Jika musim penghujan tiba, desa akan segera menggeliat, seperti ular naga bangun dari pertapaan panjangnya. Hiruk-pikuk suara penduduk terdengar di sana-sini, membawa semangat baru, semua memulai hidup baru, mengadu nasib berjibaku dengan ladang mereka. Menanam jagung, ubi jalar, singkong, dan kacang-kacangan.
Ternak-ternak pun ikut bergembira, karena persediaan rumput bakal melimpah dan perut mereka menjadi bulat kekenyangan.
Umumnya setiap rumah di desaku mempunyai kolam ukuran besar, dari bata dan semen. Digunakan untuk menampung air hujan sebagai persediaan air bersih untuk mencuci dan mandi.
Hujan merupakan anugerah yang sangat besar bagi orang-orang di desaku, meskipun di wilayah lain, musim hujan bisa jadi bencana banjir dan air dibiarkan hilang dan terbuang.
***
Gaplek makanan pokok masyarakat di desaku, kadang diselingi dengan nasi jagung atau ubi jalar rebus. Makan nasi sangat jarang, sebulan sekali itu yang paling sering. Untuk menghemat beras, kadang nasi dicampur beras jagung. Biasanya yang membuat beras jagung itu Lik Jum, adiknya si Mbok.
Kehidupan sehari-hari masyarakat di desaku sangat sederhana, tidak ada suara radio apalagi televisi, meskipun listrik sudah masuk desa. Benar-benar suasana yang sangat klasik : suara belalang, jangkrik, gerombolan burung pipit gemericit mengeroyok gundukan rumput kering, mencari biji-bijian rumput.
Petok ayam juga bersahut-sahutan, apalagi jika ada ayam betina yang baru saja bertelur, seluruh warga desa akan mendengarnya. Ada yang paling asyik, bahan bisik-bisik warga, suara burung Cungcuing, si burung sakral. Sebab suaranya dianggap sebagai penanda akan adanya orang mati. Di situlah mereka akan saling tebak dan mencari, siapa yang meninggal hari ini atau besok.
***
Si Mbok, begitu aku memanggil ibuku, panggilan yang paling hangat aku rasakan dibandingkan Mama, Mami, Umi, Bunda, atau Mom. Si Mbok sebulan sekali pergi ke kota, biasanya rombongan empat lima orang berjalan bersama. Berangkat ketika hari masih gelap, menyusuri tegal singkong. Hingga menjelang senja, mereka tiba kembali di desa dengan membawa sedikit hasil belanja dari kota, beras, garam, gula, sabun, odol, dan beberapa keperluan dapur yang lainnya.
Tapi aku sangat bangga dilahirkan di desa yang tandus ini. Desa mengajarkan aku selalu serius menghadapi segala sesuatu, membentuk tubuhku terlatih untuk bekerja keras, menguatkan jiwaku, tangguh menghadapi tantangan dan rintangan. Nuraniku mengutamakan kekeluargaan, toleransi, kerjasama, dan empati. Itulah hal yang membedakan desa dengan kota.
***
Pagi masih gelap, teriakan ayam jago belum juga selesai membangunkan orang-orang desa. Angin menerobos masuk lewat sela-sela daun jendela yang tidak rapat menutup. Si Mbok sudah ngluthek di dapur, entah apa yang dikerjakannya.
Atas kehendak Gusti aku akan meninggalkan desa kelahiranku untuk sementara. Aku diterima di sebuah perguruan tinggi negeri, di kota yang jauh dari desaku. Do’a bertubi-tubi datang dari saudara-saudaraku. Si Mbok tidak henti-hentinya menangis, nenuwun marang Gusti Allah, agar aku selamat dan sukses.Â