam kontitusi.
Kedua, nilai instrumental, yang merupakan peraturan perundangan, terutama yang menberi arah kebijakan, serta program dan strategi yang menindaklajuti nilai dasar.
Ketiga, nilai praksis, yakni merealisasikan nilai-nilai Pancasila. Nilai praksis menjadi pertarungan antara nilai-nilai ideal dan aktual. Dari nilai praksis ini kita bisa mengetahui tegak atau lemahnya nilai dasar dan nilai instrumental. Nilai praksis tampak dari kualitas aktualisasi nilai Pancasila di lapangan.
Tiga tataran ini, ujar Sultan, sekaligus menjadi pengingat bagi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) untuk menyelesaikan tugasnya.
Sultan kemudian menambahkan, institusionalisasi yang diimbangi dengan internalisasi menjadi tantangan bagi BPIP. Mereka harus menuntaskannya dalam semua level supra-struktur, infrastruktur politik, sampai implementasinya.
"Jika Boedi Oetomo adalah penyemai cita-cita, Soempah Pemoeda mempertegas bingkainya, Proklamasi menancapkan tonggak perwujudannya, Revolusi adalah masa menegakkan cita-cita itu. Dan kini, generasi berikutnya, tinggallah mewujudkannya," ujar Sultan menutup orasinya.