Sukatro memberhentikan langkahnya, membalikkan badannya lalu menatap Pak Kaji beserta para warga yang sedang mengejarnya.
"Tuhan telah menungguku di sana. Dia berjanji akan menjemputku malam ini. Maka dari itu, aku juga harus menepati janjiku untuk bertemu dengan-Nya di tengah hutan Gunung Jaran ini," Jari telunjuk Sukatro mengarah ke hutan gelap itu.
Pak Kaji beserta para warga mendadak kaku, diam di tempat. Mereka saling menatap satu sama lain, tak percaya apa yang sudah mereka dengar tadi.
Sukatro, pemuda yang sedari kecil sudah didiagnosa sebagai orang bisu, tiba-tiba saja berbicara. Sukatro, yang tadi masih terlihat di hadapan mereka, sudah hilang ditelan gelapnya hutan Gunung Jaran itu.
***
"Amin ...."
Semua orang bergegas membubarkan diri, meninggalkan tanah kuburan desa. Hanya juru kunci dan penggali kubur, Pak Dakoh dan Pak Badri yang tetap duduk di pinggir salah satu kuburan baru itu.
"Asal kau tahu, Bad, Sukatro memang tidak pernah bersuara lewat mulutnya. Akan tetapi, suara batinnya lebih keras dan lebih lembut dari semua orang di desa ini."
Pak Dakoh bangkit dari duduknya, berdiri tegak dengan kedua tangan menengadah ke atas.
"Mari kita benar-benar mendoakannya, seperti Sukatro yang selalu mendoakan kita semua saat ia sedang duduk di halaman rumahnya, seperti ia mendoakan kita agar diberi ampunan oleh Tuhan Allah atas semua dosa yang kita lakukan, seperti pengorbanan yang ia minta agar semua dosa orang di desa ini dipanggul oleh dirinya seorang.
Mari doakan dengan benar, tidak seperti doa palsu orang-orang desa tadi, yang dulu selalu menyumpahi dan mengutuk Sukatro dengan mengatasnamakan agama, yang bahkan agama mana pun sejatinya tidak mengajarkan hal buruk itu. Dan aku yakin, Sukatro sudah memaafkan segala bentuk fitnah yang sudah ia alami."