Abstrak
Tulisan ini membahas urgensi dan implikasi hukum dari pemisahan antara Pemilihan Umum (Pemilu) tingkat nasional dan lokal di Indonesia. Berangkat dari evaluasi Pemilu Serentak 2019 dan perkembangan konstitusional terbaru melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024, artikel ini menelaah efektivitas sistem pemilu serentak, dasar normatif pemisahan, serta tantangan hukum yang muncul akibat perubahan desain elektoral. Hasil kajian menunjukkan bahwa sistem pemilu serentak belum mampu menjamin efektivitas, efisiensi, dan representasi demokratis secara optimal. Pemisahan pemilu menjadi pilihan rasional untuk memperkuat sistem presidensial, meningkatkan fokus pemilih, dan memperkuat otonomi daerah, meskipun masih memerlukan desain hukum transisi yang matang agar tidak menimbulkan kekosongan kekuasaan di tingkat lokal.
Kata Kunci: Pemilu Nasional, Pemilu Lokal, Putusan Mahkamah Konstitusi, Efektivitas Demokrasi, Sistem Presidensial.
Pendahuluan
Pelaksanaan Pemilu Serentak Tahun 2019 menandai perubahan besar dalam sistem demokrasi elektoral Indonesia pasca-putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013. Ide dasar keserentakan pemilu adalah untuk memperkuat sistem presidensial melalui efisiensi waktu dan biaya serta penyederhanaan sistem kepartaian. Namun, sebagaimana dikemukakan oleh Fathurrahman dkk. (2023), penerapan pemilu serentak justru menimbulkan berbagai persoalan, mulai dari kelelahan penyelenggara hingga inefisiensi administratif dan logistik. Dalam praktiknya, sistem tersebut gagal mencapai tujuan efektivitas dan kelancaran fungsi pemerintahan.
Sementara itu, Al Maida dkk. (2022) menegaskan bahwa sistem serentak 2019 memperlihatkan kegagalan dalam menegakkan prinsip efisiensi dan keadilan elektoral, dengan dampak paling nyata berupa beban kerja berat bagi penyelenggara dan rendahnya kualitas partisipasi politik. Berdasarkan kondisi tersebut, muncul gagasan untuk memisahkan kembali pemilu tingkat nasional dan lokal sebagai bentuk rekonstruksi sistem elektoral yang lebih adaptif dan manusiawi.
Putusan terbaru Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 kemudian menjadi dasar hukum yang memerintahkan pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal mulai tahun 2029. Putusan ini menandai babak baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia.
Dasar Normatif dan Konstitusional Pemisahan Pemilu
Pasal 22E UUD NRI 1945 menegaskan bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Namun, norma tersebut tidak menentukan harusnya semua pemilihan dilakukan serentak dalam satu waktu. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan 135/PUU-XXII/2024 menafsirkan prinsip “keserentakan” secara lebih fleksibel bukan berarti semua pemilihan dalam satu hari, melainkan keserentakan dalam siklus politik nasional dan lokal yang saling melengkapi.
Dengan demikian, pemilu nasional mencakup pemilihan Presiden/Wakil Presiden, DPR, dan DPD, sedangkan pemilu lokal meliputi pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) dan DPRD. Pemisahan ini bertujuan untuk memperkuat sistem presidensial di pusat dan memperdalam demokrasi lokal di daerah.