Teknologi tersebut dapat merubah kendaraan bermotor menjadi lebih ramah lingkungan dan memiliki tingkat toleransi nilai oktan yang lebih tinggi. Semakin tinggi nilai oktan yang dibutuhkan, maka emisi yang dikeluarkan akan semakin rendah.
Namun, karena BBM berjenis premium dan pertalite memiliki harga yang lebih rendah, masyarakat tetap berupaya untuk membeli BBM berjenis tersebut. Padahal, penggunaan oktan yang salah menyebabkan ruang bakar yang kotor akibat bahan bakar tidak terbakar dengan sempurna. Penggunaan oktan yang lebih rendah dari yang direkomendasikan juga bisa membuat tenaga mesin jadi berkurang akibat banyak endapan karbon dan mengganggu komponen lain seperti injector yang tersumbuhat (Motomobil.id, 2019).
Untuk Indonesia sendiri, kendaraan jenis terbaru sudah mengikut standar nilai oktan tersebut. Salah satunya seperti PT Astra Daihatsu Motor bahwa semua kendaraan mereka saat ini telah mengikuti regulasi baku mutu emisi gas buang yang diatur oleh pemerintah. (Kontan, 2020).
Dampak buruk dari rendahnya nilai oktan memiliki dampak buruk baik terhadap kendaraan maupun lingkungan. Namun upaya untuk mengurangi emisi melalui penggunaan bahan bakar diperlukan tindakan dari institusi seperti pemeritnah. Hal tersebut telah dibuktikan melalui penelitian He (2007) pada paragraf sebelumnya bahwa institusi memainkan peran penting dalam implementasi pengurangan emisi. Sehingga memang diperlukan suatu kebijakan yang bersifat memaksa agar BBM jenis tersebut tidak dapat dibeli oleh masyarakat. Â
KesimpulanÂ
Kebijakan penghapusan bahan bakar pertalite memang dapat menekan konsumsi masyarakat, namun di sisi lain akan menyebabkan penurunan emisi di lingkungan sekitar. Selain itu, penurunan konsumsi akan bahan bakar dapat mengurangi kemacetan di jalanan. Bahkan, dengan dihapusnya premium dan pertalite dapat berpotensi merubah kebiasaan masyarakat untuk menggunakan transportasi umum. Jika kebiasaan tersebut dapat berubah, maka pemerintah juga harus siap untuk menyediakan transportasi umum dengan fasiltias yang baik dan tepat waktu
Referensi
He, J. (2007). Is the Environmental Kuznets Curve hypothesis valid for developing countries? A survey. Departement d'Economique de La Faculte d'administration l'Universite de Sherbrooke, Cahiers de Recherche.
Hilton, F. G. H., & Levinson, A. (1998). Factoring the Environmental Kuznets Curve: Evidence from Automotive Lead Emissions. Journal of Environmental Economics and Management, 35(2), 126--141. https://doi.org/10.1006/jeem.1998.1023
Koilo, V. (2019). Evidence of the Environmental Kuznets Curve: Unleashing the Opportunity of Industry 4.0 in Emerging Economies. Journal of Risk and Financial Management, 12(3), 122. https://doi.org/10.3390/jrfm12030122
Kontan. (2020). Kata Daihatsu perihal wacana penghapusan BBM jenis Premium dan Pertalite. Retrieved June 28, 2020, from https://industri.kontan.co.id/news/kata-daihatsu-perihal-wacana-penghapusan-bbm-jenis-premium-dan-pertalite