Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Prolegnas Prioritas Tahun 2021 dan Tarik Ulur Revisi UU ITE

11 Maret 2021   16:43 Diperbarui: 11 Maret 2021   17:57 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) bersama dengan Ketua Badan Legislasi DPR, dan DPD telah menyepakati Rancangan Undang-Undang untuk direvisi dan diprioritaskan dalam Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) tahun 2021. Beberapa RUU yang disuarakan masyarakat kini masuk dalam prolegnas.

Diantaranya ada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yang beberapa waktu lalu justru ditarik dari prolegnas, kini RUU yang melindungi korban kekerasan seksual tersebut masuk kembali dalam prolegnas. Selain RUU Penghapusan Kekerasan seksual, ada juga RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

RUU ini penting agar para pekerja rumah tangga mendapat payung hukum yang jelas, mengingat pekerjaan semacam ini tidak terdapat dalam Undang-Undang Tenaga Kerja.

Banyak dari pekerja rumah tangga yang hak-haknya justru tidak dipenuhi, bahkan ada yang sampai dilecehkan, beberapa waktu lalu sempat mencuat asisten rumah tangga yang diperlukan tidak manusiawi oleh majikannya, si pekerja upahnya tidak diberikan, dan dipaksa memakan makanan sisa, hal tersebut mungkin bisa diminimalisir jika RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga berhasil disahkan.

RUU Larangan Minuman Beralkohol yang sempat mandeg kini masuk kembali dalam prolegnas. RUU ini sempat mengalami penolakan karena bisa mematikan sektor usaha para pembuat minol, yang kemudian RUU ini ditunda pembahasannya.

Setelah ditunda pembahasannya, Presiden mengeluarkan Perpres tentang Legalisasi Investasi Miras, itu pun mengalami penolakan, akhirnya Pepres tersebut dicabut, tetapi RUU Larangan Minuman Beralkohol justru masuk kembali dalam prolegnas, bisa dilihat bagaimana inkonsistensinya pemerintah dan DPR dalam membuat suatu peraturan perundang-undangan.

Inkonsistensi juga bisa dilihat dari tidak adanya revisi UU ITE dalam prolegnas prioritas tahunan, padahal Presiden Joko Widodo meminta agar UU ITE direvisi, mengingat UU ITE yang menjadi hulu budaya saling lapor. Presiden juga meminta agar masyarakat lebih kritis terhadap pemerintah, tetapi hal itu sukar dilakukan jika pasal-pasal karet dalam UU ITE masih belum direvisi.

Alasan Kemenkumham sendiri belum memasukkan revisi UU ITE ke dalam prolegnas adalah pemerintah masih melakukan kajian soal UU ITE, untuk itu belum mengusulkan revisi UU ITE masuk dalam prolegnas priotitas tahunan. Instruksi Presiden Joko Widodo sendiri tentang revisi UU ITE ditanggapi berbeda oleh para pembantunya.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (kominfo) justru mengatakan bahwa UU ITE hadir sebagai upaya untuk melindungi ruang digital Indonesia, terkait pasal-pasal karet yang ada di UU ITE, itu sudah diuji berkali-kali ke Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa itu tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, artinya pasal-pasal yang ada dalam UU ITE itu konstitusional.

Kominfo justru mengusu.lkan agar menerbitkan suatu penafsiran resmi dari pemerintah terhadap pasal-pasal karet yang ada di UU ITE. Tujuannya adalah agar pasal-pasal tersebut menjadi tidak karet. Jika dosen pembimbing menyatakan bahwa skripsi yang kita buat harus direvisi, maka sebaiknya revisi skripsi tersebut, bukan malah menyelipkan selembaran terkait hal-hal yang harus direvisi ke dalam skripsi.

Argumen penolakan berkali-kali oleh Mahkamah Konstitusi terkait UU ITE tidak bisa dijadikan acuan bahwa suatu undang-undang perlu direvisi atau tidak. Terkadang putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa suatu pasal dalam undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tidak serta merta oleh DPR ditindaklanjuti dengan merevisi pasal-pasal terkait.

