"Segugur-gugurnya kami di jalanan,Â
Kami mempunyai prospek sendiri
Persetan semua cacian kalian
Kami memegang kendali"
Lagu ini menjadi semacam manifesto: meski banyak disalahpahami, mereka tetap akan berkarya sesuai idealisme. Dan yang menarik, mereka tengah menyiapkan satu lagu baru yang akan lebih personal: tentang ibu.
Perjalanan manggung Mothers Child tidak selalu mulus. Mereka mengaku sempat tiga kali ditolak tampil di Solo. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat mereka. "Kita nggak putus asa. Akhirnya bisa tampil di Jampas Flores dan Pesta Rakyat. Sekarang kita lagi coba daftar lagi ke Solo tapi lewat event yang berbeda," ujar Maulana.
Yang membanggakan, kampus tempat mereka belajar sama sekali tidak membatasi ekspresi mereka. "Alhamdulillah, kampus justru mendukung. Kita bebas berekspresi asal tetap bertanggung jawab," katanya. Tentu saja, mereka sadar pentingnya menjaga nama baik almamater. "Itu udah jadi prinsip. Kita harus bikin bangga almamater juga."
Dengan latar belakang Etnomusikologi, banyak yang bertanya apakah mereka tak ingin menggabungkan unsur musik tradisional dalam karya punk mereka. Ternyata, ide itu sudah ada dalam pikiran mereka. "Kepikiran sih. Cuma sekarang kita lagi fokus ke rilisan lagu-lagu dulu. Mungkin setelah itu kita coba eksplor perpaduan punk dan musik etnis," ungkapnya.
Jika terwujud, ini bisa menjadi warna baru dalam skena musik punk Indonesia. Bayangkan irama gamelan atau petikan kecapi bersanding dengan distorsi gitar dan gebukan drum khas punk.