Mohon tunggu...
Andi Kurniawan
Andi Kurniawan Mohon Tunggu... Pejalan sunyi -

penjelajah hari, penjelajah hati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Keraton Yogyakarta di Ujung Tanduk?

6 Mei 2015   12:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:19 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1430905200888367594

[caption id="attachment_415485" align="aligncenter" width="624" caption="Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X membacakan sabda tama atau amanat di Bangsal Kencana Keraton Yogyakarta, Jumat (6/3/2015). Dalam sabda tama itu, Sultan meminta para kerabat keraton tidak lagi berkomentar tentang kemungkinan pergantian raja di Keraton Yogyakarta. Hadir dalam acara itu para kerabat Keraton Yogyakarta, termasuk permaisuri raja Gusti Kanjeng Ratu Hemas, dan Adipati Kadipaten Pakualaman, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam IX. Kompas/Haris Firdaus (HRS) 06-03-2015. (KOMPAS/HARIS FIRDAUS)"][/caption]

Ada yang mengkhawatirkan menyimak perkembangan terkini dari Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat, yang mengisyaratkan adanya perpecahan yang semakin meruncing di kalangan internal keraton. Hal ini dapat ditengarai dengan dikeluarkannya dua Sabda Raja dalam waktu yang berdekatan, yaitu pada hari Kamis,30 April 2015 dan Selasa, 5 Mei 2015. Isi dari Sabda Raja yang pertama relatif simpang siur karena hanya dihadiri oleh keluarga dekat, tanpa liputan pers yang memadai. Hanya ada kabar dari beberapa kerabat dan abdi dalem yang mengikuti acara tersebut, namun tidak dapat menjelaskan dengan gamblang apa yang sebenarnya diinginkan Sultan HB X dengan Sabda Raja tersebut.

Meskipun demikian, secara umum ada 5 hal yang disampaikan dalam Sabda Raja tersebut, yaitu 1) penyebutan Buwana akan diubah menjadi Bawana, 2) gelar Kasultanan tidak lagi menggunakan Khalifatullah, 3) penyebutan Kaping Sedasa diubah menjadi Kaping Sepuluh, 4) akan mengubah perjanjian antara pendiri Mataram Ki Ageng Pemanahan dengan Ki Ageng Giring., dan 4) Sultan akan menyempurnakan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun (lihat sumber berita ini). Selanjutnya, pada tanggal 5 Mei 2015, Sri Sultan HB X kembali mengeluarkan Sabda Raja dengan isi pernyataan tunggal, yaitu mengganti nama GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi.

Pada kedua acara tersebut, tidak ada adik-adik Sultan yang hadir, terutama adik-adik laki-laki yang dalam pandangan banyak pihak berpeluang untuk menggantikan Sultan. Sebagaimana diketahui, Sultan HB X tidak memiliki anak laki-laki, yang dalam aturan tidak tertulis merupakan syarat untuk menjadi raja di Kasultanan Yogyakarta. Hal ini diperumit lagi dengan UU Keistimewaan dan Perdais yang menyebutkan secara implisit bahwa Gubernur adalah laki-laki. Kedua Sabda Raja tersebut ditengarai oleh banyak kalangan sebagai upaya Sri Sultan untuk meneruskan kekuasaan kepada anak perempuannya. Terbukti dengan penghapusan gelar yang berkonotasi kepada laki-laki (khalifatullah), dan penyempurnaan (peleburan?) keris Joko Piturun, yang dari namanya sudah menunjukkan jenis laki-laki (lihat sumber berita ini). Tak heran, tantangan keras datang dari adik-adik Sultan, seperti GBPH Prabukusumo yang menyatakan tidak akan pernah hadir dalam acara tersebut, dan juga GBPH Yudhaningrat, yang menyatakan Sabda Raja tersebut bertentangan dengan paugeran.