Pasal-pasal yang dinyatakan bertentangan oleh Mahkamah Konstitusi yang mana sejatinya DPR mempunyai kewajiban moral untuk merevisi pasal-pasal tersebut kadang tidak dilakukan. Logika yang sama juga bisa digunakan pada pasal-pasal yang ditolak oleh Mahkamah Kostitusi dalam judicial review. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak bisa dijadikan sebagai acuan apakah suatu undang-undang perlu direvisi atau tidak.

Lain lagi respon dari Kementerian Koordinator Politik Hukum dan HAM, Kemenkopolhukam membuat tim ahli untuk mengkaji pasal-pasal karet yang ada dalam UU ITE ini. Berbeda dari dua kementerian tersebut, respon yang dikeluarkan oleh Kapolri adalah mengeluarkan Surat Edaran tentang Beretika di Ruang Digitial.

SE tersebut memang dinilai bisa efektif dalam menangani kasus-kasus UU ITE karena menggunakan pendekatan restorative justice.
Tetapi alangkah lebih baik jika hal tersebut diterapkan dalam undang-undang yang mana dari segi hierarkies jauh lebih kuat dibandingkan dengan Surat Edaran.

Jika hal tersebut sudah diterapkan dalam undang-undang, maka ada kewajiban yang menyertainya, tidak hanya kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum, karena penegak hukum sejatinya menjalankan hukum itu sebagaimana mestinya. Artinya SE Kapolri tersebut sifatnya sementara.

Adanya respon yang berbeda dari para pembantu presiden membuat UU ITE tidak masuk ke dalam prolegnas priotiras tahun 2021, hal tersebut bisa membuat stigma bahwa kebijakan-kebijakan tersebut justru hanya mengulur waktu agar UU ITE tidak direvisi, padahal jelas perintah Presiden adalah revisi.
Namun sayangnya perintah tersebut ditangkap berbeda-beda oleh para pembantunya. Seperti sedang bermain-main bola guna mengulur-ulur waktu, begitu kiranya.

Padalah upaya revisi UU ITE bisa dijadikan momen untuk memperbaiki indeks demokrasi Indonesia yang menurun, adanya UU ITE justru menjadikan masyarakat enggan untuk mengkritik pemerintah, padahal pemerintah sendiri meminta agar warganya untuk lebih giat mengkritik.

Adanya bayang-bayang ancaman pidana dalam UU ITE membuat kritik itu tidak berjalan, padahal kritik itu instrumen yang penting dalam negara demokrasi. Kritik bisa menjadi vitamin bagi pemerintah agar pemerintahan berjalan dengan sehat. Jika tubuh kekurangan banyak vitamin, maka berbagai penyakit bisa muncul, begitu juga dengan pemerintahan. Potensi abuse of power bisa saja terjadi.

Padahal pemerintah saat ini seperti tanpa oposisi, oposisi dan pemerintah tidak seimbang. Tentunya  kritik perlu dilakukan. Logika yang sama juga bisa dipakai dalam revisi UU ITE, karena pendukung pemerintah di parlemen gemuk, maka sejatinya revisi UU ITE bisa berjalan mulus, tetapi nyatanya tidak demikian.

Nyatanya dominan atau tidaknya oposisi maupun pendukung pemerintah tidak serta merta membuat suatu revisi undang-undang bisa berjalan dengan mulus. Artinya ada variabel lain, bisa saja kepentingan atau bahkan politik. Terkadang variabel politik justru menjadi dominan, hal itu semakin memperkuat bahwa hukum itu merupakan produk politik. Kuat atau tidaknya kekuatan politik akan memuluskan suatu kebijakan atau rancangan undang-undang.

Maka jika variabel poltik lebih dominan dalam pembentukan suatu perundang-undangan, tentunya bertentangan dengan supremasi hukum. Seharusnya negara yang menganut supremasi hukum politik merupakan variabel yang terpengaruh oleh hukum, bukan sebaliknya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun