Di tengah hingar-bingar skena musik independen dan geliat pertunjukan gigs yang kian marak, muncul satu nama yang menyita perhatian: Mothers Child. Band ini bukan sekedar tampil penuh energi di panggung, tetapi juga membawa pesan identitas, kebanggaan terhadap ibu, dan semangat untuk membalikkan stigma tentang anak punk.
Band beranggotakan empat mahasiswa Program Studi Etnomusikologi ini terdiri dari Maulana (vokal & bass), Muhammad Fachriansyah (gitar 1), Fahmi Nabil (gitar 2), dan Daniel Purba (drum). Meski berasal dari disiplin ilmu yang lekat dengan budaya dan musik tradisional, mereka memilih jalan berbeda: Nge -- Punk
Dari Anak Mamah Menjadi "Mothers Child"
Nama Mothers Child memiliki makna mendalam. "Kami semua laki-laki, dan kami semua anak dari seorang ibu," jelas Maulana. Band ini ingin menegaskan bahwa di balik gaya dan pilihan musik mereka yang keras dan lantang, ada penghormatan terhadap figur ibu. "Biasanya anak laki-laki itu punya kedekatan khusus dengan mamahnya, dan itu jadi identitas kami juga," tambahnya.
Penambahan huruf "s" pada "Mothers" menandakan bahwa mereka datang dari lebih dari satu ibu. Sebuah simbol kebersamaan yang juga menunjukkan bahwa meski berbeda latar, mereka disatukan oleh rasa hormat terhadap sosok ibu dan nilai keluarga.
Punk sering mendapat label buruk. Identik dengan pakaian serba hitam, tampilan dekil, tindikan, hingga sikap bengal. Mothers Child hadir untuk melawan stigma tersebut. "Kami ingin membuktikan bahwa anak punk itu nggak selalu negatif, dekil, atau urakan. Kami justru ingin membawa punk ke arah yang lebih berisi, jujur, dan relevan," ujar Maulana.
Mereka berkiblat pada band legendaris seperti Sex Pistols dari luar negeri dan Rebellion Rose dari Indonesia. Namun berbeda dari banyak band punk lain, Mothers Child lahir dari dunia akademik seni. Ini memberi mereka landasan musikal yang kuat dan sudut pandang yang unik. "Kita ini anak Etnomusikologi, tapi kita juga ingin tunjukkan bahwa bisa berkembang mengikuti zaman. Musik etnis tetap di hati, tapi saat ini kami sedang menyuarakan keresahan lewat punk," kata mereka.
Mothers Child sudah memiliki dua lagu original. Salah satunya berjudul "Hey Saudaraku", yang jadi semacam pernyataan sikap mereka terhadap pandangan miring orang-orang tentang dunia punk. Reff lagunya menyuarakan pemberontakan dan tekad untuk tetap berdiri tegak:
"Segugur-gugurnya kami di jalanan,Â
Kami mempunyai prospek sendiri
Persetan semua cacian kalian
Kami memegang kendali"
Lagu ini menjadi semacam manifesto: meski banyak disalahpahami, mereka tetap akan berkarya sesuai idealisme. Dan yang menarik, mereka tengah menyiapkan satu lagu baru yang akan lebih personal: tentang ibu.
Perjalanan manggung Mothers Child tidak selalu mulus. Mereka mengaku sempat tiga kali ditolak tampil di Solo. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat mereka. "Kita nggak putus asa. Akhirnya bisa tampil di Jampas Flores dan Pesta Rakyat. Sekarang kita lagi coba daftar lagi ke Solo tapi lewat event yang berbeda," ujar Maulana.
Yang membanggakan, kampus tempat mereka belajar sama sekali tidak membatasi ekspresi mereka. "Alhamdulillah, kampus justru mendukung. Kita bebas berekspresi asal tetap bertanggung jawab," katanya. Tentu saja, mereka sadar pentingnya menjaga nama baik almamater. "Itu udah jadi prinsip. Kita harus bikin bangga almamater juga."
Dengan latar belakang Etnomusikologi, banyak yang bertanya apakah mereka tak ingin menggabungkan unsur musik tradisional dalam karya punk mereka. Ternyata, ide itu sudah ada dalam pikiran mereka. "Kepikiran sih. Cuma sekarang kita lagi fokus ke rilisan lagu-lagu dulu. Mungkin setelah itu kita coba eksplor perpaduan punk dan musik etnis," ungkapnya.
Jika terwujud, ini bisa menjadi warna baru dalam skena musik punk Indonesia. Bayangkan irama gamelan atau petikan kecapi bersanding dengan distorsi gitar dan gebukan drum khas punk.
Menuju Ruang yang Lebih Besar
Mothers Child kini terus bergerak. Meski masih dalam tahap awal, semangat mereka jelas: berkarya jujur, membawa pesan, dan membuktikan bahwa punk tidak selalu identik dengan hal negatif. Dukungan dari teman, kampus, dan komunitas gigs menjadi bahan bakar semangat mereka. "Kami ingin dikenal bukan hanya karena gaya, tapi karena pesan dari musik kami," tutup Maulana.
Dengan semangat kolektif dan akar yang kuat baik di rumah maupun kampus, Mothers Child adalah contoh nyata bahwa anak muda bisa berbeda tanpa melupakan siapa dirinya. Musik mereka adalah jeritan jujur dari anak-anak ibu, yang ingin didengar, dimengerti, dan dihargai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI