Evaluasi Efektivitas Pemilu Serentak 2019
Kajian empiris menunjukkan bahwa Pemilu Serentak 2019 menimbulkan voter fatigue, kesalahan input data, dan bahkan korban jiwa akibat beban kerja berlebih di tingkat KPPS. Kompleksitas lima surat suara dalam satu hari membuat banyak pemilih kesulitan menentukan pilihan secara rasional. Dari sisi kelembagaan, koordinasi antar lembaga seperti KPU, Bawaslu, dan Kemendagri juga belum sinkron, menyebabkan berbagai hambatan teknis dan logistik.
Berdasarkan teori efektivitas kebijakan Randall B. Ripley dan Grace A. Franklin, Fathurrahman menilai bahwa kebijakan pemilu serentak gagal memenuhi tiga indikator utama: kepatuhan hukum, kelancaran pelaksanaan fungsi, dan tercapainya hasil yang diharapkan. Artinya, sistem serentak belum layak dipertahankan tanpa modifikasi mendasar.
Argumentasi Akademik Pemisahan Pemilu
Menurut Sri Asriana Al Maida (2022), pemisahan pemilu nasional dan lokal akan memberikan tiga manfaat strategis:
1. Meningkatkan fokus pemilih dalam menilai calon legislatif dan eksekutif sesuai konteks politik masing-masing tingkat pemerintahan.
2. Meringankan beban penyelenggara, karena distribusi logistik, rekapitulasi suara, dan pengawasan akan terbagi ke dua momentum berbeda.
3. Mengoptimalkan kampanye dan pendidikan politik, sebab isu-isu lokal tidak lagi tertutup oleh dominasi wacana nasional.
Sementara itu, Agil Almunawar (2025) menekankan dimensi konstitusionalnya: pemisahan pemilu adalah bentuk “konstitusionalisasi baru” yang menegaskan prinsip living constitution, di mana UUD 1945 ditafsirkan adaptif terhadap dinamika demokrasi modern. Putusan MK 135/2024 diartikan bukan sebagai pelanggaran, melainkan penguatan prinsip kedaulatan rakyat agar sistem demokrasi tetap substantif dan partisipatif.
Implikasi Hukum dan Tantangan Transisi
Perubahan desain pemilu membawa konsekuensi hukum yang signifikan. Almunawar (2025) mencatat dua tantangan utama: