Pak Badri pun berdiri, ikut menengadahkan kedua tangannya ke atas. Tangisannya mulai mengalir di kedua pipinya yang sudah keriput karena teringat saat pertama kali ia menemukan jasad Sukatro terbaring kaku di pinggir sungai di dalam hutan Gunung Jaran itu.
"Ya, aku pernah mendengarnya juga, Dakoh. Pernah suatu ketika Sukatro berjalan melewati kuburan ini dan menyapaku dengan senyuman lebarnya saat diriku sedang duduk beristirahat di bawah pohon beringin ini. Dia tidak mengatakan apa pun.
"Namun aku menangkap suara lembut yang begitu menenangkan hati saat menatap matanya. 'Tuhan, lapangkanlah hati Pak Badri. Beri dia kesabaran sejati. Maafkanlah istrinya beserta selingkuhannya, yaitu Pak Kaji. Masukkanlah ia ke dalam surga untuk orang-orang yang sabar terhadap ujian dari-Mu', seperti itulah yang kudengar. Ia lalu membungkuk sebagai tanda permisi dan pergi ke arah hutan."
Pak Badri segera mengusap air matanya. Ia lalu memandang ke arah kuburan Sukatro dan mengangguk dengan pelan.
"Ya, Dakoh. Aku setuju. Mari kita doakan Sukatro dengan benar."