Mohon tunggu...
Wahyu Tanoto
Wahyu Tanoto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Terlibat Menulis buku panduan pencegahan Intoleransi, Radikalisme, ekstremisme dan Terorisme, Buku Bacaan HKSR Bagi Kader, Menyuarakan Kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yuk, Belajar Tidak Menyalahkan Pakaian Korban Perkosaan

17 September 2021   23:09 Diperbarui: 5 April 2022   14:26 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Tangkapan layar kompas.com

Maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan dapat menjadi penanda bahwa perempuan hingga saat ini masih menjadi salah satu kelompok yang rentan mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk; psikis, fisik, penelantaran, perundungan, dan rudapaksa (pemerkosaan)

Pada  kasus-kasus pemerkosaan, nihilnya penghormatan terhadap "tubuh" orang lain dan ketidakmauan untuk mengontrol dorongan seksual, akan berdampak pada tindakan melecehkan pihak lain. 

Apalagi jika masih meyakini doktrin "basi" yang menyebutkan bahwa perempuan merupakan makhluk lemah, sebagai objek seksual dan derajatnya dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Maka kasus kekerasan seksual hampir pasti terus terjadi.

Menurut catatan tahunan komnas perempuan 2020 menyebutkan bahwa telah terjadi 3.062 kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah publik dan komunitas, tercatat 58% merupakan kekerasan seksual, yakni pencabulan (531 kasus), perkosaan (715 kasus) dan pelecehan seksual (520 kasus).

Dari data tersebut di atas, perempuan menjadi korban paling banyak oleh pemangsa (predator) seksual. Artinya, perempuan ternyata lebih rentan meskipun setiap orang juga rentan menjadi korban. Dalam hal kasus-kasus pemerkosaan, pakaian korban kerap kali menjadi sasaran tembaknya.

Pemerkosaan seolah dianggap "wajar" jika perempuan korban berpakaian "seksi dan menggoda". Korban pemerkosaan juga kerap kali mendapatkan stigma negatif dari pakaiannya. Sedangkan pelaku pemerkosaan "bebas" dari segala macam stigma, bahkan terkadang ada yang lolos dari tuntutan hukum.

Dalam kasus pemerkosaan, tidak sedikit korban pemerkosaan yang berpakaian "sopan" menutup aurat. Masih segar dalam ingatan kita tentang viralnya kasus pencabulan di sebuah pondok pesantren di Jombang, Jawa Timur oleh MSA yang merupakan tenaga pendidik-untuk tidak bilang ustadz-, di Ponpes tersebut. MSA dilaporkan ke polisi pada Selasa, 29 Oktober 2019 oleh korban, seorang santri perempuan asal Jawa Tengah.

Korban diperlakukan tidak adil, diancam, dirundung, bahkan dihujat ramai-ramai. Sedangkan pelakunya masih "bebas" berkeliaran meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian.

Dari contoh peristiwa di atas, dapat .e jadi contoh faktual bahwa tidak ada korelasinya bahwa pribadi religius pasti tindakannya juga baik. Menurut hemat saya, berjilbab atau tidak, menutup aurat atau tidak, boleh jadi tidak penting karena pemerkosaan pada dasarnya terletak pada tindakan pelaku, bukan pada korban.

Berpakaian tertutup atau terbuka, setiap perempuan tetap memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan adil dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Boleh jadi hanya orang-orang yang berpikiran sempit lagi dangkal, jika menganggap bahwa pemerkosaan terjadi karena pakaian korban.

Secara umum, agaknya empati terhadap para korban pemerkosaan masih menjadi barang "mewah" bagi sebagian kalangan di negeri tercinta ini. Ternyata masih banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan terutama oleh Negara agar bisa melindungi korban (termasuk keluarganya). Terlebih jika korban memiliki sumber daya yang terbatas, tidak memiliki akses, dan bahkan terkadang korban juga tidak menyadarinya jika mengalami kekerasan.

Hadirnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebenarnya menjadi angin segar sebagai bentuk kehadiran negara atas munculnya pelbagai problem kekerasan. 

Sayangnya, RUU ini tidak segera disahkan oleh anggota legislatif. Belum disahkannya RUU ini karena anggota legislatif tidak menjadikannya sebagai prioritas atau bahkan karena "miskin" empati terhadap para korban.

Tampaknya sebagai anak bangsa yang memiliki kepedulian terhadap permasalahan kekerasan di  Indonesia kita perlu terus-menerus memproduksi narasi empatik, khususnya terhadap para korban kekerasan seksual dan umumnya kepada semua khalayak agar bisa memahami bahwa tidak ada perempuan yang "ingin" menjadi korban pemerkosaan. Empati, semestinya dimiliki oleh setiap individu agar para korban pemerkosaan mendapat "dukungan" dari semua lapisan masyarakat serta perlindungan dari negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun