Baru beberapa meter Sukatro meninggalkan gubuk itu, mungkin sekitar 100 meter, ia mendengar suara yang memanggilnya lirih. Bulu kuduknya merinding, apa mungkin itu setan alas yang biasa dibicarakan oleh warga? Atau mungkin ikan-ikan di sungai itu? Atau mungkin pohon pinus yang sekarat, terbelah menjadi dua akibat angin besar yang terjadi beberapa hari ini?
"Sukatro ... Sukatro .... Temuilah aku di gubuk malam ini juga. Doamu untuk bertemu denganku akan kukabulkan. Kembalilah malam ini, wahai Sukatro."
Sukatro berhenti melangkah. Ia menghadap ke langit, melihat daun-daun pinus bergoyang dengan damai. Memang, sewaktu beribadah tadi ia berdoa agar dirinya bisa dipertemukan dengan Tuhan. Secepat inikah doaku dikabulkan?
"Apakah Kau janji kepada hamba-Mu ini? Apakah Kau tidak akan mengingkarinya?" tanya Sukatro dalam hati.
"Aku tidak akan pernah mengingkari janji kepada umatku sendiri. Kembalilah ke gubuk tadi, Sukatro. Aku akan menjemputmu."
Sukatro mengangguk, masih tidak percaya apa yang sudah ia dengar. Apakah benar itu Tuhan, atau malaikat, atau setan alas, ia tetap mengiyakan.
Jika memang nantinya setan alas yang berbicara, ia akan memenggal kepala setan alas itu. Persetan, memang setan, dengan setan alas—yang katanya berwujud mengerikan, berbadan besar dengan bulunya yang lebat, matanya merah melotot, tangan dan kakinya yang besar dengan kuku yang panjangnya dua meter—yang disebut genderuwo oleh warga itu. Yang jelas, ia akan datang malam ini untuk memenuhi janjinya. Janji suci Tuhan dengan dirinya.
***
Suara teriakan-teriakan membombardir, memecah keheningan malam itu. Sumpah serapah dan kata-kata kutukan terdengar begitu sangat jelas; dasar anak pelacur, anak haram, anak terkutuk, orang kafir, bisu biadab, kau pencuri, kau pasti akan masuk neraka.
"Mau ke mana kau, Sukatro?!"
Suara paling keras itu terdengar tidak asing bagi Sukatro. Tidak salah lagi, itu suara Pak Kaji. Seperti lolongan anjing, batinnya.