Hal ini sebenarnya sudah pernah saya singgung pada tulisan beberapa waktu yang lalu, yang menyoroti bahwa status keistimewaan Yogyakarta tersebut sebenarnya menyimpan bom waktu, terutama justru dari pihak internal keraton sendiri (lihat tulisan ini). Hal ini tidak terlepas dari sejarah panjang perpecahan yang pernah terjadi dalam sejarah Kerajaan Mataram sebagaimana diceritakan dalam Babad Tanah Jawa. Awal dari semua perpecahan tersebut adalah perebutan kekuasaan, seperti juga yang terindikasikan pada kondisi yang terjadi saat ini.
Kondisi saat ini pada hemat saya diperparah oleh lingkungan keraton yang kurang kondusif dalam melakukan pengkaderan putra-putri terbaiknya. Hal ini sebenarnya bukan hal yang baru, karena sejarah Mataram memang penuh dengan naik-turun kejayaan yang sangat dipengaruhi oleh siapa pemegang tampuk kekuasaannya.

Mataram pernah sangat jaya pada masa Sultan Agung Hanyokrokusumo pada awal hingga pertengahan abad 17, dengan kekuasaan menjangkau hampir seluruh Jawa dan beberapa wilayah di luar Jawa. Namun kekuasaan tersebut dengan cepat hilang, karena tidak ada raja pengganti yang cukup mumpuni untuk meneruskan kekuasaan. Apalagi, saat itu ada Belanda sebagai pihak yang mengincar keuntungan dari perpecahan yang terjadi, yang dengan sangat lihai memainkan politik adu dombanya. Walhasil, Mataram yang pernah jaya itu akhirnya pecah menjadi Yogyakarta dan Surakarta, melalui perjanjian Giyanti tahun 1755, dan kemudian masih terpecah lagi dengan munculnya Pakualaman di Yogyakarta dan Mangkunegaran di Surakarta.

Kondisi saat ini mengingatkan saya pada kritik keras Rendra beberapa puluh tahun yang lalu, yang menyatakan bahwa Yogya, sebagai jantung kebudayaan Jawa serupa dengan kasur tua yang lemas dan tidak berdaya. Tidak ada energi kreatif dan positif yang memancar yang menunjukkan pamor sebagai pusat kebudayaan yang dinamis. Kritik ini, dengan seribu maaf untuk kalangan keraton, mungkin masih cukup relevan untuk menunjukkan kondisi internal keraton saat ini. Ironisnya, hal itu terjadi di tengah kemajuan yang sangat pesat yang dialami oleh lingkungan sekitar keraton (DIY), yang tumbuh menjadi pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan dengan caranya sendiri. Dapat dilihat misalnya bagaimana dinamisnya Yogya dengan para seniman lukis, sastra, musik, juga para akademisi dari berbagai disiplin ilmu. Lebih ironis lagi, bahwa dinamika yang timbul tersebut seringkali diinisiasi oleh pihak keraton sendiri, misalnya dengan pemberian lahan-lahan keraton untuk pendirian universitas, semacam UGM.

Di sisi lain, keraton seperti gagap dan kurang tanggap untuk berbuat mengikuti perkembangan itu. Keraton seperti kehilangan marwah, karena tidak mampu menunjukkan kemampuannya untuk mengimbangi dinamika yang terjadi di masyarakat. Klaim-klaim kewenangan yang dimiliki akhirnya jatuh pada klaim-klaim yang berdasar pada kenangan dan sejarah masa lalu, yang itu akan sangat rentan di tengah masyarakat yang semakin rasional. Walhasil, apa yang terjadi saat ini sebenarnya ibarat pertunjukan bagi masyarakat, sekaligus test case bagaimana keraton untuk mampu mengatur dirinya sendiri. Kalau dalam lingkup internal saja mereka tidak mampu, tentu masyarakat akan dengan mudah menjustifikasi bagaimana kemampuan para penerus kerajaan itu untuk mengatur wilayah yang lebih besar dalam pemerintahan. Semoga apa yang disampaikan ini bermanfaat untuk menjadi pengingat.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun